Oleh : Demaryani, S.Pd (Aktivis Muslimah)
Momentum Nataru (Natal dan Tahun Baru) akan terasa dalam waktu dekat. Himbauan toleransi nyaring diserukan Mentri Agama Republik Indonesia Nasaruddin Umar. Menag RI menekankan pentingnya saling mendukung dan menghormati dalam merayakan hari besar keagamaan masing-masing. Ia juga mengatakan bahwa toleransi adalah bagian terpenting dari identitas bangsa Indonesia. Selain itu, ia juga mengajak masyarakat untuk memanfaatkan moment Natal dan Tahun Baru untuk memperkuat nilai-nilai kebersamaan. (radarsampit.jawapost.com,15-12-24).
Sependapat dengan menag Nasaruddin, pemkot Surabaya memastikan kesiapan dan keamanan tempat ibadah untuk menyambut perayaan Nataru 2024/2025. Didukung dengan pernyataan Wali Kota Edi Cahyadi yang menegaskan pentingnya Kerjasama semua pihak untuk memastikan keamanan dan kenyamanan warga, terutama umat kristiani yang merayakan natal. (jawapos.com 13-12-24).
Pemahaman Toleransi yang Keliru
Pernyataan para Pejabat negara yang menyerukan toleransi dan partisipasi terhadap perayaan Natal, merupakan statement yang kurang relevan, kabur dan tidak jelas dengan identitas muslim semestinya. Toleransi yang diserukan tersebut merupakan bentuk toleransi versi sekularisme dengan mencampurbaurkan ajaran Islam dan ajaran agama lain. Bukan merupakan bentuk toleransi syar’i sesuai aturan Islam. Sehingga, pemahaman generasi Muslim terhadap ajaran Islam yang kaffah sesuai ajaran Allah dan Rasulnya menjadi kabur dan tidak jelas batasannya.
Ketika perayaan Natal tiba, biasanya tempat-tempat umum, perbelanjaan, perkantoran atau perhotelan cenderung menggunakan dekorasi Natal dengan alasan sebagai bentuk penghormatan dan toleransi. Bahkan mengeluarkan peraturan untuk para karyawan dan pegawai agar menggunakan artibut perayaan tersebut. Bahkan, tidak sedikit moment tersebut dimanfaatkan masyarakat Muslim untuk dijadikan spot berfoto untuk diunggah ke platform media sosialnya dengan latar perayaan Natal dan berbagai atributnya, padahal aktivitas tersebut bertentangan dengan akidah Islam.
Selain perayaan Natal, jelang moment pergantian tahun pun tidak luput dari aktivitas kemaksiatan. Tidak sedikit masyarakat Muslim yang merayakan momen pergantian tahun dengan pesta yang diliputi kegiatan kemaksiatan. Pesta kembang api (menyerupai kaum penyembah api), pesta ikhtilat campur baur laki-laki dan Perempuan bahkan sampai freesex dan drugs. Hal inilah yang mengaburkan identitas masyarakat sebagai seorang Muslim, seharusnya umat Muslim memahami dan memperhatikan bagaimana caranya bersikap atas perayaan agama selain Islam, bagaimana seharusnya muslim menjaga akidah Islam secara utuh, tidak dicampurbaurkan dengan pemikiran bathil, atau ide-ide selain Islam, bahkan tidak fomo menggunakan atribut-atribut khas yang digunakan dalam perayaan keagamaan selain agama Islam.
Berbagai moment kemaksiatan Nataru ini seharusnya tidak didukung dan dinormalisasi oleh para pejabat yang menyuarakan toleransi. Toleransi ini sendiri, kerapkali ditujukan kepada umat Muslim, cara pandang umat Muslim terhadap perayaan Nataru dijadikan tolak ukur sejauh mana Muslim tersebut bersikap toleran atau tidak.
Sebagai contoh umat Muslim yang ikut terlibat merayakan momen Nataru akan dianggap Muslim yang toleran dan cinta damai. Sedangkan, umat Muslim yang tidak terlibat dalam perayaan Nataru, tidak megucapkan selamat Natal dan tidak tersentuh dengan perayaan keagamaan tersebut, akan dicap Intoleran (panatik). Padahal sejatinya praktik toleransi dengan ikut merayakan, fomo memakai atribut khas dan terlibat aktivitas didalamnya, merupakan hal yang bertentangan dengan akidah Islam. Praktik toleransi seperti ini jelas ditolak dengan tegas oleh Allah dan Rasul-Nya melalui Qur’an Surat al-Kafirun : 1-6. Karena mencampurbaurkan akidah dan ajaran Islam dengan ide-ide di luar Islam.
Badai Isu Toleransi versi Sekularisme
Negara sekuler dengan asas pemisahan agama dari kehidupan, menyebabkan tidak adanya pemahaman akan tugas penguasa dan pejabat negara dalam menjaga dan mengurusi urusan umat, termasuk penjagaan negara atas akidah umat. Negara sekuler dalam praktik kehidupannya tidak menjadikan ajaran dan tuntunan Rasul menjadi pedoman kehidupan. Melainkan cenderung mengusung dan menerapkan ide-ide Barat yang merusak akidah umat.
Ide-ide Barat ini syarat dengan kebebasan (freedom), menjalani kehidupan dengan asas manfaat, ogah terikat dengan peraturan dan syariat Islam dalam menjalani kehidupannya. Hal ini jelas bertentangan dengan akidah dan syariat Islam, sehingga menyebabkan umat tidak memahami syariat toleransi dengan benar.
Kehidupan negara sekularisme-lah yang menyuburkan praktik toleransi versi sekuler dengan membenarkan dan menormalisasi aksi toleransi yang kebablasan. Salahsatunya ide Barat HAM (Hak Asasi Manusia) yang dijadikan pijakan dalam pembenaran aktivitasnya, masifnya pengarusan kampanye moderasi beragamapun membuat umat semakin jauh dari pemahaman toleransi yang lurus sesuai dengan syariat Islam. Isu moderasi beragama pula membawa ide bahwa semua agama sama, dan menganggap semua agama adalah benar, sehingga paradigma terhadap toleransipun menjadi tidak sesuai dengan syariat. Inilah yang menyebabkan kaburnya dan rusaknya pemahaman generasi muslim saat ini terhadap ajaran dan akidah Islam yang lurus.
Pada akhir tahun ini, umat perlu menjaga benteng diri, lebih jeli dan wara’ serta waspada, menghindari aktivitas-aktivitas yang syarat akan kemaksiatan dalam momen Nataru ini. Berusaha agar selalu dalam lingkaran ketaatan kepada Allah Swt. Saat ini, negara tidak memfungsikan diri sebagai penjaga akidah Islam, maka umat membutuhkan reminder karena kecenderungan umat terhadap Islam menjadi semakin longgar.
Batasan Toleransi dalam Islam
Islam memiliki definisi yang jelas mengenai toleransi dan cara berinteraksi dengan agama lain. Prinsip toleransi dalam Islam yaitu cukup dengan membiarkan agama non-Muslim melaksanakan peribadatannya, tanpa perlu berpartisipasi dalam kegiatan peribadatan tersebut.
Sesuai dengan firman Allah :
“Katakanlah, ‘Hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu dan untukkulah, agamaku.” (Qs. al-Kafirun [109] : 1-6).
Toleransi dalam Islam tidak memaksakan non-Muslim untuk meyakini agama Islam, cukup didakwahi dan diajak meyakini Islam. Apabila menolak, mereka dibiarkan memeluk agama yang mereka yakini tersebut.
Allah juga berfirman:
“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam). Sungguh, telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Siapa yang ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah sungguh telah berpegang teguh pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (Qs. al-Baqarah [2] : 256)
Berdasarkan ayat-ayat di atas, Allah sudah menjelaskan batasan-batasan toleransi dalam Islam, muslim tidak perlu berpartisipasi ataupun membenarkan dan meyakini aktivitas peribadatan mereka, karna ikut-ikutan menggunakan atribut Natal, mengucapkan selamat hari raya pada perayaan tersebut, bahkan ikut-ikutan merayakan pergantian tahun adalah aktivitas yang bertentangan dengan syariat.
Dalam ajaran Islam, tidak ada satu ajaranpun yang mengajarkan muslim bersikap Intoleran. Bahkan perihal toleransi dan perdamaian ini, sudah dibawa Islam pada awal kedatangan Islam yang menjadi rahmatan lil alamin bagi setiap makhluk. Sehingga, prinsip toleransi dalam Islam telah menjaga keharmonisan hidup bermasyarakat sejak Islam diterapkan secara kaffah dalam naungan daulah khilafah.
Negara Benteng Pelindung Akidah Islam
Solusi dari permasalahan toleransi yang menyebabkan pengikisan akidah umat ini adalah dengan diterapkanya Islam secara kaffah dalam suatu negara. Negara Islam akan dengan tegas menjadi benteng pertahanan, penjaga dan memelihara akidah umat.
Pemeliharaan akidah adalah hak syar’i setiap muslim, sehingga seorang muslim tidak dibenarkan masuk atau mutrad dengan sesuka hati. Islam memiliki aturan atau hukum-hukum untuk menjaga akidah umat, seperti kewajiban mengemban dakwah menyebarkan amar makruf nahi munkar, menegakan peraturan daulah Islam, berjihad dijalan Allah, dll.
Islam juga menjadikan para pemimpin dan pejabat negara memberikan nasihat takwa, sehingga akidah dan keimanan umat terjaga. Identitas muslim dapat terpelihara tanpa dicampuradukan dengan ide-ide Barat yang merusak akidah. Sehingga, umat tetap terikat dengan aturan Islam termasuk dalam momen krusial yang berpotensi membahayakan akidah umat.
Negara Islam memiliki departemen penerangan, dengan memberikan penerangan/ penjelasan bagaimana tunutnan Islam dalam menyikap hari besar agama lain. Fungsi dari penerangan ini adalah untuk mengkomunikasikan mengenai tata cara dan aturan Islam kepada masyarakat untuk memperkuat akidah umat. Selain itu, dalam sistem Islam pemerintah memiliki qadi hisbah dengan tugas mengatur interaksi umat muslim dengan non-Muslim agar tetap dalam koridor syariat, termasuk menjelaskan cara berinteraksi dalam momen Nataru ini, di tempat-tempat atau lokasi yang memungkinkan terjadinya Interaksi antara umat Muslim dengan umat agama lain.
Dalam praktik kenegaraanya, Negara Islam tetap memberikan kebebasan kepada umat non-Muslim untuk melakukan peribadatan dan memeluk keyakinannya, termasuk merayakan hari besar mereka. Mereka akan mendapat perlindungan sebagai warga non-Muslim yang tunduk dan bersedia diatur oleh Islam, dengan tetap menjalankan agamanya, serta diwajibkan membayar jizyah yang merupakan pajak perlindungan sebagai bentuk ketundukan.
Toleransi bukannya tidak diperbolehkan dalam Islam, namun toleransi dalam kehidupan Islam, tetap menjaga keselarasan dan keutuhan akidah umat Muslim dan memberikan perlindungan kepada umat non-Muslim sebagai warganya. Toleransi dalam Islam memiliki batas-batas yang jelas dan tegas, tidak perlu mencampur adukan ajaran Islam dengan ajaran agama lain, sehingga umat akan terjaga akidahnya dari pendangkalan akidah. Fakta sejarah tersebut benar adanya, dan terjadi selama berabad-abad pada saat masa-masa berdirinya negara Islam Khilafah dengan segala kegemilangannya. Wallahualam bissawab.
Tags
Opini