Oleh : Anis Nofitasari S.Pd
Penerangan merupakan salah satu kebutuhan pokok warga negara. Yang dalam hal itu, negara harus memegang kendali penuh untuk melakukan pemerataan. Akan tetapi, hal itu nampaknya masih menjadi problem yang belum terpecahkan. Hal itu dapat diketahui dari ketidakmerataan listrik yang dirasakan oleh 22.000 kepala keluarga. Dilansir dari tirto.id, Direktur Jendral Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jisman P Hutajulu, mengatakan sampai triwulan 1 2024 masih ada 112 desa/kelurahan yang belum teraliri listrik.
“Sampai dengan Triwulan I 2024, Ditjen Ketenagalistrikan telah menetapkan daerah belum berlistrik sebanyak 0,13 persen, 112 desa/kelurahan,’’
Menindaklanjuti hal tersebut, upaya pemerataan tetap dilakukan. Masih dilansir dari tirto.id, upaya untuk mencapai target rasio elektrifikasi 100 persen di akhir tahun ini antara lain, dengan perluasan jaringan (grid extension) untuk melistriki desa-desa yang dekat dengan jaringan distribusi eksisting. Selanjutnya melalui pembangunan minigrid untuk melistriki desa-desa yang sulit dijangkau perluasan jaringan Listrik PLN dan masyarakatnya bermukim secara berkelompok (komunal). Peningkatan akses Listrik perdesaan (lisdes), Jisman bersama PLN telah menyusun peta jalan (roadmap) Listrik perdesaan untuk tahun 2023-2026. Dengan program antara lain untuk melistriki desa/kelurahan yang belum berlistrik.
Kita ketahui bersama bahwa listrik merupakan kebutuhan penting yang seharusnya dipenuhi oleh negara. Namun hal ini tidak terwujud karena liberalisasi tata kelola listrik pada sumber energi primer dan layanan listrik, yang berorientasi mendapatkan keuntungan. Akibatnya penyediaan listrik di pedesaan tidak terlalu diperhatikan karena mahalnya biaya.
Masih dilansir dari tirto.id, desa/kelurahan yang berlistrik LTSHE, yang secara teknis telah melampaui masa pakai atau sudah mencapai tiga tahun menjadi berlistrik PLN, dan pengalihan desa/kelurahan berlistrin non-PLN yang ditengarai tidak andal menjadi pelanggan PLN.
“Terakhir, perluasan jaringan untuk melistriki dusun-dusun yang belum berlistrik,” pungkas Jisman.
Dari keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa penyediaan hajat hidup ini dilakukan oleh korporasi sehingga harga listrik niscaya mahal. Negara lepas tangan menjamin pemenuhan kebutuhan rakyatnya. Bahkan negara justru memalak rakyat melalui tata kelola listrik yang kapitalistik ini. Tentu hal itu tidak menjadi suatu keanehan lagi jika yang memegang kendali adalah sistem demokrasi. Dimana setiap orang bebas berkembang selagi memiliki modal tanpa memikirkan kemaslahatan.
Berbeda jika dalam penerapannya menggunakan sistem Islam. Pendistribusiannya pasti akan merata dengan anggaran minimum yang dikeluarkan oleh kantong rakyatnya. Dalam Islam, listrik adalah milik umum, harus dikelola negara dan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk listrik gratis atau murah (mudah dijangkau). Islam melarang penyerahkan pengelolaannya kepada swasta. Negaralah yang bertanggung jawab memastikan setiap individu rakyat terpenuhi kebutuhan listriknya, dengan harga listrik murah bahkan gratis, layanan merata sampai ke pelosok. Dalam mengelola layanan listrik ini, negara menyediakan sarana prasarana terbaik sehingga memudahkan rakyat dalam mengaksesnya. Sudah saatnya negara memikirkan untuk mencampakkan sistem yang menyengsarakan. Mengganti dengan sistem yang membawa kesejahteraan tak berkesudahan dalam bingkai sistem Islam. Wallahu A’lam bishshawab.
Tags
Opini