Waspada Toleransi Kebablasan saat Nataru



Oleh Ida Paidah, S.Pd




Pemkot Surabaya memastikan kesiapan menyambut perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025, dengan fokus utama pada pengamanan tempat ibadah dan menjaga kerukunan umat beragama. (Jawapos.com)


Wali kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan pentingnya kerja sama semua pihak untuk memastikan keamanan dan kenyamanan warga, terutama umat Kristiani yang merayakan Natal. Sebagai upaya memperkuat toleransi dan kerukunan umat beragama, Eri mengajak seluruh warga Surabaya untuk terus menjaga keharmonisan yang telah menjadi ciri khas Kota Pahlawan.


Sejalan dengan pesan wali kota, Menteri Agama Nasaruddin Umar mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antarumat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2024/2025. Ia mengimbau untuk memelihara hubungan baik sebagai warga bangsa yang hidup dalam keberagaman.


Ia juga menekankan pentingnya saling mendukung dan menghormati dalam merayakan hari besar keagamaan masing-masing. Ia mengingatkan bahwa menjaga toleransi adalah bagian penting dari identitas bangsa Indonesia. Ia mengajak masyarakat untuk memanfaatkan momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) sebagai waktu untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan.


Pernyataan Menag maupun Wali Kota Surabaya tersebut sungguh tidak sesuai realitas, terlebih mereka juga bagian dari kaum muslim. Sebabnya, yang terjadi di lapangan adalah adanya pengaburan identitas Islam pada masyarakat muslim saat momen peringatan Nataru dengan dalih toleransi.


Mengingat beragam aktivitas di momen Nataru , sungguh tidak tepat imbauan dari para pejabat negara tersebut. Mereka mungkin bisa berkelit dengan pernyataan lain bahwa imbauan menjaga suasana kondusif jelang atau selama Nataru itu tidak hanya ditujukan kepada kaum muslim. Hanya saja, mayoritas penduduk negeri ini jelas-jelas kaum muslim. Tentu aneh jika seruan toleransi malah digencarkan kepada kaum muslim sebagai penduduk mayoritas, apalagi jelang Nataru yang notabene hari raya kaum nonmuslim.


Masalah lainnya, toleransi yang diserukan saat ini bertentangan dengan akidah Islam. Wujud toleransi lebih kental dengan pencampuran ajaran Islam dengan ide-ide dari luar Islam. Toleransi juga digambarkan berupa ucapan selamat hari raya dari kaum muslim kepada nonmuslim, padahal itu toleransi versi sekuler yang tentu saja maknanya keliru dan menyesatkan kaum muslim.


Jelas, bukan toleransi dalam makna syar’i yang kaum muslim pahami. Yang terjadi, toleransi yang dimaksudkan adalah agar rakyat mayoritas (muslim) “diharuskan” untuk menghormati minoritas (nonmuslim). Ini adalah toleransi versi sekuler yang bisa merobohkan keimanan kaum muslim sebagai akibat minimnya pemahaman umat sehingga mereka mudah terbawa arus yang bertentangan dengan syariat Islam. Toleransi tersebut justru bertujuan mengacak-acak akidah umat Islam.


Sekularisme ini telah menyerang tiap sendi kehidupan. Sekularisme ini pula yang merestui munculnya toleransi versi sekuler sehingga terjadi salah kaprah dan pembenaran, termasuk saat masyarakat menyikapi momen Nataru. Ketika kita mengkritisinya, mereka berdalih bahwa aktivitas-aktivitas itu mereka sebut hak asasi manusia (HAM), padahal dampak aktivitas sekuler itu masif dan luas kepada seluruh individu di masyarakat.


Realitas ini diperburuk oleh arus deras moderasi beragama yang digencarkan pemerintah di berbagai aspek kehidupan sehingga semua agama dianggap benar dan paradigma mengenai konsep toleransi pun menjadi kebablasan. Kondisi ini didukung oleh penyelenggaraan sistem pendidikan yang telah berkubang dalam konsep liberal dan juga kental dengan arus moderasi, seperti kurikulum merdeka, pendidikan vokasi, dan Kampus Merdeka.


Batasan Toleransi dalam Islam

Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang batil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al-Baqarah [2]: 42). 
Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah saw., “Sesungguhnya perkara halal itu sudah jelas dan perkara haram itu sudah jelas. Dan di antara keduanya ada perkara-perkara yang samar.” (Muttafaqun ‘alaih).


Islam tidak memiliki satu pun ajaran untuk bersikap intoleran. Jika ada pihak-pihak yang menyatakan umat Islam intoleran, hal itu jelas fitnah dan tudingan yang tidak berdasar. Islam justru sudah mengajarkan dan mengatur perihal toleransi sejak Islam pertama kali datang.


Islam juga memiliki definisi yang jelas soal pelanggaran hukum syarak, yakni segala sesuatu yang bertentangan dengan ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Aktivitas meyakini dan mengadopsi ajaran dari luar Islam adalah pelanggaran hukum syarak. Ini termasuk dalam hal penggunaan atribut Natal, mengucapkan selamat hari raya tersebut, maupun aktivitas perayaan pergantian tahun. Jadi sikap kaum muslim saat momen Nataru bukan soal toleran atau intoleran.


Toleransi jelang Nataru yang muncul saat ini sejatinya mencampuradukkan ajaran Islam dengan Nasrani, berikut budaya dan tradisi apa pun yang menyertainya. Ini tidak layak diambil oleh umat Islam karena menampilkan aktivitas menyerupai umat selain Islam. Ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Barang siapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.”(HR Abu Dawud)


Islam menjadikan para pemimpin dan pejabat negara memberikan nasihat takwa agar umat tetap terikat dengan aturan Islam khususnya dalam momen krusial yang berpotensi membahayakan akidah umat. Negara juga menyiapkan Departemen Penerangan memberikan penerangan atau penjelasan tuntunan Islam dalam menyikapi hari besar agama lain. Dalam sistem Islam, negara juga memiliki kadi hisbah yang akan menjelaskan di tempat-tempat yang memungkinkan terjadinya interaksi umat Islam dengan agama lain, khususnya bagaimana aturan Islam terkait Nataru



Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak