Penulis: Ilmi Mumtahanah
25 November setiap tahunnya diperingati sebagai Hari Guru Nasional. Tema besar yang diusung adalah “Guru Berdaya, Indonesia Jaya”. Tema ini menjadi harapan Indonesia mengenai esensi penting keberdayaan guru dalam membangun peradaban bangsa yang unggul dan bermartabat.
Ya, sejatinya guru memiliki peran sentral dalam sistem pendidikan. Mereka tidak hanya bertugas menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi juga membimbing, mendidik, dan membentuk karakter generasi muda. Guru berperan penting dalam mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan masa depan dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Namun, akankah misi besar tersebut terlaksana manakala kesejahteraan guru belum terwujud?
Faktanya, kesejahteraan guru tidak hanya mencakup gaji yang layak, tetapi juga kondisi kerja yang mendukung, akses terhadap pelatihan dan pengembangan profesional, serta penghargaan atas kontribusi mereka. Ketika guru sejahtera, mereka dapat fokus pada pekerjaan dan lebih termotivasi untuk memberikan yang terbaik bagi siswa. Ini pada gilirannya akan meningkatkan kualitas pembelajaran dan hasil pendidikan secara keseluruhan.
Rendahnya gaji guru dapat berdampak negatif terhadap kualitas pendidikan secara luas. Ketika gaji guru tidak memadai, sulit untuk menarik dan mempertahankan guru-guru berkualitas tinggi. Hal ini dapat mengakibatkan tingkat turnover yang tinggi, menurunnya motivasi, dan pada akhirnya berdampak pada kualitas pembelajaran di kelas. Selain itu, rendahnya gaji juga dapat mendorong guru untuk mencari sumber pendapatan tambahan yang dapat mengganggu fokus mereka terhadap tugas utama.
Pemerintah telah mengambil beberapa langkah untuk meningkatkan kesejahteraan guru, seperti pemberian tunjangan profesi, sertifikasi, dan berbagai program pelatihan. Namun, upaya-upaya ini masih dianggap belum cukup untuk menjawab tantangan yang ada. Diperlukan komitmen yang lebih kuat dan berkelanjutan dari pemerintah untuk memprioritaskan peningkatan kesejahteraan guru sebagai bagian integral dari reformasi pendidikan yang komprehensif.
Betapa tidak, profesi guru tidak berbanding lurus dengan upahnya. Gaji mereka minim, kesejahteraan tidak terjamin seutuhnya, belum lagi nasib guru honorer masih belum mengalami perbaikan signifikan. Kondisi ini diperparah dengan adanya ancaman kriminalisasi dari para orang tua murid terhadap guru seperti kebanyakan kasus yang bermunculan hari ini.
Selain itu, tidak sedikit para guru yang terjerat pinjol. Menurut survei yang dilakukan NoLimit Indonesia pada 2021, sebanyak 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal adalah guru. Sedangkan urutan kedua pemakai pinjol terbanyak adalah korban pemutusan hubungan kerja (PHK) sebanyak 21%. Yang ketiga adalah ibu rumah tangga, yakni sebesar 18%.
Berbagai macam ketimpangan ini tidak lepas dari keterbatasan fasilitas dan sumber daya yang menjadi kendala bagi guru dalam mencerdaskan para peserta didik. Minimnya infrastruktur pendidikan dalam gurita komersialisasi dan kapitalisasi pendidikan, menjadikan posisi guru terjepit oleh tarik ulur kebijakan yang cenderung menonjolkan ego sektoral dan beragam kepentingan. Ini semua harusnya menjadi tanggung jawab negara dalam menyediakan lingkungan belajar-mengajar bagi para guru.
Sebagaimana tercatat dalam sejarah, negara Islam menerapkan sistem politik yang menempatkan pendidikan sebagai sektor publik. Khilafah juga menerapkan sistem ekonomi Islam dengan pengelolaan harta berbasis baitulmal untuk mendukung kesejahteraan para guru.
Jaminan negara ini bersifat langsung. Maksudnya, hak ini diperoleh secara cuma-cuma atau berbiaya semurah-murahnya sebagai hak rakyat atas negara. Pembiayaan seluruh unsur pendidikan di berbagai jenjang (dasar, menengah, tinggi), baik yang menyangkut gaji para guru/dosen, maupun menyangkut infrastruktur serta sarana dan prasarana pendidikan, sepenuhnya menjadi kewajiban negara.
Khilafah berkepentingan untuk menyediakan para guru terbaik untuk mendidik dan mencerdaskan generasi. Khilafah juga harus memastikan agar para guru memperoleh gaji yang layak. Ini menunjukkan bahwa penghargaan terhadap guru bukan hanya dari nominal gajinya, tetapi juga keberpihakan sistem terhadap pendidikan yang diposisikan oleh Khilafah sebagai kebutuhan pokok umat.
Bahkan, gaji guru pada masa Khalifah Umar bin Khaththab ra. sekitar 4-15 dinar per bulan. Pada masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid, gaji tahunan rata-rata untuk pendidik umum mencapai 2.000 dinar. Sedangkan gaji untuk periwayat hadis dan ahli fikih mencapai 4.000 dinar. Dengan harga emas murni yang saat ini mencapai sekitar Rp1.500.000 per gram dan berat satu dinar sama dengan 4,25 gram emas, gaji guru saat itu mencapai Rp12,75 miliar per tahun. Sedangkan pengajar Al-Qur’an dan hadis mencapai Rp25,5 miliar per tahun.
Semua itu sebagai bentuk penghargaan terhadap profesi guru. Memualiakan guru. Memuliakan pemilik ilmu. Tidakkah kita ingin guru-guru kita hari ini juga merasakan kesejahteraan sebagaimana yang terjadi di masa kegemilangan sistem pemerintahan Islam? Wallahualam.