Oleh : Ummu Zadit Zareen
(Pemerhati Kebijakan Publik)
Pelantikan presiden ke-delapan Republik Indonesia Bp. Prabowo Subianto pada Minggu, 20 Oktober 2024 di Kompleks Parlemen, Jakarta menjadi awal kerja untuk Prabowo melaksanakan tugasnya. Sayangnya baru awal menjabat isu kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) resmi naik mulai 1 Januari 2025. Hal ini ditegaskan oleh Menkeu Sri Mulyani Indrawati pada Rapat Kerja bersama Komisi 11 DPR RI, Rabu 13 November 2024.
Dengan pemberitaan kenaikan pajak yang beredar menjadi perbincangan dikalangan masyarakat, Karena pada presiden sebelumnya sudah ada kenaikan yaitu tarif PPN yang telah ditetapkan pemerintah Indonesia menjadi 11 persen sejak 1 April 2022 lalu dan akan kembali dinaikkan sampai 12 persen di tahun 2025, ini dirasa sangat begitu dekat waktunya disaat masyarakat berusaha untuk bangkit dari pandemi covid-19 yang kemarin.
Pajak Memukul Masyarakat
Kenaikan tarif PPN justru berdampak signifikan pada penurunan daya beli dan konsumsi masyarakat. kenaikan PPN akan berdampak pada konsumsi kelas menengah yang mencapai 35% konsumsi rumah tangga nasional. Dengan kenaikan tarif PPN juga akan berdampak pada pelaku usaha. Mereka harus menaikkan harga produk. Hal ini berdampak pada penurunan omset usaha, pengurangan kapasitas produksi, dan pengurangan jumlah karyawan. PHK di berbagai sektor usaha pun makin terbuka.
Saat ini daya beli masyarakat sedang turun-turunnya, jika ditambah kenaikan PPN, pasti akan sangat memberatkan dunia usaha. Kenaikan tarif PPN juga akan berdampak pada para petani dan peternak. Produsen pakan diperkirakan akan menaikkan harga hingga 5% sehingga menambah beban peternak. Begitu juga dengan harga sarana produksi pertanian akan meningkat sehingga makin membebani petani.
Dengan demikian, peningkatan penerimaan pemerintah dari kenaikan tarif PPN tidak akan sebanding dengan dampaknya pada perekonomian masyarakat. Kenaikan tarif PPN memukul sendi-sendi ekonomi masyarakat. Pengeluaran masyarakat akan makin besar, sedangkan upah tidak meningkat signifikan.
Adapun terkait klaim penggunaan penerimaan PPN untuk pembiayaan pembangunan, hal ini tidak sesuai dengan realitas. Faktanya, rakyat tidak menikmati dana pajak. Pembangunan yang dibiayai pajak tidak berorientasi pada kebutuhan dan kemaslahatan rakyat, tetapi pada kemakmuran korporasi yang menjadi cukong penguasa. Apalagi dana pajak ternyata banyak dikorupsi. Walhasil, penggunaan dana pajak untuk rakyat terbukti hanya jargon.
Kenaikan PPN juga tidak akan mengurangi utang negara karena konsep APBN Indonesia memang menggunakan kebijakan anggaran defisit yang membelanjakan lebih banyak uang dari pada pendapatan negara. Hal ini ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tidak heran, pemerintah selalu berutang, meskipun ada peningkatan pendapatan negara. Walhasil, pemerintah akan tetap berutang, meskipun ada peningkatan pendapatan dari PPN.
Inilah konsekuensi penerapan sistem kapitalisme yang memosisikan penguasa sebagai regulator dan fasilitator. Negara merasa sudah menjalankan tugasnya hanya dengan memungut pajak dan mendistribusikannya dalam belanja negara. Negara tidak peduli bahwa pemungutan pajak telah membebani dan “mencekik” rakyat. Negara juga tidak mendistribusikan dana pajak untuk kemaslahatan rakyat.
Dana pajak justru digunakan untuk pembangunan proyek-proyek prestisius yang hanya menguntungkan para kapitalis (pemilik modal) yang terlibat dalam proyek tersebut. Sedangkan pengusaha lokal dikenakan pajak ratusan juta hingga gulung tikar. Ini seperti yang dialami Pramono, seorang pengusaha susu sapi di Boyolali.
Ini sungguh berbeda dengan negara dalam sistem Islam yang memosisikan penguasa sebagai ra’in (pengurus) rakyat.
Pajak dalam Sistem Islam
Islam memposisikan rakyat sebagai tanggung jawab negara. Ini berdasarkan sabda Rasulullah saw., “Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Imam adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR Bukhari).
Imam (khalifah) dalam sistem Islam wajib bertanggung jawab atas urusan rakyatnya. Negara bertanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok tiap-tiap rakyat yang meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Dana untuk mencukupi kebutuhan rakyat berasal dari baitulmal. Negara mengelola baitulmal (APBN) untuk mencukupi kebutuhan rakyat secara makruf (layak/baik) berdasarkan prinsip syariat.
Semua pemasukan tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan membangun negara tanpa mengalami defisit. Bahkan, dari pengelolaan sumber daya alam yang terkategori kepemilikan umum saja sudah cukup untuk kebutuhan rakyat karena Allah Taala telah mengaruniakan kekayaan alam yang luar biasa di negeri-negeri muslim berupa hutan, laut, sungai, bermacam-macam tambang (migas dan mineral), dan lainnya.
Kita bisa menyaksikan pada sepanjang peradaban Islam, mampu membangun kota-kota yang modern dan indah, universitas terbaik, teknologi tercanggih, masjid yang megah, rumah sakit terbaik dan terlengkap, serta berbagai pencapaian yang melampaui peradaban lain (Barat) dengan dana dari baitulmal.
Pajak memang ada dalam baitulmal sebagai salah satu pos pemasukan. Namun, pos ini hanya dipungut ketika kas negara sedang membutuhkan, sedangkan ada kebutuhan yang wajib dipenuhi negara dan akan terjadi dharar (bahaya) jika tidak dipenuhi.
Setelah kebutuhan tersebut terpenuhi, pemungutan pajak dihentikan. Jika masih ada harta di dalam baitulmal, negara haram memungut pajak. Dengan demikian, pemungutan pajak dalam Islam tidak bersifat terus-menerus, tetapi dalam kondisi tertentu saja.
Wallahua’lam bishshawab.
Tags
Opini