Kesehatan sebagai Hak Dasar: Solusi Islam Mengatasi Krisis Layanan Kesehatan



Oleh: Saffana Afra (Aktivis Mahasiswa)



Kesehatan merupakan salah satu hak dasar setiap warga negara yang harus dijamin oleh negara. Namun, masalah kesehatan di Indonesia masih menjadi tantangan besar yang belum terpecahkan secara menyeluruh. Ketimpangan dalam distribusi fasilitas dan tenaga kesehatan (nakes), biaya pengobatan yang tinggi, serta komersialisasi sektor kesehatan semakin memperburuk situasi ini. Kondisi ini membuat banyak warga negara kesulitan dalam mengakses layanan kesehatan yang layak dan berkualitas.

Salah satu permasalahan yang paling mencolok dalam sektor kesehatan Indonesia adalah ketidakmerataan akses dan fasilitas kesehatan di berbagai daerah. Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Bandung memiliki fasilitas kesehatan yang memadai dengan peralatan modern serta tenaga medis yang terlatih. Namun, di daerah terpencil dan pelosok, banyak puskesmas dan rumah sakit yang kekurangan fasilitas, peralatan medis, serta tenaga kesehatan yang memadai. Hal ini menyebabkan kesenjangan besar dalam kualitas pelayanan kesehatan antara kota besar dan daerah terpencil.

Selain itu, kurangnya tenaga medis di daerah-daerah tertentu juga menjadi faktor penyebab. Banyak dokter dan tenaga kesehatan lainnya memilih bekerja di kota-kota besar, di mana mereka dapat memperoleh penghasilan lebih tinggi dan memiliki akses ke fasilitas yang lebih lengkap. Sementara itu, di daerah-daerah terpencil, warga seringkali terpaksa menempuh perjalanan jauh untuk mendapatkan layanan kesehatan yang layak. Tentu saja, hal ini tidak hanya menghambat aksesibilitas, tetapi juga memperburuk ketimpangan sosial.
|Di Kalimantan Tengah contohnya, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Kalimantan Tengah (Kalteng), Suyuti Syamsul, menegaskan kebutuhan dokter saat ini masih banyak. Lantaran apabila mengikuti rasio baru, setiap seribu penduduk, memerlukan satu orang dokter. Dengan penduduk Kalimantan Tengah berjumlah sekitar 2,7 juta jiwa, sehingga memerlukan 2.700 dokter. Namun saat ini, jumlah dokter hanya ada 800 orang, sehingga masih memerlukan sekitar 1.900 dokter lagi untuk mencapai ideal. Hal ini mengidikasikan ketidakmerataannya penyebaran tenaga kesehatan di negeri ini (rri.co.id).

Selain ketidakmerataan akses, fenomena komersialisasi sektor kesehatan semakin mengkhawatirkan. Layanan kesehatan yang seharusnya menjadi hak dasar bagi seluruh rakyat kini sering dipandang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan. Rumah sakit dan fasilitas kesehatan lainnya, baik milik negara maupun swasta, cenderung mengutamakan keuntungan finansial daripada kualitas layanan yang diberikan kepada pasien.

Biaya pengobatan yang tinggi, harga obat yang melambung, serta tarif rumah sakit yang terus meningkat membuat banyak warga negara kesulitan mengakses layanan kesehatan. Sementara itu, anggaran kesehatan yang diklaim diprioritaskan oleh pemerintah, pada kenyataannya tidak sepenuhnya digunakan untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan bagi rakyat.

Sektor kesehatan yang didorong oleh prinsip kapitalisme ini juga memperburuk ketidaksetaraan akses. Mereka yang memiliki kemampuan finansial lebih besar dapat mengakses perawatan terbaik, sementara mereka yang tidak mampu sering kali terpaksa menerima layanan yang terbatas atau bahkan tidak mendapatkan perawatan sama sekali. Ini menunjukkan bahwa kesehatan telah diperlakukan lebih sebagai industri atau bisnis, bukan sebagai hak dasar yang harus dijamin oleh negara.

Adanya asuransi kesehatan yang telah diprogram oleh pemerintah juga tidak menjadi solusi. Program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN menghadapi risiko beban jaminan kesehatan yang lebih tinggi dari penerimaannya. Muncul saran agar iuran naik, tetapi berdasarkan perhitungan terbaru, iuran BPJS naik hingga 10% pun tidak cukup dan masih berpotensi menyebabkan defisit dana jaminan sosial. Kepala Humas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Rizzky Anugerah menjelaskan rasio beban jaminan kesehatan terhadap penerimaan iuran JKN sampai Oktober 2024 telah mencapai 109,62%, yang berarti beban yang dibayarkan lebih tinggi dari iuran yang didapat (finansial.bisnis.com).

Masalah kesehatan ini tidak terlepas dari sistem kepemimpinan yang ada di negara ini. Kepemimpinan sekuler, yang memisahkan agama dari urusan negara, seringkali lebih fokus pada kebijakan-kebijakan pragmatis dan ekonomis yang cenderung menguntungkan pihak-pihak tertentu, terutama korporasi besar, tanpa memperhatikan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.

Dalam sistem sekuler, peran negara sebagai penyelenggara kesejahteraan rakyat, termasuk dalam bidang kesehatan, sering kali terabaikan. Negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator yang mendukung sektor swasta, bukannya menjadi pengambil kebijakan yang pro-rakyat. Negara seolah melepaskan tanggung jawabnya untuk menyediakan pelayanan kesehatan yang layak bagi seluruh warga negara. Akibatnya, kesehatan lebih diperlakukan sebagai pasar yang bebas, di mana hanya mereka yang memiliki daya beli yang cukup yang bisa mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal.

Kesehatan adalah kebutuhan dasar yang wajib dipenuhi oleh negara. Dalam perspektif Islam, kesehatan bukanlah komoditas yang bisa diperdagangkan atau dijadikan sumber keuntungan. Islam memandang bahwa negara memiliki tanggung jawab yang besar dalam menjamin akses kesehatan bagi seluruh rakyatnya. Dalam sistem kepemimpinan Islam, negara tidak hanya berfungsi sebagai regulator atau fasilitator, tetapi juga sebagai penyedia layanan yang harus memastikan bahwa setiap warganya, tanpa terkecuali, dapat mengakses layanan kesehatan yang memadai, berkualitas, dan gratis.

Khalifah, sebagai pemimpin dalam sistem Islam, memiliki tanggung jawab besar sebagai raa’in (pemimpin yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat). Khalifah harus memastikan bahwa kebutuhan dasar seperti kesehatan dapat dipenuhi dengan baik, tanpa membedakan latar belakang sosial, ekonomi, atau geografis rakyat. Ini berarti bahwa negara harus menjamin bahwa fasilitas kesehatan yang memadai tersedia di seluruh wilayah, termasuk di daerah terpencil dan miskin.

Pada masa Khilafah, layanan kesehatan sangat maju dan gratis bagi semua lapisan masyarakat. Salah satu contohnya adalah ketika Khalifah Umar bin al-Khaththab memanggil dokter untuk merawat Zaid bin Aslam yang sakit parah. Para khalifah membangun rumah sakit atau bimaristan dan terus menyempurnakannya. Salah satu yang terkenal adalah Bimaristan Al-Mansouri di Kairo yang dibangun pada 1248 M, memiliki 8.000 tempat tidur, dan menyediakan fasilitas seperti ruang salat bagi pasien. Rumah sakit ini menerima pasien tanpa memandang ras, agama, atau status sosial, dan memberikan pakaian baru serta uang saku bagi pasien yang sembuh.

Pada masa Khilafah Abbasiyah, negara juga membangun bimaristan khusus untuk penyakit tertentu seperti psikiatri dan kusta, serta menyediakan rumah sakit keliling untuk para musafir. Selain itu, negara memberikan perawatan medis bagi para narapidana di penjara, termasuk dokter dan obat-obatan setiap hari. Para penguasa pada masa itu sering mewakafkan hartanya untuk kepentingan umat, termasuk untuk biaya operasional rumah sakit.

Sejarah Khilafah menunjukkan bagaimana jaminan kesehatan dapat diwujudkan dengan baik, bahkan bagi rakyat yang tinggal di daerah terpencil sekalipun. Oleh karena itu, untuk mewujudkan sistem kesehatan yang adil dan merata, negara harus kembali pada prinsip-prinsip Islam yang menempatkan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas utama, bukan keuntungan ekonomi.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak