Oleh : Sri Setyowati
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Presiden Prabowo memutuskan program perumahan masif. Seiring dengan membangun 3 juta rumah layak huni, Prabowo juga ingin mengentaskan stunting, dimana sekitar 25 persen anak Indonesia mengalami stunting.
Ketua Satgas Perumahan Hashim Djojohadikusumo yang juga Utusan Khusus Presiden untuk Iklim dan Energi menyatakan bahwa menurut statistik pemerintah, hampir 11 juta keluarga yang antre mendapat rumah layak. Sementara itu, ada 27 juta keluarga yang tinggal di rumah tidak layak huni seperti gubuk. Hashim juga menuturkan bahwa rumah yang tidak layak huni memiliki tingkat kesehatan yang rendah sehingga rentan menimbulkan stunting. Gizi makanan penting dan perlu, tapi lingkungan hidup yang layak dan bersih juga perlu. (detikFinance.com, 04/12/2024)
Sementara itu, Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Fahri Hamzah dalam acara Dialog Bersama Asosiasi Pengembang di Menara BTN, Jakarta Pusat, Jumat (29/11/2014) menuturkan, kehadiran pemerintah dan negara untuk penyediaan rumah bukan untuk menjadi kontraktor maupun pesaing developer yang sudah ada, tetapi tugas terpenting dari negara dan pemerintah adalah menjadi regulator. Pihak pemerintah tidak membangun rumah melainkan membantu melakukan riset terkait perumahan. (detikProperti.com, 29/11/2024)
Rumah adalah salah satu kebutuhan asasi disamping sandang, pangan, pendidikan, kesehatan dan keamanan yang wajib dijamin oleh negara. Rumah tempat berlindung bisa memberikan keamanan, pendidikan yang baik, menjaga kehormatan dan lainnya. Namun sayang, betapa sulitnya saat ini untuk bisa membeli rumah layak huni karena harganya mahal akibat tata kelola perumahan berdasarkan kapitalisme. Terbukti masih tingginya jumlah keluarga yang tinggal di rumah tidak layak huni serta tingginya jumlah keluarga yang mengantre untuk bisa mendapatkan rumah tersebut. Akibatnya muncullah rumah-rumah kecil dan kumuh dengan sanitasi dan sirkulasi udara yang buruk sehingga mudah menjadi sarang penyakit. Tentu saja hal itu akan mempengaruhi tumbuh kembang anak. Disamping itu sangat berpotensi juga menimbulkan penyakit sosial. Rumah yang sempit tidak bisa memberikan kamar tidur sebagai ruang privasi, tidur menjadi satu ruang, auratpun mudah tersingkap yang bisa membangkitkan pikiran kotor seperti yang banyak terjadi, anak perempuan menjadi korban pelecehan dari orang-orang terdekat mereka seperti ayah, saudara laki-laki, kakek, paman dan seterusnya.
Sekalipun pemerintah akan membangun 3 juta unit rumah layak huni, tetap saja rumah tersebut tidak terjangkau oleh sebagian masyarakat yang berpenghasilan rendah. Problem ini terus terjadi karena orientasi pembangunan perumahan yang dilakukan negara bukan pada terpenuhinya kebutuhan asasi masyarakat, melainkan bisnis. Seperti yang telah dinyatakan oleh Fahri, pemerintah hanya menjadi regulator bukan penyedia rumah. Itulah yang terjadi ketika pemimpin telah kehilangan fungsinya sebagai raa'in.
Dalam Islam, pemenuhan kebutuhan rumah bagi setiap individu rakyat diurus oleh negara. Tidak boleh ada warga yang terlantar, tidak mempunyai rumah hingga menjadi gelandangan. Mekanisme pemenuhannya melalui dua tahap sesuai dengan kebutuhan dan hasil yang diperoleh dari pelaksanaan mekanisme tersebut.
Yang pertama, Islam memerintahkan semua laki-laki yang mampu untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri. Selain itu negara juga memfasilitasi mereka untuk dapat bekerja dengan menciptakan lapangan kerja maupun memberikan bantuan lahan, peralatan dan modal. Dengan demikian perintah dan fasilitas untuk bekerja tersebut memungkinkan untuk memenuhi semua kebutuhan primer, sekunder, dan tersiernya. Hanya saja kemampuan dan keahlian bekerja setiap orang pasti berbeda-beda pula. Kondisi ini memungkinkan seseorang tidak mampu membeli rumah atau menyewa rumah. Mereka yang tidak mampu membeli, membangun, dan menyewa rumah, entah karena pendapatan tidak mencukupi atau memang tidak mampu bekerja maka akan menjadi kewajiban kepala keluarga, ahli waris, dan kerabatnya sebagaimana aturan Islam dalam menyantuni makanan dan pakaiannya.
Yang kedua, jika mekanisme pertama tidak bisa menyelesaikan, maka selanjutnya negara lah yang berkewajiban menyediakan rumah dengan menggunakan harta milik negara atau harta milik umum dan berdasarkan pendapat atau ijtihad. Untuk kemaslahatan umat, maka Khalifah bisa menjual secara tunai atau kredit tanpa riba dengan harga terjangkau, menyewakan, meminjamkan, atau bahkan menghibahkan rumah kepada orang yang membutuhkan, sehingga tidak ada individu rakyat yang tidak memiliki atau menempati rumah.
Disisi lain, regulasi Islam dan kebijakan Khalifah (kepala negara) juga akan lebih memudahkan seseorang memiliki rumah. Khalifah adalah pelayan umat, dia harus mengurusi rakyatnya hingga semua kebutuhan primernya termasuk rumah terpenuhi.
Berikut beberapa regulasi dan kebijakan dalam khilafah yang diberlakukan negara agar rakyatnya memiliki rumah :
1) Larangan menelantarkan tanah. Tanah yang ditelantarkan selama tiga tahun oleh pemiliknya, maka negara berhak memberikannya kepada orang lain, termasuk untuk pendirian rumah. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa yang mempunyai sebidang tanah, hendaknya dia menanaminya, atau hendaknya diberikan kepada saudaranya. Apabila dia mengabaikannya, maka hendaknya tanah itu diambil." (HR. Bukhari)
Mekanisme pelarangan penelantaran tanah, penarikan tanah terlantar dan pemberiannya diatur oleh negara. Individu rakyat tidak boleh mengambil sendiri sehingga akan memicu perselisihan, persengketaan, kekacauan dan kerusakan ditengah-tengah masyarakat.
2) Selain jual beli, waris atau hibah, menurut Islam, tanah bisa dimiliki melalui ihya', tahjir, dan igtha'.
Pengertian ihya' (al-mawat) adalah menghidupkan atau memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang untuk suatu keperluan termasuk membangun rumah. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya." (HR. Bukhari)
Tahjir (al-ardh) artinya membuat batas atau memagari sebidang tanah. Rasulullah SAW bersabda, "Barangsiapa membuat suatu batas pada suatu tanah (mati), maka tanah itu menjadi miliknya."(HR. Ahmad)
Sedangkan igtha' artinya pemberian tanah milik negara kepada individu rakyat. Mekanisme penerapan ihya', tahjir, dan igtha' harus diatur oleh negara beserta segenap aparaturnya hingga di tingkat daerah agar tidak terjadi perselisihan, persengketaan, kekacauan, dan kerusakan ditengah-tengah masyarakat
3) Harta milik umum adalah harta yang ditetapkan oleh Allah Swt. sebagai milik bersama kaum muslim seperti sumber air, padang rumput (hutan), bahan bakar, sarana umum (jalan, kereta api, trem, saluran air, dan sebagainya) dan barang tambang yang jumlahnya tidak terbatas.
Pemanfaatan harta milik umum secara langsung maupun tidak langsung akan memudahkan seseorang memiliki rumah. Tentu saja negara harus mengatur dan mengontrol pemanfaatannya agar tidak terjadi hal-hal kerusakan dan kekacauan ditengah-tengah masyarakat. Misalnya dengan mekanisme tertentu seseorang bisa langsung mengambil kayu dari hutan dan bebatuan di kali untuk bahan bangunan rumahnya. Secara tidak langsung, negara harus mengolah terlebih dahulu kayu kayu (pepohonan) milik umum untuk dijadikan papan triplek dan batangan kayu sebagai bahan bangunan rumah.
Negara juga harus mengolah barang tambang untuk menghasilkan besi, aluminium dan lain lain menjadi bahan bangunan yang siap pakai. Dengan demikian individu rakyat mudah menggunakannya baik secara gratis maupun membeli dengan harga terjangkau (murah).
Penerapan syariah akan menegasikan semua akad bisnis properti yang batil dan ribet seperti meniadakan bunga, denda, sita, asuransi akad ganda, kepemilikan tidak sempurna serta segala macam persyaratan administrasi dan birokrasi yang menyulitkan dan berbiaya.
Demikianlah ketika syariat Allah diterapkan, akan menyelamatkan manusia dari keburukan dan kehinaan di dunia maupun di akhirat. Hanya dengan penerapan hukum Allah, generasi ini mampu mendapatkan tempat hidup yang layak bagi tumbuh kembang mereka tanpa harus mengantre.
Wallahu a'lam bi ash-shawab
Tags
Opini