Kenaikan PPN, Bukti Kepemimpinan Populis Otoriter




Oleh : Ummu Hayyan,S.P.



Beberapa waktu yang lalu, petisi menolak Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12 persen yang ditandatangani lebih dari 113.000 orang sudah diterima Sekretariat Negara (Setneg). Penyerahan petisi itu terjadi pada aksi damai di depan Istana Negara.

Risyad Azhary yang merupakan inisiator petisi tolak PPN 12 persen, bertindak sebagai perwakilan massa aksi mengungkapkan, respons yang diterima Setneg terkesan sebatas administratif.
Mengenai kemungkinan PPN 12 persen diberlakukan mulai 1 Januari 2025, Risyad menegaskan, aliansi warga sipil yang tergabung dalam aksi ini akan terus mengawal kebijakan tersebut hingga dibatalkan. Hal itu disampaikan Risyad kepada awak media di depan Istana Negara, Kamis (19/12/2024).
Beritasatu.com

Menanggapi pendapat yang kontra terhadap kebijakan kenaikan PPN ini, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu memastikan, dampak kebijakan ini terhadap inflasi dan ekonomi akan sangat minimal. 
Febrio menambahkan, pemerintah tetap berkomitmen menjaga inflasi sesuai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025, yaitu di kisaran 1,5 persen hingga 3,5 persen. Ia juga menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi diproyeksikan tetap kuat meski ada kenaikan PPN jadi 12 persen. Hal ini disampaikan dalam keterangan resminya di Jakarta, Sabtu (21/12/2024).
Beritasatu.com.

Pemerintah mengklaim, hanya menargetkan bahan-bahan pangan mewah atau premium yang dikenakan PPN 12%. Untuk mengurangi beban masyarakat, pemerintah juga telah menyiapkan sejumlah langkah kompensasi melalui berbagai rangkaian stimulus ekonomi. Langkah tersebut dilakukan melalui pemberian bantuan pangan, diskon tarif listrik, pembebasan pajak penghasilan selama 1 tahun untuk buruh di sektor tekstil, pakaian, alas kaki dan furniture serta pembebasan PPN untuk pembelian rumah tertentu. 

Pemimpin Populis Otoriter, Buah Sistem Demokrasi - Kapitalisme

Sangat miris, di tengah penolakan keras atas rencana kenaikan PPN yang ditetapkan, pemerintah tetap bersikeras memberlakukan program baru ini. Meski pemerintah memberikan batasan barang-barang yang terkena kenaikan PPN, namun sejatinya kebijakan tersebut tetap memberatkan rakyat bahkan meski ada program bansos dan subsidi PLN dalam jangka waktu tertentu, dampak buruk kenaikan PPN tak terelakan. Ini adalah contoh kebijakan penguasa yang populis otoriter.

Pemerintah merasa cukup memberikan kompensasi kebijakan dengan bansos, subsidi listrik dan menetapkan barang-barang tertentu yang terkena PPN. Padahal kebijakan tersebut tetap membawa kesengsaraan pada rakyat. Protes rakyat dalam bentuk petisi penolakan kenaikan PPN diabaikan. Penguasa populis otoriter lahir dari sistem Demokrasi-Kapitalisme. Sekularisme yang menjadi asas dari sistem ini telah menjadikan manusia sebagai pembuat aturan termasuk aturan bernegara. Munculah konsep ekonomi kapitalisme yang memberikan kebebasan kepemilikan kepada siapapun yang mampu menguasai. Sedangkan pemimpin memberi jalan bagi para oligarki untuk menguasai harta publik yang sejatinya milik rakyat untuk meraih kemaslahatan dari harta tersebut.

Kekayaan alam dari harta publik yang seharusnya bisa menjadi salah satu sumber pemasukan negara untuk melayani rakyat juga legal dikomersialisasi pihak swasta atau pemilik modal. Hal ini menyebabkan negara tidak memiliki pemasukan untuk rakyat selain dari pajak dan utang. Alhasil, pajak digenjot dan rakyat makin menderita. Inilah konsekuensi penerapan sistem Demokrasi-Kapitalisme dengan corak pemimpin populis-otoriternya. 
Pada hakikatnya, manusia tidak mampu membuat aturan untuk dirinya apalagi untuk umat manusia. Jika manusia memaksakan diri membuat aturan akan muncul berbagai bentuk kemudharatan sebagaimana hari ini. 

Islam Melahirkan Pemimpin Pengurus Rakyat 

Sesungguhnya yang berhak membuat aturan atas umat manusia hanyalah penciptanya, Allah SWT. Termasuk aturan ekonomi, negara, politik, sosial dan sebagainya. Islam menjadikan penguasa sebagai raa'in dan Junnah

Rasulullah SAW bersabda : "imam adalah raa'in atau pengurus dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya".  (HR. Bukhari)

Dari Abu Hurairah r.a,  bahwa nabi Muhammad SAW  bersabda, "Sesungguhnya Al imam itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaannya)". 
(HR. Muttafaqun 'alayh dan lain-lain)

Berdasarkan dua hadits tersebut, maka tanggung jawab penguasa dalam Islam adalah pengurus rakyat dan mewujudkan kesejahteraan atas mereka individu per individu. Penguasa juga merupakan perisai atau pelindung sehingga mereka tidak boleh menyusahkan rakyatnya. Bahkan, menzalimi rakyatnya.

Berdasarkan sistem ekonomi Islam, negara menyejahterakan rakyatnya dengan berbagai mekanisme. Salah satunya adalah adanya konsep kepemilikan umum atau publik di mana Islam menetapkan bahwa kekayaan alam berupa sumber daya alam berlimpah merupakan harta publik sehingga wajib dikembalikan kepada rakyat untuk kemaslahatan mereka. Negara hanya diberi mandat untuk mengelolanya dengan sebaik-baiknya hingga terdistribusi secara merata kepada masyarakat. Ini merupakan salah satu bentuk aktivitas mengurus dan melayani rakyat. Negara bahkan tidak boleh mengambil sepeser pun dari pengelolaan kekayaan alam rakyat tersebut. Dalam Baitul Maal, hasil pengelolaan harta publik masuk ke dalam pos kepemilikan umum. Adapun terkait pajak, negara dalam Islam atau khilafah tidak boleh menjadikannya sebagai sumber pemasukan utama. Syariat Islam juga mengatur terkait pajak (dharibah), tetapi implementasinya jauh berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme.

Pajak adalah salah satu pemasukan Baitul maal, pos kepemilikan negara. Syariah membolehkan penguasa memungut pajak hanya jika Allah SWT memerintahkan dengan syarat penarikannya berdasarkan perintah dari kepala negara yang beriringan dengan perintah Allah kepada kaum muslim untuk menyerahkan harta tersebut. Bukan karena perintah penguasa semata. 

Semua hal yang diwajibkan Syariah atas Baitul maal dan atas kaum muslim untuk dibiayai dari harta yang ada di Baitul maal. Jika di Baitul maal tidak ada harta atau tidak mencukupi, maka negara boleh memungut pajak dari kaum muslim sesuai dengan ketentuan Syariah untuk membiayai hal-hal tersebut seperti membiayai para fakir, miskin, ibnu  Sabil, pelaksanaan kewajiban jihad, pelayanan kesehatan, pendidikan gaji pegawai dan sebagainya. Jika harta Baitul maal telah terisi, maka pungutan pajak harus dihentikan. Semua aturan ini bersumber dari syariat Islam dan akan dijalankan oleh pemimpin dengan profil Islam yakni  berkepribadian Islam, bertakwa, menyayangi rakyat, pemberi berita gembira dan memudahkan urusan rakyat di bawah sistem yang menerapkan Islam secara sempurna.

Wallaahu a'lam bish shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak