Waspada Toleransi Kebablasan Jelang Nataru



Oleh: Akeefa Kanza



Sepertinya sudah menjadi rutinitas akhir tahun, perayaan Natal dan Tahun baru begitu gegap disambut masyarakat Indonesia. Tidak hanya non muslim, banyak dari umat muslim bahkan pejabat muslimpun turut bersuka ria bahkan tak segan ikut hadir dalam perayaan ini. 
Seruan untuk menghargai dan bertoleransi jauh hari digaungkan oleh para pejabat agar perayaan Nataru berlangsung lancar. Bahkan persiapan dan keamanan juga dipastikan lancar. 

Seperti yang disampaikan oleh wali kota Surabaya pada jawapos.com bahwa Pemkot Surabaya memastikan kesiapan menyambut perayaan Natal dan Tahun Baru (Nataru) 2024/2025, dengan fokus utama pada pengamanan tempat ibadah dan menjaga kerukunan umat beragama .Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menegaskan pentingnya kerja sama semua pihak untuk memastikan keamanan dan kenyamanan warga, terutama umat Kristiani yang merayakan Natal. (14/12/24).

Akhirnya atas nama toleransi antar umat beragama, masyarakat menyambut Nataru dengan hati yang riang. Berbagai pernak-pernik Natal dijual bebas diberagam outlet. Tidak hanya itu, masyarakatpun bangga memakai atribut natal dengan dalih mengikuti tradisi tanpa merasa berdosa sama sekali.  

Awas, akidah umat tergadai !
Menjaga keamanan bagi warga  dan menjamin terlaksananya kegiatan ibadah merupakan kewajiban bagi negara. Akan tetapi, jangan sampai upaya yang dilakukan berujung pada pencampuradukan keyakinan antar umat beragama yang memang berbeda.

Namun sepertinya sinkretisme telah menjadi hal yang biasa dalam masyakat kita. Sinkretisme merupakan sebuah konsep yang sering digunakan dalam berbagai bidang, seperti agama, seni, dan budaya. Kata “sinkretisme” berasal dari bahasa Yunani, yaitu “synkretismos” yang berarti penggabungan atau penyatuan. Dalam konteks agama, sinkretisme merujuk pada gabungan atau penyatuan elemen-elemen dari berbagai kepercayaan atau agama yang berbeda.

Mirisnya paham sinkretisme ini secara nyata dicontohkan oleh para pemimpin bangsa. Mereka dengan rela mengikuti perayaan agama lain yang berbeda keyakinannya dengan dirinya atas nama toleransi. Sehingga tidak heran kita jumpai, dalam setiap event Natal, terdapat para tokoh-tokoh muslim turut hadir merayakan di gereja dan sejenisnya. 

Ditambah lagi, dijadikannya HAM sebagai pijakan dan ditambah masifnya kampanye moderasi beragama, membuat umat makin jauh dari pemahaman yang lurus. Arus moderasi beragama ini ditanamkan pada generasi melalu lembaga-lembaga Pendidikan.  Umat dibuat bingung dengan tolok kebenaran yang pasti karena berbagai informasi baik melalui media cetak ataupun elektronik menggaungkan toleransi yang salah kaprah ini. 

Generasi muslim yang seharusnya menjadi pribadi yang tangguh, berprinsip menjadi lembek iman dan ikut-ikutan karena tradisi. Dampaknya, masyakatpun turut serta mengikutinya. Atas nama toleransi, mudah saja mereka mengucapkan “selamat natal dan tahun baru." Atas nama toleransi, mereka dengan bangga memakai atribut natal bahkan hadir dalam perayaannya.  Sehingga, tanpa disadari akidah umat muslim menjadi tergadai. Tergadai atas nama toleransi antar umat beragama. 

Batas itu telah Jelas

Indonesia, mayoritas penduduknya beragama Islam. Orang muslim memiiki tata cara sendiri dalam hal perayaan hari besar keagamaan begitu pula umat beragama lain, Kristen misalnya. Karena perayaan hari besar keagamaan merupakan hal berhubungan dengan akidah. Maka, tidak seharusnya perayaan hari besar keagamaan dianggap sama antar satu agama dengan yang lain atas nama toleransi. 

Sesungguhnya dalam hal masalah toleransi antar umat beragama telah terdapat batasan yang jelas. Dan Islam telah memiliki konsep yang jelas dalam interaksi dengan agama lain.
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِࣖ
“Untukmu agamamu dan untukku agamaku.”

Bentuk toleransi antar umat bergama dengan cukup kita memberikan kesempatan bagi pemeluk agama lain untuk merayakan agamanya tanpa kita ikut campur dalam perayaanya. Inilah sesungguhnya toleransi yang harus kembali diluruskan dan dipahami oleh masyarakat. Pemahaman seperti ini seharusnya dijaga oleh negara sebagai penanggungjawab utama warna negaranya. 

Prinsip toleransi dalam Islam ini telah menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat ketika Islam diterapkan secara kafah selama berabad-abad lamanya. Bagaimana kemudian pada masa itu masyarakat Madinah yang memiliki masyarakat beragam kepercayaannya, seperti muslim, nasrani dan yahudi dibawah kepemimpinan Rasulullah SAW hidup damai berdampingan. Rasulullah SAW memberikan kebebasan pada umat agama lain untuk menjalankan ibadah sesuai keyakinananya tanpa adanya bentuk praktik pencampuradukan kegiatan agama.  

Hal ini karena Islam menjadikan para pemimpin dan pejabat negara memberikan nasihat taqwa melalau contoh yang nyata agar umat tetap terikat dengan aturan Islam khususnya dalam moment krusial yang berpotensi membahayakan akidah umat. Bentuk toleransi yang dicontohnya cukup dengan memberi kesempatan tanpai ikut serta. 

Maka, pada akhir tahun ini umat perlu waspada dan menjaga diri agar tetap dalam ketaatan pada Allah Swt. Umat membutuhkan adanya reminder agar akidahnya tetap terjaga.
Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu mengetahui”. (Al-Baqarah; 42). Wallahu’alam bish-shawwab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak