Bencana Berulang, Antisipasi Lamban




Oleh : Lilis Tri Harsanti, S.Pd
 ( Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)



Banjir lagi, lagi-lagi banjir. Cuaca ekstrem hujan intensitas tinggi di sejumlah wilayah hulu menjadi penyebab utama banjir di Desa Tempuran, Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Banjir tidak kunjung surut akibat meluapnya sungai yang mengelilingi desa tersebut.

Desa Tempuran seperti cekungan dataran paling rendah yang letaknya persis diapit dua sungai yaitu, afvour Jombok dan sungai Afvour Watudakon yang mengarah ke aliran Dam Sipon Pagerluyung.

Kondisi pertemuan antara Afvour Jombok dan sungai Balongkrai yang banyak dipenuhi tanaman eceng gondok mengganggu aliran sehingga rumah pompa di Desa Tempuran tidak optimal membuang banjir ke aliran sungai dan ditambah banjir kiriman dari wilayah Jombang.(Tribun Jatim 9-12-2024)

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 35 kejadian bencana sepanjang 2-9 Desember 2024 di berbagai daerah. Akibat bencana itu, 24 orang meninggal dunia, 2 hilang, 9 luka-luka, dan 99.968 lainnya harus mengungsi.
"Sesuai dengan prediksi peningkatan curah hujan yang disampaikan BMKG, memang di beberapa tempat terjadi bencana hidrometeorologi basah," kata Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Abdul Muhari melalui siaran akun YouTube BNPB Indonesia, dikutip Rabu (11/12/2024).

Faktor cuaca, peningkatan suhu permukaan laut, perubahan pola angin, dan lain-lain sering disebut-sebut sebagai penyebab utama banjir. Dalam hal ini, intensitas hujan yang tinggi, durasi lama, dan frekuensi yang sering berpeluang besar menimbulkan bencana hidrometeorologi.

Masalahnya, bencana banjir ini bukan perkara baru. Nyaris setiap musim penghujan bencana banjir pasti jadi langganan. Risiko ekonomi dan sosial yang ditimbulkan pun sudah tidak terhitung lagi. Sementara masyarakat dipaksa menerima keadaan, dengan dalih semua terjadi lantaran faktor alam.

Padahal, penyebab banjir tidak semata faktor alam. Ada banyak hal yang harus dievaluasi dari perilaku manusia, utamanya terkait budaya dan kebijakan struktural dalam pembangunan. Begitupun dengan dampak yang ditimbulkan. Seringkali negara gagap melakukan mitigasi bencana sehingga berbagai dampak tidak terantisipasi sebaik-baiknya.

Para penguasa sejauh ini malah sibuk berpolemik saat bencana sudah terjadi. Alih-alih mencari solusi, masing-masing sibuk mencari kambing hitam, bahkan menjadikannya sebagai bahan untuk saling serang. Wajar jika PR soal banjir tidak pernah kelar. Bahkan eksesnya makin besar dan sulit diselesaikan.

Sebetulnya, mudah untuk memahami bahwa bencana banjir atau bencana lainnya bersifat sistemis, maka harus diberi solusi sistemis. Faktor cuaca ekstrem misalnya, ternyata terkait dengan isu perubahan iklim yang dipicu perilaku manusia yang kian niradab terhadap alam, termasuk akibat kebijakan pembangunan kapitalistik yang eksploitatif dan tidak memperhatikan aspek daya dukung lingkungan.

Curah hujan yang tinggi tidak akan jadi masalah jika hutan-hutan tidak ditebangi, tanah resapan tidak dibetoni, daerah aliran sungai tidak mengalami abrasi, dan sistem drainase dibuat terintegrasi. Bukankah Allah Swt. telah menciptakan sistem hidup yang penuh keseimbangan dan harmoni? Kehadiran hujan pun sejatinya mendatangkan rahmat, bukan menjadi laknat.

Meluasnya bencana banjir ini menunjukkan gurita kapitalisme makin mencengkeram. Eksploitasi lahan tambang, alih fungsi lahan, dan deforestasi faktanya memang kian tidak terkendali. Permukaan tanah pun makin turun akibat konsumsi air tanah untuk penunjang fasilitas hunian-hunian elit dan industrialisasi. Begitu pun dengan sungai. Volumenya makin menyempit akibat melimpahnya produksi sampah dan sedimentasi dampak hunian di bantaran kali.

Mirisnya, semua terjadi di hadapan mata para penguasa. Bahkan, sebagian besarnya terjadi secara legal atas nama pembangunan yang abai terhadap tata ruang dan tata wilayah, sangat profit oriented, cenderung pragmatis, dan mengedepankan ego sektoral.

Hal ini niscaya karena negara dan para penguasa merepresentasikan kepentingan para pengusaha. Bagi mereka, keuntungan materi adalah segalanya, maka soal kelestarian alam dan keberlangsungan kehidupan di masa depan bukanlah urusan.

Kalaupun mitigasi bencana dilakukan, tampak semuanya sekadar upaya cuci tangan. Artinya, tidak benar-benar berusaha menyentuh akar persoalan. Terlebih soal mitigasi ternyata sangat multisektoral, mulai soal pendidikan, litbang, teknologi, infrastruktur, regulasi atau kebijakan, dan tentunya butuh dana besar. Padahal semuanya masih menjadi problem besar bagi negara yang sudah tenggelam dalam utang. Sementara para kapitalis, pasti punya hitung-hitungan.

Sejatinya, dunia ini butuh sistem Islam karena paradigma sistem Islam bertentangan secara diametral dengan sistem kapitalisme yang diterapkan sekarang. Dalam sistem kapitalisme, kebijakan penguasa yang merepresentasi kepentingan para pemilik modal justru jadi sumber kerusakan, sementara sistem Islam lahir dari keimanan dan ketundukan pada Zat Pencipta dan Pemelihara seluruh Alam.

Ajaran Islam benar-benar mengajarkan harmoni dan keseimbangan. Adab terhadap alam bahkan dinilai sebagai bagian dari iman. Fungsi kekhalifahan adalah refleksi dari fungsi penghambaan, maka siapa pun yang melakukan kerusakan terhadap keseimbangan alam dianggap sebagai pelaku kejahatan dan dinilai sebagai bentuk kemaksiatan.

Penguasa dalam Islam betul-betul berperan sebagai pengurus dan penjaga umat. Semuanya bisa berjalan saat syariat Islam diterapkan secara keseluruhan. Syariat inilah yang mengatur halal haram, alias yang boleh dan terlarang hingga kerahmatan bisa dirasakan oleh seluruh alam.

Islam misalnya, menetapkan sumber daya alam termasuk hutan, sungai, dan tambang sebagai milik rakyat. Islam mengatur soal penggunaan tanah dan pentingnya memperhatikan tata ruang. Islam memberikan kewenangan pengelolaannya kepada negara sebagai pemelihara urusan rakyat, seraya dengan tegas melarang eksplorasi dan eksploitasi secara serampangan sebagaimana biasa dilakukan dalam sistem sekarang.

Itulah kenapa saat sistem Islam ditegakkan tidak pernah terjadi bencana yang penyebabnya di luar faktor alam. Seluruh bencana yang terjadi pada masa itu statusnya benar-benar sebagai musibah dan ujian, bukan dampak dari kerakusan dan niradab manusia terhadap lingkungan.

Wajar jika musibah seperti ini justru memberi hikmah yang banyak, terutama membuat umat manusia makin dekat kepada Allah Taala. Bukan malah menambah jauh umat manusia dari syariat Rabbnya. Juga membuat penguasa lebih bersungguh-sungguh mengurus rakyatnya. Dengan mengerahkan segenap kemampuan untuk mencegah terjadinya bencana, dan melakukan mitigasi sebaik-baiknya saat bencana tidak terhindarkan. Sebagaimana tampak ketika Sayyidina Umar ra. begitu khawatir akan Allah tanya ketika ada kambing yang terperosok akibat jalan berlubang sedikit saja.

Sungguh umat Islam hari ini harus segera bertobat kepada Allah Swt. Kedurhakaan mereka sudah sedemikian parah hingga Allah Swt. tidak henti menurunkan bencana sebagai peringatan dalam berbagai bentuknya.

Adapun cara tobatnya adalah dengan serius berjuang mengembalikan sistem kepemimpinan Islam. Yakni dengan jalan dakwah membangun kesadaran di tengah umat tentang rusaknya sistem kapitalisme sekuler neoliberal sekaligus tentang urgensi hidup di bawah naungan syariat Islam.

Keterlibatan kita dalam dakwah insyaAllah akan menjadi penggugur dosa jemaah akibat hidup di bawah naungan sistem kapitalisme sekuler neoliberal. Juga insyaallah akan menyelamatkan kita dari besarnya azab yang akan Allah timpakan kepada mereka yang durhaka.

Allah Swt. berfirman,

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لَّا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاۤصَّةً ۚوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ

“Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. Ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksa-Nya.” (QS Al-Anfal : 25).

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak