Jeratan Pajak Mencekik Rakyat




Fathimah A. S.
(Aktivis Dakwah Kampus)



Mulai 1 Januari 2025, pemerintah resmi menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen. Meskipun kenaikan PPN 12 persen dikatakan tidak menyasar semua barang dan jasa, hanya berlaku pada barang mewah saja. Namun, masyarakat masih mempertanyakan terkait definisi barang mewah yang dimaksud, karena pada akhirnya kenaikan pajak 12 persen menyasar hampir semua barang dan jasa yang kena pajak.

Pemerintah mengungkapkan sejumlah dalih untuk menaikkan PPN menjadi 12 persen. Pertama, untuk meningkatkan pendapatan negara. Kedua, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri. Ketiga, untuk menyesuaikan dengan standar internasional.

Tak pelak, keputusan pemerintah ini mendapat penolakan dari masyarakat yang kondisi ekonominya kian tercekik. Bahkan muncul satu petisi yang meminta pemerintah membatalkan kenaikan PPN di laman change.org. Hingga Jumat pagi, 20 Desember 2024, petisi yang dibuat oleh Bareng Warga tersebut sudah ditandatangani oleh 145.362 orang. Menurut Bareng Warga, petisi ini dibuat karena kebijakan untuk menaikan PPN hanya akan membuat hidup masyarakat semakin sulit di tengah kondisi ekonomi yang tidak menentu (tirto.id, 21/12/2024). 

Sebelumnya, Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Faisal Basri juga mengungkapkan betapa tidak masuk akalnya rencana pemerintah menerapkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%. Menurut dia, kenaikan itu hanya menyengsarakan rakyat, namun tidak signifikan menambah penerimaan negara. Faisal menilai kenaikan PPN menjadi 12% juga tidak adil. Sebab, saat ini pemerintah justru jor-joran memberikan banyak insentif fiskal kepada korporasi besar.

Faisal telah menghitung tambahan penerimaan negara dari kenaikan PPN. Menurut dia, tambahan pendapatan yang bisa didapat tidak lebih dari Rp 100 triliun. Sementara, kata dia, pemerintah sebenarnya bisa memperoleh penerimaan yang jauh lebih besar ketika menerapkan pajak ekspor batu bara. Dia memperkirakan penerimaan negara dari pajak ekspor batu bara bisa mencapai Rp 200 triliun. Namun, memang pada dasarnya pemerintah tak mau melakukannya, sehingga memilih menekan rakyat kecil (cnbcindonesia.com, 20/08/2024)


Jeratan Pajak dalam Sistem Kapitalisme

Sangat dipahami mengapa rakyat sampai memunculkan petisi agar pemerintah membatalkan kenaikan PPN menjadi 12%. Nampak jelas bagaimana kondisi rakyat negeri ini yang terseok-seok untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dengan penghasilan yang pas-pasan, mereka harus membayar biaya sekolah, listrik, air. Bahkan harus ditambah dengan beban pajak yang kian melangit. Rasanya hidup ini dipenuhi tuntutan yang tiada kunjung usai. 

Bahkan mirisnya lagi, rakyat tak tahu-menahu kemana larinya pajak tersebut. Sudah berapa kali, kasus korupsi berjamaah terbongkar, namun tak membuahkan hasil yang memuaskan. Sungguh, ini menjadi pertanyaan kita bersama, demi siapakah keuntungan pajak yang kian mencekik ini?

Tak dimungkiri, penarikan pajak atas rakyat dalam berbagai barang dan jasa merupakan kebijakan yang lahir dari sistem kapitalisme. Dengan kata lain, sistem kapitalisme meniscayakan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara. Bahkan, pajak diterapkan kepada siapa saja. Karena pajak dianggap sebagai kewajiban bagi rakyat. 

Padahal, ini bukanlah sikap adil kepada rakyat. Rakyat dibebani berbagai pajak yang kian mencekik dan menyengsarakan rakyat. Akan tetapi, para pengusaha justru mendapat keringanan pajak atau kemudahan investasi. Inilah yang terjadi ketika negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator. Sering kali, keberpihakan lebih ditujukan kepada para pengusaha, alhasil terjadi pengabaian terhadap rakyat.


Sistem Ekonomi Islam Mampu Mensejahterakan Rakyat

Sungguh berbeda dengan paradigma Islam dalam mengelola negara. Islam menetapkan, negara sebagai ri'ayah syu'un al-ummah, yaitu pengurus rakyat. Maka, negara akan memenuhi kebutuhan, mensejahterakan, dan membuat kebijakan yang menentramkan rakyat.

Dalam Islam, pajak (dharibah) tidak dijadikan sebagai sumber pendapatan negara. Akan tetapi, Islam memiliki sistem ekonomi yang mampu menghasilkan sumber pendanaan yang kuat dan stabil, yang dikelola oleh Baitul Mal. Sumber-sumber pendapatan negara dibagi ke dalam 3 pos, yaitu pos fa'i dan kharaj, pos kepemilikan umum, dan pos zakat. 

Pos kepemilikan umum meliputi barang tambang, minyak bumi, gas, batu bara, kehutanan, dan kelautan. Apabila semua ini dikelola sesuai syariat, maka negeri ini akan memiliki sumber pendapatan yang amat besar. 

Khalifah, sebagai pemimpin negara, amat menyadari perannya sebagai peri'ayah umat, karena akan ada pertanggungjawaban di akhirat kelak. Sehingga, ia tidak akan membiarkan kekayaan alam yang melimpah tersebut dikuasai pengusaha. Kekayaan alam akan dikelola oleh negara, kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat dengan berbagai mekanisme yang diatur syara', bisa berupa pendidikan, kesehatan, listrik, air, jalan, dsb. Dengan begitu, Negara memiliki berbagai sumber pemasukan yang cukup untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat individu per individu. Sehingga, rakyat tidak akan merasa terhimpit dengan beban hidup dan pajak, seperti yang terjadi dalam sistem kapitalisme hari ini. 

Memang dalam Islam terdapat pajak (dharibah). Akan tetapi, penerapan pajak ini amat berbeda jauh dengan paradigma pajak dalam sistem kapitalisme. Pajak dalam Islam merupakan alternatif terakhir, yaitu pada saat kas Baitul Mal mengalami kekosongan dan ada kewajiban negara yang harus ditunaikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat. Itupun sangat jarang terjadi, mungkin ketika terjadi bencana atau hal yang mendesak lainnya. Setelah kas Baitul Mal memiliki dana, maka pajak akan dihentikan.

Pajak dalam Islam juga tidak diwajibkan kepada setiap orang, seperti dalam sistem kapitalisme. Dalam Islam, pajak hanya dikenakan kepada kaum muslim yang mampu (kaya). Syariat Islam mengatur siapa yang boleh dikenai pajak. Orang yang dikenai pajak adalah orang yang masih memiliki kelebihan harta, setelah kebutuhan pokok, sekunder, dan nafkah tanggungannya tercukupi. Apabila ia tidak memiliki kelebihan harta, maka ia tidak akan ditarik pajak. Ini tentu berbeda jauh dengan sistem kapitalisme yang mewajibkan seluruh rakyat untuk membayar pajak. Di hari ini, seluruh rakyat, apakah ia mampu atau tidak, pasti terjerat pajak.

Sungguh, keberadaan institusi yang menerapkan Islam secara kaffah akan menghadirkan kesejahteraan dan keberkahan. Oleh karena itu, mari kita turut memperjuangkan kemuliaan Islam. Dimulai dari mengkaji islam kaffah secara intensif, lalu kemudian menyebarluaskannya kepada masyarakat luas.

Wallahu A'lam Bi Shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak