Visi Ketahanan Pangan? Tapi Bencana Hidrometeorologi Masih Jadi Ancaman Tahunan



Oleh : Sindy Utami, SH


Cita-cita Ketahanan Pangan 2045

Kabupaten Cilacap memiliki peran strategis dalam mewujudkan ketahanan pangan Jawa Tengah senada dengan Visi Kabupaten Cilacap yang tertuang dalam RPJPD Kabupaten Cilacap 2025-2045 yaitu “Cilacap Pendukung Pangan Jawa Tengah yang Berdaya Saing, Maju, Sejahtera, dan Berkelanjutan”.

Kabupaten Dengan luas wilayah 225.360 hektar, sekitar 45 persen merupakan lahan pertanian produktif. Visi Cilacap 2045 sebagai pendukung pangan berkelanjutan di Jawa Tengah menjadi tantangan besar yang memerlukan perhatian serius dari berbagai pihak.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), produksi gabah Cilacap mencapai 1,2 juta ton per tahun, menjadikannya salah satu daerah penyumbang beras terbesar di Jawa Tengah. Selain itu, sektor perikanan, baik tangkap maupun budidaya, juga menjadi andalan, dengan nilai produksi mencapai Rp3,5 triliun pada 2022. (https://radarbanyumas.disway.id/)

Merangkai Mimpi 2045

Untuk menjadi wilayah ketahanan pangan sebenarnya Cilacap berpotensi besar Pada tahun 2023, Cilacap merupakan kabupaten penghasil beras terbanyak di Jawa Tengah dengan luas panen 119.321,11 ha dan produksi 766.923,48 ton padi. Selain padi Cilacap juga penghasil beberapa jenis buah-buahan maupun sayuran dan juga yang khas adalah gula merah baik dari nira kelapa atau tebu. Namun demikian visi ini memiliki tantangan tersendiri di bumi Wijaya Kusuma.

Alih fungsi lahan yang massif terjadi menjadi salah satu tantangan terciptanya Cilacap sebagai wilayah ketahanan pangan Jateng. Salah satunya adalah adanya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang meliputi 3 desa yang rencananya akan menggunakan lahan seluar 300 hektare. Kini 39,28 ha telah ditempati sebagai wilayah industri. Selain itu beberapa lahan di dataran tinggi justru ditanami tanaman berakar serabut yang seharusnya ditanami tanaman berakar tunggang. Alih fungsi lahan tentunya akan berpengaruh pada perubahan iklim. Meskipun bukan satu-satunya penyebab perubahan iklim.

Perubahan iklim di Cilacap cukup ekstrem. Beberapa tahun ke belakang wilayah ini selalu terancam bencana hidrometeorologi. Ada 124 desa tersebar di 19 Kecamatan yang masuk kategori rawan banjir diantaranya Kroya dan Sidareja. BPBD ilacap mendata ada 87 Desa yang berada di 12 kecamatan berbeda termasuk wilayah rawan bencana longsor. (https://www.metrotvnews.com/) Ancaman bencana hidrometeorologi yang berimplikasi pada kualitas hasil pertanian ini sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim.

Perubahan iklim dapat terjadi diakibatkan oleh aktivitas pembakaran fosil seperti pertambangan minyak, gas bumi dan pertambangan sumberdaya yang tak dapat diperbaharui lainnya. Termasuk pembakaran fosil untuk memproduksi energi yang menghasilkan barang-barang seperti semen, alat elektronik, plastic, pakaian, dan lain sebagainya. Berkurangnya area hutan juga dapat menyebabkan perubahan iklim sebab menyebabkan tidak seimbangnya kadar oksigen dengan karbondioksida. Sejak tahun 2001 hingga 2023, Cilacap kehilangan 6.44 kha tutupan pohon, setara dengan penurunan 5.1% tutupan pohon sejak tahun 2000, dan setara dengan 4.17 Mt emisi CO₂e (https://www.globalforestwatch.org/). Evaporasi yang terjadi ketika karbondioksida lebih dominan akan menghasilkan kualitas air yang buruk. Kualitasi air yang buruk ini dicirikan dengan air yang tidak mampu diserap dengan baik oleh tanah.
Hal ini berkaitan dengan kawasan yang setiap tahun selalu menjadi langganan bencana banjir. Sudahlah kualitas air telah menurun (sulit diserap tanah), wilayah serap air juga berkurang lantaran adanya pembangunan yang minim AMDAL, serta kualitas tanah yang juga kian menurun akibat polusi limbah industri. Belum lagi Cilacap juga belum mampu menyelesaikan soal pengelolaan sampah semakin menghambat aliran air. Kesemuanya ini berawal dari kemudahan melakukan penanaman modal bagi pihak swasta baik dalam negeri maupun swasta asing untuk menggerakkan usahanya di tanah Wijayakusuma.

Kebijakan kemudahan investasi tentunya memudahkan para pemilik modal untuk mengembangkan usahanya tanpa memperhatikan konsekuensi kerusakan lingkungan yang diakibatkannya. Sebab dalam bisnis tentunya lebih diutamakan menghasilkan laba sebanyak-banyaknya. Imbas yang diperoleh bagi daerah adalah income yang masuk melalui para investor berupa pajak. Ini karena sumber penghasilan daerah ditopang oleh pajak. Maka memungkinkan sebuah kebijakan dibentuk hanya berorientasi pada asas kemanfaatan yang dinilai dari jumlah laba saja tanpa memperhatikan nasib masyarakat yang terdampak polusi akibat beroperasinya sebuah korporasi. Yang berorientasi pada keuntungan materi dan minim empati ini disebut sebagai kapitalisme.

Kemudahan melakukan investasi ini melahirkan berbagai pembangunan yang minim perhatiannya pada AMDAL. Industrialisasi yang hanya sedikit perhatiannya dalam mengkaji analisis dampak lingkungan akan menyebabkan beberapa kerusakan lingkungan dari limbah yang dihasilkan selama masa produksi. Kerusakan lingkungan inilah yang menjadi penyumbang besar sebab perubahan iklim yang implikasinya adalah ancaman bencana hidrometeorologi di Cilacap Bercahaya.

Modernisasi Teknologi pertanian yang belum dipahami para petani juga menjadi PR selanjutnya. Sebab banyak petani di Cilacap masih mengelola lahan pertanian mereka menggunakan teknik manual sehingga banyak generasi muda yang enggan melanjutkan estafet pengelolaan di bidan agribisnis. Hal ini juga disebabkan karena belum, ditopang oleh infrastruktur yang memadai sebab pengaturan aliran irigasi tidak diseriusi sebagaimana pengurusan kemudahan investasi. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi oleh kabupaten yang memiliki Pulau Nusakambangan ini maka cita-cita menjadi swasembada pangan Jateng 2045 merupakan mimpi yang jauh panggang daripada api.

Industrialisasi di Tangan Islam Penuh dengan Visi

Ketika hujan ada sebuah do’a yang diajarkan oleh Nabiyullah Muhammad SAW kepada kita sebagai umat muslim yakni berbunyi “Allahumma Shoyyiban Naafi’an” dengan harapan agar Allah menurunkan hujan yang airnya penuh manfaat bagi kehidupan tiap insan. Maka ketika hujan yang seharusnya menjadi rahmat justru berujung bencana artinya ada hal yang terlewatkan oleh umat manusia sehingga terjadi anomali antara yang terjadi hari ini dengan hal yang seharusnya terjadi secara alami. Apalagi hujan tentunya memiliki banyak manfaat untuk menyirami area pertanian agar dapat memproduksi hasil panen yang sesuai harapan. Harapan menjadi swasembada pangan 2045 misalnya.

Menjadi wilayah sumber pangan Jateng 2045 sebenarnya mungkin saja terjadi dengan syarat segala pengelolaan ditujukan untuk kesejahteraan masyarakat. Untuk membentuk kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan manusia tentu harus melalui sebuah pengaturan yang adil. Dan pengaturan yang paling adil hanya berasal dari Satu-satu-Nya yang maha Adil yakni Allah SWT. Sebab aturan yang Allah turunkan melalui Rasulullah Muhammad SAW bukan hanya sekedar pengaturan soal ibadah mahdoh saja melainkan juga mengatur persoalan hablum minan nas yang berkaitan dengan kebijakan pengelolaan sumber daya alam.

Islam tidak menolak adanya industrialisasi. Sebab negara yang maju tentunya mahir dari segi pembangunan pula. Hanya saja dalam pembuatan regulasi dalam Islam memperhatikan berbagai aspek, bukan hanya berorientasi pada jumlah laba saja. analisis dampak lingkungan tentunya akan menjadi hal utama sebelum melakukan pembangunan kawasan industri sebab takut pada ancaman Allah yang artinya :
“Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS Ar Rum :41).

Maka untuk menjadi daerah sumber pangan dengan segala potensi yang dimiliki oleh Cilacap hanya dapat terjadi ketika segala pembangunan dikembalikan kepada Sang Maha Pencipta dan Pengatur Kehidupan sehingga iklim pun akan silih berganti sesuai siklus alamiahnya. Industrialisasi yang ketat pengawasan AMDAL juga akan mengikis kerusakan lingkungan akibat limbah sehingga kualitas tanah tetap terjaga dengan baik. Dengan demikian tiap jengkal tanah yang produktif dapat menghasilkan produk agribisnis yang sesuai harapan baik berupa palawija, hortikultura, maupun pangan. Dan janji Allah jika kita taat pada segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya bukan hanya keuntungan swasembada pangan saja melainkan keberkahan yang meliputi setiap hasil yang diperoleh dari bumi milik-Nya. Wallahu A’lam Bish Shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak