Toleransi Hakiki dalam Islam




Oleh : Lilis Tri Harsanti, S.pd 
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)



Menjelang Natal dan tahun baru opini terkait toleransi terus berkembang. Opini ini ditujukan kepada umat Islam sebagai mayoritas di Indonesia. Namun, toleransi yang terus didengungkan justru kebablasan dengan berbagai alasan yang dibuat agar umat Islam mengikuti Nataru tersebut. Bahkan seruan toleransi yang bertentangan dengan ajaran Islam justru disampaikan oleh Menteri Agama Republik Indonesia, Nasaruddin Umar. Beliau mengajak seluruh masyarakat untuk terus menjaga keharmonisan antarumat beragama menjelang perayaan Natal dan Tahun Baru 2024/2025.

”Kita harus memelihara hubungan baik sebagai warga bangsa yang hidup dalam keberagaman," ungkap Nasaruddin. Ia juga menekankan pentingnya saling mendukung dan menghormati dalam merayakan hari besar keagamaan masing-masing. "Perbedaan itu anugerah, sesuatu yang membuat kehidupan kita lebih indah," tambahnya.

Natal yang dirayakan umat Kristiani pada 25 Desember 2024 akan diikuti oleh momen pergantian tahun pada 31 Desember. Pemerintah, melalui Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, menetapkan 26 Desember 2024 sebagai hari cuti bersama Natal. Namun, tidak ada libur nasional tambahan hingga pergantian tahun. Tahun Baru Masehi akan dirayakan pada 1 Januari 2025, sesuai ketentuan dalam SKB yang diterbitkan pada 14 Oktober 2024.

Nasaruddin juga mengingatkan bahwa menjaga toleransi adalah bagian penting dari identitas bangsa Indonesia. ”Kerukunan di tengah keberagaman adalah bukti kebesaran dan martabat bangsa kita," ujarnya. Ia mengajak masyarakat untuk memanfaatkan momen Natal dan Tahun Baru (Nataru) sebagai waktu untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan.(Radarsampit.jawapos.com 15-12-2024)

Memang benar masyarakat negeri ini adalah masyarakat majemuk yang terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Keharusan untuk saling menghormati dan menjalin kerukunan satu sama lain juga benar adanya. Hanya saja sebagai muslim, tentu yang harus dijadikan standar adalah syariat Islam, bukan akal manusia. Syariat Islam memiliki aturan baku yang mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapi manusia, begitu juga mengenai toleransi umat beragama.

Di sinilah seharusnya umat Islam paham makna toleransi yang sebenarnya dalam Islam. Jangan sampai tergelincir pada toleransi kebablasan yang justru bertentangan dengan Islam. Umat harus dicerdaskan, jangan terjerumus pada makna toleransi yang mengarah kepada pluralisme agama yang menyamakan semua dan menganggap semua agama benar. Ini jelas berbahaya dan bertentangan dengan keyakinan seorang muslim.

Tidak ada agama yang Allah
ridai dan tidak ada agama yang benar di sisi Allah, kecuali Islam. Artinya, tidak mungkin ada kemaslahatan di dunia dan keselamatan di akhirat kecuali dengan Islam.

Islam sebagai din yang sempurna telah memberikan ketentuan lengkap dan terperinci terkait toleransi. Umat Islam harus memahaminya dengan benar agar tidak mudah terkecoh dengan berbagai pemahaman yang mengatasnamakan toleransi, padahal jelas bertentangan dengan konsep toleransi dalam Islam.

Ada lima konsep Islam terkait toleransi. Pertama, Islam tidak akan pernah mengakui kebenaran agama dan keyakinan selain Islam. Seluruh keyakinan dan agama selain Islam adalah kekufuran. Kapitalisme, demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme, dan segala sesuatu yang lahir dari paham-paham tersebut adalah kufur.

Agama selain Islam semuanya kufur karena agama yang Allah ridai hanyalah Islam. Siapa pun yang meyakini agama atau paham tersebut, baik sebagian maupun keseluruhan adalah kafir. Ini berdasarkan firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 19 bahwa ad-diin (agama) yang diterima di sisi Allah hanyalah Islam.

Kedua, tidak ada toleransi dalam perkara-perkara yang telah ditetapkan oleh dalil-dalil qath’i, baik menyangkut masalah akidah maupun hukum syariat. Dalam perkara akidah, Islam tidak pernah menoleransi keyakinan yang bertentangan dengan akidah Islam, seperti ateisme, politeisme, keyakinan bahwa Al-Qur’an tidak lengkap, keyakinan adanya nabi dan rasul setelah wafatnya Nabi Muhammad, pengingkaran terhadap hari akhir, dan lain-lain.

Berkaitan dengan syariat, Islam tidak menoleransi orang yang menolak kewajiban salat, zakat, puasa, keharaman zina, pergaulan bebas, membunuh tanpa hak dan kewajiban, serta larangan yang telah ditetapkan berdasarkan dalil qath’i.

Ketiga, Islam tidak melarang kaum muslim berinteraksi dengan kaum nonmuslim dalam perkara-perkara mubah, seperti jual beli, kerja sama bisnis, dan sebagainya. Larangan berinteraksi dengan nonmuslim terbatas pada perkara yang dilarang syariat, seperti menikahi wanita musyrik, menikahkan muslimah dengan nonmuslim, dan sebagainya. Ketentuan ini tidak bisa diubah dengan alasan toleransi.

Keempat, adanya ketentuan sebelumnya tidak menafikan kewajiban kaum muslim untuk berdakwah dan berjihad melawan orang-orang kafir di mana pun mereka berada dan ini harus sejalan dengan syariat. Nonmuslim yang hidup di Negara Islam dan tunduk pada kekuasaan Islam, dalam batas-batas tertentu diperlakukan sebagaimana kaum muslim. Hak dan kewajiban mereka sebagai warga Daulah Islamiah sama dengan kaum muslim. Harta dan jiwa mereka dilindungi.

Kelima, adapun terhadap kafir harbi, hubungan dengan mereka adalah hubungan perang. Seorang muslim dilarang berinteraksi dalam bentuk apa pun dengan kafir harbi fi’lan, yaitu orang kafir atau warga negara kafir yang sedang berperang secara riil dengan Negara Islam atau kaum muslim.

Islam telah mengajarkan dan memperagakan toleransi dengan begitu indah sejak masa Rasulullah. Umat Islam terdahulu sudah mempraktikkannya dengan baik selama kurang lebih 13 abad, hingga kaum muslim maupun nonmuslim hidup sejahtera di bawah naungan Islam.

Dengan penerapan Islam secara sempurna oleh Negara Islam, cahaya Islam menerangi seluruh dunia. Wajar jika kemudian nonmuslim berbondong-bondong memeluk Islam atau meminta perlindungan dari kekuasaan Islam. Islam telah memberikan tuntunan dalam menghargai dan menghormati pemeluk agama lain, yakni dengan membiarkan mereka menjalankan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya. “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS Al-Kaafirun ayat 6).

Dari semua penjelasan ini, Islam memiliki pemahaman yang terang tentang toleransi sehingga seharusnya umat Islam tidak tergelincir kepada toleransi yang kebablasan. Sudah seharusnya umat Islam memahami dengan benar makna toleransi dalam pandangan Islam. Pemahaman inilah yang kemudian dijadikan perisai untuk selalu waspada terhadap orang-orang yang berupaya memanfaatkan jargon toleransi, padahal merusak makna toleransi yang sebenarnya. 

Wallahualam bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak