Oleh : Desy Setyorini, S.Pd
Hampir sepanjang 2024, opini publik didominasi oleh isu kepemimpinan. Mulai dari perubahan formil persyaratan calon pemimpin hingga muncul tawaran beragam sosok pemimpin dan model kepemimpinan. Nampaknya pergantian rezim di Indonesia masih serupa dengan model kepemimpinan sebelumnya. Rezim penguasa melakukan politik
gentong babi (pork barrel politic) kepada rakyatnya. Penguasa masih di frame-kan sebagai purnawiran militer yang tegas dan tidak banyak tingkah dengan wakilnya dari kalangan sipil berpenampilan sederhana, ndeso, dekat dengan rakyat melalui blusukan atau memberikan bansos. Padahal mereka masih melayani para kapitalis, pemilik modal, investor asing, dan oligarki, sekelompok kecil yang punya material power yang mengendalikan hukum dan ekonomi. Inilah pola kepemimpinan populis otoriter.
Populisme otoritarian adalah suatu kepemimpinan populer yang mengeklaim didukung oleh rakyat, tetapi di balik itu ada sifat dan kepentingan sewenang-wenang. Proses otokratisasi di mana populisme otoriter berperan signifikan berlangsung melalui apa yang disebut dengan
tahapan otokratisasi, yaitu politisasi kekecewaan rakyat, polarisasi sosial berbasis narasi kultural, pelemahan institusi, kontrol informasi alternatif, dan represi oposisi dan pengkritik. Otokratisasi sangat bergantung pada keterampilan petahana memanfaatkan retorika populis demi melegitimasi tindakan otoriter rezim (Margiansyah, 2021).
Pemimpin populis otoriter menjadikan populismenya untuk mengontrol penuh parpol, TNI/Polri, media, ormas, untuk melakukan tindakan represif atau otoriter pada kelompok kritis seperti media massa, content creator, kelompok masyarakat sipil kritis, dan kelompok Islam kritis dengan memakai Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) atau UU Ormas. Tetapi malah memberikan izin tambang bagi ormas pengusung penguasa serta membagi-bagi jatah menteri atau jabatan strategis kepada pihak tertentu, baik yang berlatar parpol maupun nonparpol. Hal ini dilakukan sebagai politik balas budi dan alat sandera politik. Sehingga menjadikan penguasa memiliki kontrol penuh atas opini yang beredar di tengah masyarakat.
Praktik lainnya yang juga kerap terjadi di negara-negara pengemban demokrasi adalah pengambilan kebijakan secara otoritarian dengan menempatkan banyak anggota partai politik penguasa di wilayah legislatif sehingga apapun usulan undang-undang dari pihak eksekutif akan selalu melawati jalan mulus. Sebut saja pengesahan RUU OMNIBUSLAW yang diwarnai insiden mematikan mikrofon, pengesahan revisi UU Pilkada di tengah malam yang ditengarai undang-undang ini untuk memuluskan bakal calon gubernur Jakarta yang diusung pihak presiden bisa bersaing dengan kotak kosong dan pengesahan revisi syarat umur bagi calon Wapres walaupun ada dissenting opinion. Bahkan yang justru terjadi di Indonesia adalah pihak legislatif lebih banyak mengajukan pengesahan RUU yang pro kebijakan rezim semisal RUU Perubahan No. 1 Tahun 2011 tentang Partai Politik, RUU Perubahan UU No.22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan RUU Perubahan UU No.30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan.
Di masa rezim yang baru saat ini, sekeretariat Baleg DPR memaparkan DPR masih melakukan pembahasan penyusunan daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) jangka menengah 2025-2029. 61 usulan RUU dari berbagai komisi DPR sudah masuk dari dalam daftar Prolegnas, yang terbanyak adalah pengajuan 11 perubahan RUU dari komisi II DPR. 7 dari 11 pengajuan perubahan RUU tersebut masuk dalam daftar Prolegnas Prioritas 2025, yakni RUU Pemilu, RUU Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, RUU partai Politik, RUU pemerintahan Daerah, RUU Kewarganegaraan, RUU Administrasi Kependudukan, dan RUU Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (hukumonline.com).
Dalam Harvard Magazine, Pippa Norris -ilmuwan politik komperatif yang telah mengajar di Harvard selama tiga dekade- menyatakan bahwa selama dua dekade, para pemimpin otoriter populis—yang menyerukan nasionalisme dan tradisi, menyerukan permusuhan terhadap orang luar dan elit—telah menarik dukungan yang semakin besar di seluruh Eropa dan Amerika, memenangkan kursi legislatif dan jabatan menteri, serta memperoleh kekuasaan pemerintahan. Trump adalah bagian dari gelombang itu. Parahnya, para pemimpin populis otoriter ini (di Eropa dan Amerika) juga memanfaatkan isu masalah sosial terkait keberagaman dan hak - hak LGBTQ, lebih egaliter tentang peran gender dan kesetaraan ras, lebih ekspansif d alam representasi demokratis, lebih sekuler, lebih kosmopolitan, dan lebih global.
Gaya kepemimpinan populis otoriter yang lahir dari demokrasi liberal ini jelas merusak segala aspek kehidupan rakyat. Mulai arah pendidikan yang makin liberal, biaya kesehatan dan bahan kebutuhan dasar yang makin naik, pembebanan pajak yang naik setiap tahun, dan kehidupan sosial yang makin semrawut. Problem mendasar umat adalah ketiadaan kepemimpinan Islam. Lalu menjadikan demokrasi sebagai regulator yang melayani para kapitalis. Penguasa tidak lagi mempedulikan tanggung jawabnya kepada rakyat. Jika telah jelas rusaknya menerapkan gaya kepemimpinan yang lahir dari akal manusia maka ganti dengan kepemimpinan yang telah didesain dengan sempurna oleh Allah SWT.
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu (QS Al- Maidah: 48)
Sejak Muhammad SAW wafat, kepemimpinan kaum muslimin senantiasa dipimpin oleh seorang khalifah yang menempatkan kedaulatan ditangan asy syara’ dalam institusi negara Khilafah. Taqiyuddin an-Nabhani dalam Al- Syakhshiyah Islamiyah Juz II memaparkan bahwa khilafah adalah kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia untuk menegakkan hokum-hukum syara’ (Islam) dan mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas seluruh kaum muslimin di seluruh penjuru dunia. Melaksanakan pengangkatan khalifah sebagaimana pelaksanaan kewajiban- kewajiban lain yang telah ditetapkan Allah atas kaum muslim adalah suatu keharusan yang tidak ada pilihan lain dan tidak ada tawar menawar di dalamnya. Kelalaian dalam melaksanakan hal ini termasuk sebesar-besar maksiat, dimana Allah akan mengazab dengan azab yang sangat pedih.
Siapa saja yang tidak berhukum dengan wahyu yang telah Allah turunkan (al-Qur’an), merekalah pelaku kezaliman (QS. Al-Maidah:45)
Dalam Islam tugas utama khalifah adalah menerapkan hukum-hukum syariah, sebagaimana dinyatakan oleh Syekh Abdul Qadim Zallum
اَلْخَلِيْفَةُ هُوَ الَّذِيْ يَنُوْبُ عَنِ اْلُأهَّةِ فِي الْحُكْنِ وَالسُّلْطَانِ وَفِيْ تَنْفِيْذِ أَحْكَامِ الشَّرْعِ
Khalifah (kepala negara) adalah orang yang mewakili umat Islam dalam urusan kekuasaan atau pemerintahan dan penerapan hukum-hukum syariah
Kebutuhan dasar rakyat adalah bagian dari urusan pemerintahan yang menjadi tanggung jawab pemimpin dalam memenuhinya sesuai ketentuan syariah. Islam telah menentukan kewajiban penguasa kepada rakyatnya. Tanggungjawab penguasa yang berkaitan dengan hal- hal yang wajib dipenuhi dalam dirinya sendiri sebagai penguasa tampak jelas dalam hadits- hadits yang dijelaskan Rasul saw. mengenai sebagian sifat-sifat penguasa. Di antaranya yang paling menonjol adalah kekuatan, ketakwaan, kelemahlembutan terhadap rakyat, dan tidak menimbulkan antipati. Asy-Syâri’ telah memerintahkannya agar senantiasa memperhatikan rakyatnya memberinya nasihat, memperingatkannya agar tidak menyentuh sedikit pun harta kekayaan milik umum, dan mewajibkannya agar memerintah rakyat dengan Islam saja tanpa yang lain. (Taqiyuddin an-Nabhani, Syakhshiyyah al-Islamiyyah juz II).
Gaya kepemimpinan seperti ini hanya lahir dari rahim sistem Islam dimana kepemimpinan memiliki dua dimensi, yakni dimensi duniawi dan ukhrawi. Dimensi duniawi ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepemimpinan di hadapan masyarakat. Sementara dimensi ukhrawi (ruhiah) ditunjukkan dengan kewajiban mempertanggungjawabkan peran kepemimpinan ini di hadapan Allah Swt.
Telah terbukti dalam sejarah, selama 13 abad lebih umat Islam hidup dalam sistem yang sangat ideal. Keamanan, kesejahteraan, keadilan, dan ketinggian moral, dirasakan oleh semua orang seiring sejalan dengan lahirnya kehidupan yang diliputi suasana keimanan. Bahkan, selama itu pula, di bawah kepemimpinan Khilafah, umat Islam mampu tampil sebagai pionir peradaban yang mana dunia Barat telah menerima buah manisnya hingga sekarang.
Inilah sistem paripurna yang harus kita wujudkan dengan penuh kesungguhan. Lalu mengajak dan mendorong umat untuk beramal mewujudkan sosok pemimpin idaman yang hanya bisa diwujudkan dalam sistem politik Islam.
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada- Nyalah kamu akan dikumpulkan. (QS. Al Anfaal: 24)
Tags
Opini