Krisis Air Bersih Hantui Warga, Berharap pada Siapa ?




Oleh : Eti Fairuzita



Tak kurang dari 10.000 warga Gili Ketapang, Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, saat ini tengah menghadapi krisis air bersih. Krisis ini disebabkan oleh putusnya pipa Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang terletak di bawah laut akibat tersangkut jangkar kapal. Masalah ini telah berlangsung sejak 7 November 2024, dan berdampak signifikan pada kebutuhan air bersih masyarakat setempat. Menanggapi kondisi tersebut, berbagai kelompok dan elemen masyarakat terus mengirimkan bantuan air bersih untuk memastikan kebutuhan warga terpenuhi.

Bantuan air bersih tersebut dikirim melalui kapal dari pelabuhan Mayangan di Kota Probolinggo menuju Gili Ketapang, dengan waktu tempuh sekitar satu jam. Setibanya di pulau, antusiasme warga, baik perempuan maupun pria, terlihat jelas saat mereka berebut untuk mendapatkan air bersih yang sangat dibutuhkan. "Kami memang sangat membutuhkan bantuan air bersih karena aliran dari PDAM terputus akibat tersangkut jangkar kapal," ungkap Asna, salah seorang warga setempat. Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPPD) Kabupaten Probolinggo, Oemar Sjarif, menyatakan, pihaknya setiap hari mengirimkan air bersih melalui kapal penyeberangan, dengan total pengiriman antara 4.000-26.000 liter air.
Persoalan kurangnya akses terhadap air bersih di negeri ini masih menjadi PR besar bagi pemerintah. Padahal negeri ini kaya akan sumber daya air. Namun faktanya, krisis air bersih masih menimpa masyarakat khususnya saat musim kemarau tiba. Kondisi ini turut berdampak pada kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan, dan disabilitas. Mereka harus membeli atau antri berjam-jam untuk mendapatkan air. Sulitnya akses air bersih juga menambah beban terutama bagi perempuan dan anak-anak perempuan yang dapat terganggu pendidikannya serta meningkatkan kerentanan ekonomi mereka. Krisis Air bersih di tengah berlimpahnya sumber daya air di negeri ini sejatinya menunjukkan ada salah tata kelola air yang membahayakan kehidupan manusia.

Salah satu penyebab krisis air adalah akibat berkurangnya daerah resapan air di daerah hulu. Menurut Bapenas, kerusakan hutan menjadi pemicu kelangkaan air baku. Pulau-pulau seperti Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara yang memiliki tutupan hutan rendah sangat rentan terhadap kekeringan dan kualitas air yang buruk. Tutupan hutan yang hilang mengurangi daya resapan air hujan dan menyebabkan aliran air permukaan yang membawa polutan. Penerapan sistem kapitalisme telah menjadikan sebagian besar hutan dialihfungsikan menjadi kawasan ekonomi hingga dibabat demi kepentingan industri.

Hal ini mutlak terjadi dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Sebab liberalisasi telah menjadi prinsip ekonomi kapitalisme yang membolehkan bahkan mendukung siapa saja yang ingin mengelola SDA, termasuk hutan selama memiliki modal. Liberalisasi juga telah menjadikan privatisasi sektor air terus berlangsung, padahal air merupakan kepemilikan umum atau publik namun kini menjadi milik swasta, milik satu atau sekelompok orang dalam bentuk perseroan.
Mirisnya, di tengah jeritan rakyat akibat krisis air ini penguasa justru tidak menunjukkan simpati atas rakyatnya. Penguasa seolah tidak merasakan penderitaan yang menimpa rakyatnya. Bagaimana mungkin seorang penguasa bisa tidur nyenyak sementara rakyatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan air untuk kelangsungan hidup mereka.

Sungguh penguasa yang menjalankan kepemimpinan sekuler hanya diposisikan sebagai regulator semata yang abai terhadap jaminan pemenuhan kebutuhan pokok rakyatnya. Negeri ini membutuhkan visi politik SDA yang berorientasi pada kemaslahatan umat. Dimana hal itu akan terwujud dalam kehidupan yang diatur oleh kepemimpinan Islam.

Islam memposisikan pemimpin sebagai raa'in (pengurus umat). Sehingga dalam memimpin dia akan terikat dengan syariat dan menjalankannya secara keseluruhan. Pemimpin dalam Islam juga sangat memahami bahwa kepemimpinannya akan dimintai pertanggungjawaban hingga di akhirat kelak.
Rasulullah saw Bersabda :"Imam (Khalifah) adalah raa'in atau pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang diurusnya,"(HR. Bukhari).

Salah satu tanggung jawab negara adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok rakyatnya individu per individu. Termasuk kebutuhan air yang ketiadaannya mengancam umat manusia. Pemimpin dalam Islam wajib menjalankan urusan pemerintahan dengan hukum Islam.

Seorang Mujtahid mutlak abad ini, Syeikh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya Nidzamul al-Hukmi fil al-Islam  hal, 49 menyatakan bahwa Khalifah atau kepala negara adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan dan pemerintahan serta penerapan hukum-hukum syariat. Status air dan hutan dalam Islam tergolong sebagai kepemilikan umum atau rakyat yang wajib dikelola oleh negara, bukan diserahkan kepada korporasi. Islam telah melarang menyerahkan pengelolaannya kepada swasta apapun alasannya.

Syeikh Taqiyuddin an Nabhani seorang pendiri partai Islam ideologis menyatakan dalam kitabnya as-Syaksiyah Al-Islamiyah hal, 161 Asy-Syari telah memerintahkan penguasa agar senantiasa memperhatikan rakyatnya, memberikan nasihat memperingatkan penguasa agar tidak menyentuh sedikitpun harta milik umum dan mewajibkan penguasa agar memerintah rakyat dengan Islam saja, tanpa yang lain.
Oleh karena itu, negara tidak boleh menyerahkan tata kelola air kepada pihak swasta, sebagaimana yang terjadi saat ini yang menggunakan skema investasi.

Negara harus mengendalikan mulai dari proses produksi hingga distribusi ke masyarakat hingga ke daerah pelosok. Untuk daerah yang jauh dari sumber air negara akan membangun teknologi unggul hingga terdistribusi ke daerah tersebut. Negara melakukan pengawasan atas berjalannya pemanfaatan air, seperti peningkatan kualitas air dan menyalurkan kepada masyarakat melalui industri air bersih perpipaan hingga kebutuhan masyarakat atas air bisa terpenuhi dengan baik.
Dana dari Baitul Mal sangat cukup untuk memenuhi kemaslahatan air ini, hingga bisa diakses rakyat dengan gratis atau harga murah.

Negara juga akan melakukan rehabilitasi dan memelihara konversi lahan hutan agar resapan air tidak hilang. Caranya, negara mengedukasi masyarakat agar bersama-sama menjaga lingkungan. Negara harus memetakan dengan benar terkait pembangunan yang dilakukan sehingga tidak merusak alam. Negara bahkan akan memberikan sanksi tegas terhadap pelaku kerusakan lingkungan. Semua mekanisme ini hanya akan bisa dan mampu dilakukan oleh sebuah negara yang menerapkan sistem Islam yakni Khilafah.

Wallahu alam bish-sawab
.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak