Kenaikan Tunjangan Guru, Benarkah Meningkatkan Kesejahteraan?




Oleh : Najihah Sholihah



Presiden Prabowo Subianto mengumumkan akan menaikkan gaji guru pada puncak Hari Guru Nasional, Kamis (28/11/2024) lalu. Namun belakangan organisasi guru dan aktivis pendidikan mempertanyakan rencana tersebut.
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim mengungkapkan pernyataan Prabowo tersebut dapat dimaknai berbeda oleh para guru di lapangan.
"Ini menimbulkan multi tafsir menimbulkan harap-harap cemas dan kegalauan dari para guru ASN," ujar Satriwan dalam keterangannya yang dikutip Sabtu, (30/11/2024).

Seperti diketahui, Presiden Prabowo menyatakan gaji guru yang berstatus ASN akan naik sebesar satu kali lipat dari gaji pokok. Sedangkan gaji guru non-ASN nilai tunjangan profesinya akan naik sebesar Rp 2 juta per bulan.
Janji tersebut menurut Satriwan memiliki 2 tafsir. Pertama, semua guru PNS akan diberikan tambahan sebesar 100% gaji pokok. Misalnya guru dengan gaji pokok Rp 4 juta akan mendapatkan Rp 8 juta.

Belum lagi ditambah dengan tunjangan sertifikasi guru. Karena sesuai amanat Undang-Undang Guru dan Dosen dan Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 2009, guru PNS yang sudah disertifikasi berhak mendapatkan tunjangan profesi guru sebesar satu kali gaji pokoknya.
Hanya saja, menurut Satriwan gaji PNS merujuk kepada PP Nomor 5 tahun 2024. Dalam aturan tersebut, besaran gaji PNS termasuk guru PNS sudah diatur rinci dari Rp 2 juta sampai Rp 6 juta tergantung kepada golongan atau kepangkatan.
"Tentu ini akan mempengaruhi persepsi dari PNS-PNS selain daripada guru. Nah termasuk juga akan menimbulkan kecemburuan. Karena begitu jumbonya kenaikan gaji pokok dari guru yang sebesar 100%," ujar Satriwan.

Belum lagi kenaikan sebesar itu akan membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). P2G melakukan simulasi memakai rerata gaji pokok guru Rp 3 juta dengan jumlah guru sekitar 1,3 juta. Dalam satu tahun, dibutuhkan hampir Rp 100 triliun hanya untuk gaji guru ASN.
"Anggaran APBN akan terkuras hanya untuk memberikan gaji dan tunjangan sertifikasi bagi guru PNS. Tentu ini rasanya tidak rasional gitu ya. Padahal mengacu anggaran Kemendikbudristek tahun sebelumnya tidak sampai Rp 100 triliun," katanya.

Tafsiran kedua ujar Satriwan adalah kenaikan satu kali gaji pokok tersebut merupakan tunjangan profesi guru yang diberikan bagi guru-guru PNS yang sudah disertifikasi.
"Maksudnya adalah guru-guru PNS yang nanti 2025 akan disertifikasi Dan lulus pendidikan profesi guru. Nah mereka ini berhak mendapatkan tunjangan sertifikasi guru sebesar 1 kali gaji pokok," kata Satriwan.

Ia melanjutkan, "Para guru merasa kayaknya yang nomor dua adalah tafsiran yang benar. Makanya kami membutuhkan klarifikasi dari Pak Presiden langsung, termasuk khususnya dari Menteri Keuangan dan Menteri Pendidikan. Kenapa? karena pernyataan Pak Presiden menimbulkan kegalauan dan sangat ambigu maknanya."
Selain itu, organisasi guru juga meminta Prabowo untuk meluruskan pernyataan menaikkan tunjangan profesi bagi guru non-ASN menjadi Rp 2 juta. Satriwan mengungkapkan sebenarnya sejak kebijakan tunjangan tersebut dimulai pada 2008 lalu, guru swasta dan guru honorer yang lulus sertifikasi telah mendapat sebesar Rp 1,5 juta. Jadi kenaikan sebenarnya adalah sebesar Rp 500 ribu.
"Memang tidak pernah naik sejak tahun 2008. Tapi perlu diluruskan karena banyak beredar di media sosial narasi Presiden naikkan tunjangan profesi guru honorer sebesar Rp 2 juta. Bukan menaikkan sebesar Rp 2 juta, itu keliru ya," katanya.

Pernyataan presiden terkait kenaikan gaji guru, nyatanya bukanlah kenaikan gaji namun hanya kenaikan tunjangan untuk guru swasta atau non-ASN. Itu pun hanya lima ratus ribu rupiah. Kebijakan ini jelas menggambarkan ketidakseriusan pemerintah dalam menjamin kesejahteraan guru. Kenaikan tunjangan ini jelas tidak akan mampu meningkatkan kesejahteraan para guru. Pasalnya, kesejahteraan masyarakat tidak hanya berkaitan dengan besaran gaji dan tunjangan yang didapatkan tetapi sangat berkaitan dengan kondisi perekonomian yang melingkupi kehidupan masyarakat.

Sementara kita pahami, bahwa di bawah penerapan sistem ekonomi kapitalisme banyak kebutuhan pokok rakyat yang membutuhkan biaya besar yang harus ditanggung oleh setiap individu termasuk guru.  Kenaikan harga bahan pangan, papan, pendidikan, kesehatan, BBM, gas, listrik, dan PPN lebih sering terjadi dibandingkan kenaikan gaji guru. Faktanya, masih banyak guru yang mencari pekerjaan sampingan untuk memenuhi kekurangan biaya hidupnya. Hingga tidak sedikit dari mereka yang harus terjerat pinjaman online dan judi online. Berdasarkan data dari Institute for Demographic and Poverti Studies (IDEAS), ditemukan fakta memprihatinkan bahwa 89 persen guru merasa pendapatannya tidak mencukupi, 79 persen memiliki utang, dan 58 persen bekerja sampingan.
Kasus guru terlibat judi online juga sangat sering kita dapatkan di media. 

Dalam sistem kapitalisme sekuler, guru dipandang tidak ubahnya faktor produksi, yang tenaganya digunakan untuk  menyiapkan generasi yang siap terjun ke dunia kerja atau industri. Semakin banyak generasi yang memiliki kemampuan bekerja, maka semakin besar pula pengaruhnya pada pertumbuhan ekonomi. Inilah yang terus dikejar oleh sistem ekonomi kapitalisme. Padahal pertumbuhan ekonomi tidak sejalan dengan kesejahteraan masyarakat, Individu per individu.
Bahkan hal ini diperparah dengan lenyapnya peran negara sebagai pengurus rakyat (raa'in) namun bertindak sebagai regulator dan fasilitator semata.

Implikasinya negara melegalisasi keterlibatan pihak swasta dalam mengelola SDA, sektor kesehatan, hingga pendidikan. Karakter penguasa yang sekuler, menjauhkan mereka jauh dari karakter Islam. Pemikiran dan tingkah lakunya yang tidak dilandasi oleh Islam, menjadikan mereka mudah berbuat dzalim dan tidak adil, hilang rasa prihatin dan peduli pada rakyatnya, hingga tidak mengasihi dan mencintai rakyatnya. Hal ini jelas membuktikan gagalnya sistem kapitalisme sekulerisme memberikan solusi dan jaminan kesejahteraan bagi para guru.

Nasib guru tentu akan berbeda di bawah penerapan sistem Islam. Islam sangat memperhatikan guru, karena guru memiliki peran yang sangat penting dan strategis mencetak generasi yang berkualitas, generasi pembangun bangsa dan penjaga peradaban. Banyak ayat di dalam Al-Qur'an yang melebihkan kedudukan orang-orang berilmu dan para pemberi ilmu. Kedudukan guru yang begitu mulia, menjadikan kesejahteraannya tidak boleh diabaikan. Guru adalah rakyat pada umumnya dan pendidik generasi secara khusus. Kesejahteraannya menjadi tanggung jawab penguasa atau Khalifah. Terlebih penguasa dalam Islam, dipandang oleh syariat sebagai pengurus rakyat (raa'in). Penguasa yang menjalankan tanggung jawab besar mewujudkan kesejahteraan rakyatnya tentu wajib memiliki kepribadian Islam, khususnya kepribadian sebagai penguasa yakni aqliyah hukkam (penguasa) dan nafsiyah hakim (pemutus perkara). 

Selain itu, penguasa wajib menjalankan sistem Islam dalam mewujudkan kesejahteraan para guru bukan sistem kapitalisme atau pun sosialisme yang telah terbukti gagal pada perkara ini. Negara mewujudkan kesejahteraan semua guru tanpa terkecuali serta tanpa membedakan satu guru dengan guru lainnya dengan memberikan gaji yang layak. 

Pada masa Khalifah Umar bin Khattab, gaji guru sebesar 15 dinar/bulan (sekitar 95 juta rupiah). Selain kebijakan penggajian, penerapan sistem ekonomi Islam dalam bingkai negara juga menjadikan kebutuhan-kebutuhan guru mudah dijangkau. Harga kebutuhan pokok seperti pangan, sandang, dan papan dijaga kestabilannya dengan suport besar negara di sektor hulu dan hilir. Pelayanan pendidikan, kesehatan, hingga keamanan disediakan oleh negara secara gratis. Dengan jaminan kebutuhan dan penghidupan yang cukup, maka para guru bisa fokus mendidik generasi dengan ilmu terbaiknya tanpa harus dibayangi dengan kebutuhan di hari esok atau pun mencari tambahan nafkah demi memenuhi kebutuhan keluarganya. Penerapan syariat Islam dalam kehidupan sungguh akan memuliakan guru hingga mampu mencetak generasi unggul dan bertakwa.

Wallahu alam bish-shawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak