Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menghentikan sementara izin edar produk olahan makanan impor dari Cina, latiao. Kepala BPOM Taruna Ikrar mengatakan, pengambilan langkah ini merupakan respons atas laporan kejadian luar biasa keracunan pangan (KLBKP) yang menimpa anak-anak di sejumlah wilayah di Indonesia.
Ia mengatakan, BPOM telah melakukan uji laboratorium terhadap produk-produk yang diduga menyebabkan KLBKP tersebut. Hasilnya, kata Taruna, BPOM menemukan indikasi kontaminasi bakteri Bacellus Careus dalam sampel produk latiao tersebut.
“Bakteri ini menyababkan gejala-gejala keracunan berupa sakit perut, pusing, mual, dan muntah. Gejala ini cocok dengan yang dilaporkan para korban,” kata dia.
Selain menguji sampel produk, BPOM juga memeriksa gudang importir dan distributor produk tersebut. Taruna berujar, BPOM menemukan adanya pelanggaran Cara Peredaran Pangan Olahan yang Baik (CperPOB) oleh importir dan distributor.
Taruna menyebut, saat ini terdapat 73 produk latiao yang beredar di dalam negeri. Empat di antaranya, terbukti mengandung bakteri tersebut. Keempat merek latiao yang terbukti terkontaminasi bakteri adalah Luvmi Hot Spicy Latiao, C&J Candy Joy Latiao, KK Boy Latiao, dan Lianggui Latiao.
Menindaklanjuti temuan tersebut, Taruna mengatakan, BPOM telah berkoordinasi dengan Kementerian Komunikasi dan Digital untuk menghentikan penjualan latiao pada platform digital.
“Kami juga meminta importir untuk segera melaporkan proses penarikan dan pemusnahan produk latiao kepada kami. Kami juga akan terus memantau kepatuhan mereka,” kata dia.
Taruna mengimbau agar masyarakat memeriksa keamanan produk makanan yang akan dikonsumsi. Ia pun memberikan tips untuk memilah produk pangan dengan metode cek KLIK, yakni cek kemasan, label, izin edar, dan kadaluarsa.
"BPOM akan terus meningkatkan pengawasan pre dan post-market terhadap produk pangan yang beredar di masyarakat," ujar Taruna.
Sementara disatu sisi yang lain ratusan anak telah menjadi korban kasus gagal ginjal akut yang didiuga akibat konsumsi obat sirup dengan bahan kimia di luar ambang batas dalam kurun waktu sebulan terakhir. Meski kasusnya tengah diproses hukum oleh aparat penegak hukum, namun sampai saat ini masih belum ada tersangka yang ditetapkan.
Padahal, informasi terbaru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Republik Indonesia per 6 November 2022 kasus gagal ginjal akut telah mencapai 324 kasus.
Meskipun, menurut Juru bicara Kemenkes, Mohammad Syahril, sudah tidak ada penambahan kasus baru dalam tiga hari terakhir.
Namun, dari 324 jumlah tersebut telah memakan korban meninggal dunia sebanyak 195 anak.
"Datanya adalah data 6 November tadi malam. Saat ini, jumlahnya 324 kasus, 27 orang dirawat, yang meninggal 195 orang, dan yang sembuh 102 orang," kata Syahril dalam konferensi pers update gagal ginjal akut secara daring, Senin (7/11/2022). Diduga kuat penyebab kasus tersebut akibat obat sirup yang mengandung cemaran etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG) yang melebihi ambang batas aman.
Kasus keracunan makan yang menimpa banyak siswa mengingatkan kasus gagal ginjal akut karena obat yang mengandung zat berbahaya beberapa tahun yang lalu. Hal ini menunjukkan lemahnya jaminan keamanan pangan dan obat
Memastikan keamanan pangan dan obat yang beredar adalah tanggung jawab negara, termasuk produk yang berasal dari luar negeri. Namun dalam negara yang menjalankan sistem sekuler kapitalis, hal ini bisa terabaikan mengingat peran negara bukan sebagai pengurus rakyat.
Negara dalam islam memiliki mafhum ra’awiyah dalam semua urusan termasuk dalam obat dan pangan, baik dalam produksi maupun peredaran. Prinsip halal dan thayyib akan menjadi panduan negara dalam memastikan keamananan pangan dan obat
Negara Islam memiliki berbagai mekanisme dalam memastikan keamanan pangan dan obat, diantaranya dengan adanya Kadi Hisbah.
Menyoal Keamanan Pangan
Kasus keracunan makanan akibat produk latiao yang memicu kejadian luar biasa ini mengingatkan kita pada kasus serupa. Pada 2022, kasus gagal ginjal akut diduga kuat terjadi akibat obat sirop yang mengandung cemaran zat kimia di luar ambang batas aman, yakni etilen glikol (EG) dan dietilen glikol (DEG). Adapun EG dan DEG merupakan zat kimia berbahaya yang cemarannya dimungkinkan ada dari beberapa zat pelarut tambahan obat sirop, termasuk propilen glikol (PG), dengan ambang batas aman 0,1 miligram/mililiter.
Hingga Februari 2023, terdapat 326 kasus gagal ginjal akut yang tersebar di 27 provinsi di Indonesi. Dari jumlah itu, 204 anak meninggal, sisanya sembuh. Bareskrim Polri melakukan penyelidikan untuk mendalami pihak terkait yang harus bertanggung jawab atas kejadian tersebut. Ada sejumlah perusahaan produsen obat sirop yang diselidiki terkait kasus tersebut, yaitu PT Afi Farma Pharmaceutical Industry, PT Universal Pharmaceutical Industries, dan PT Yarindo Farmatama. Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) juga sudah menarik puluhan obat sirop dari tiga perusahaan itu.
Pada saat itu pemerintah, dalam hal ini Kemenkes, Kemendag, serta BPOM saling melempar tanggung jawab dalam merespons kasus gagal ginjal akut yang mengorbankan nyawa ratusan anak. Menurut Kemenkes, pengawasan bahan obat-obatan bukan berada di kementeriannya, melainkan di BPOM. Ia juga menegaskan bahwa permasalahan dugaan penipuan pasokan bahan baku obat bukan merupakan wewenang Kemenkes.
Sementara itu, Ketua BPOM kala itu, Penny K. Lukito menyatakan, terkait pengawasan BPOM tidak bertanggung jawab atas penggunaan senyawa kimia EG dan DEG yang ternyata digunakan sebagai bahan baku pelarut obat sirop oleh beberapa pelaku industri farmasi. Ia mengatakan, adanya bahan baku oplosan tersebut adalah perbuatan ilegal di luar pengawasan BPOM.
BPOM disebut hanya mengawasi dan memeriksa bahan baku dalam kategori pharmaceutical grade atau khusus farmasi untuk pelarut obat sirup. Adapun terkait impor dan peredaran EG dan DEG, BPOM tidak melakukan pengawasan karena penggunaannya sebenarnya untuk industri di luar farmasi.
Adapun Kementerian Perdagangan (Kemendag) menyatakan, tidak mengatur pembatasan impor senyawa propilen glikol (PG) dan polietilen glikol (PEG). Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan saat itu mengatakan bahwa PG dan PEG tidak diatur regulasi impornya alias bebas impor sehingga importasinya tidak melalui Kemendag.
Meski berakhir dengan pengumuman empat perusahaan farmasi menjadi tersangka, kasus tersebut mestinya menjadi pukulan telak bagi lembaga negara terkait, seperti BPOM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Perdagangan, hingga Kementerian Perindustrian. Lembaga-lembaga tersebut seharusnya melakukan evaluasi dan penyelidikan menyeluruh untuk mempertanggungjawabkan tugas mereka dalam menjamin keamanan obat dan pangan kepada masyarakat, bukan malah saling lempar tanggung jawab.
Pada akhirnya, kejadian luar biasa terjadi lagi pada produk makanan latiao. Hal semacam ini bukan lagi disebut kecolongan, tetapi kelalaian negara dalam memastikan produk obat dan pangan yang beredar di masyarakat aman dan tidak membahayakan.
Tanggung Jawab Negara
Sayangnya, dari dua kasus kejadian luar biasa yakni gagal ginjal akut dan keracunan latiao, negara belum juga berbenah. Sedangkan yang menjadi korban adalah anak-anak, generasi masa depan bangsa. Negara harusnya belajar dari keteledoran pada kasus-kasus KLB sebelumnya. Negara juga harus bertanggung jawab jika terjadi keracunan atau sesuatu yang menyebabkan nyawa anak-anak terancam karena produk obat dan pangan yang beredar. Ini karena memastikan dan menjamin keamanan obat dan pangan adalah kewajiban negara sebagai pengurus rakyat.
Namun, dalam sistem sekuler kapitalisme, tanggung jawab tersebut makin terkikis. Peran negara hari ini hanya sebagai regulator, bukan pelayan rakyat. Ketika ada kejadian luar biasa keracunan atau kasus seperti gagal ginjal akut, para pejabat negara cenderung “cuci tangan” dan “buang badan”. Sejauh ini, penindakan terhadap unsur tindak kriminal hanya fokus pada pelaku industri yang memproduksi dan mendistribusikannya. Namun, belum ada pejabat terkait semisal BPOM atau Kemenkes yang turut bertanggung jawab perihal kelalaian dalam pengawasan dan uji kelayakan pangan.
Dalam kasus latiao misalnya, negara memiliki kewenangan melakukan pengawasan dan pengontrolan uji kelayakan, mulai dari bahan yang diimpor, produksinya, komposisinya, dan distribusinya. Meski pihak yang memproduksi adalah industri swasta atau individu, negara tetap harus melakukan pengawasan demi menjamin keamanan kesehatan masyarakat. Jika tidak dilakukan, inilah yang dinamakan kelalaian dan lepas tangan dari tanggung jawab.
Sistem Islam Melakukan Riayah
Dalam Islam, setiap pemimpin adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas apa yang diurusnya. Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah ﷺ bersabda, “Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas yang dipimpin. Penguasa yang memimpin rakyat banyak akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya, setiap kepala keluarga adalah pemimpin anggota keluarganya dan dia dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Istri adalah pemimpin terhadap rumah suaminya dan juga anak-anaknya, dan dia akan dimintai pertanggungjawabannya terhadap mereka, dan budak seseorang juga pemimpin terhadap harta tuannya dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadapnya, ketahuilah, setiap kalian adalah bertanggung jawab atas yang dipimpinnya.” (HR Bukhari No. 6605)
Penguasa adalah pemimpin dan ia bertanggung jawab atas seluruh rakyat yang dipimpinnya, termasuk ketika menemukan pejabat di bawahnya tidak menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, penguasa wajib bersikap tegas serta memberi sanksi kepada pejabatnya.
Negara, dalam hal ini penguasa, memiliki kewajiban dalam menjamin keamanan pangan yang dikonsumsi masyarakat. Negara akan menetapkan kebijakan keamanan pangan dengan mekanisme berikut:
Pertama, mengatur regulasi untuk industri makanan dan minuman agar sesuai ketentuan pangan halal, baik (tayib), dan aman yakni tidak mengandung bahan-bahan berbahaya, halal, dan tidak memicu munculnya penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes, dan jantung.
Kedua, melakukan pengawasan dengan peran al-hisbah, yakni lembaga negara yang melakukan pengawasan dan pengontrolan pangan dalam rangka mencegah pelaku industri berlaku curang, menipu, mengurangi takaran atau timbangan, serta memastikan kualitas produk obat dan pangan tetap layak dan aman dikonsumsi.
Ketiga, melakukan edukasi secara holistik melalui lembaga layanan kesehatan, media massa, dan berbagai tayangan edukatif menarik sehingga masyarakat memahami kriteria makanan halal, tayib, dan aman dikonsumsi.
Keempat, menindak tegas pelaku industri dan siapa saja yang menyalahi ketentuan peredaran obat dan pangan yang sesuai standar pangan Islam, yaitu halal, tayib, dan aman.
Dengan kebijakan yang terintegrasi dan sistemis, negara dapat melakukan pencegahan dan penanganan dalam menjamin terpenuhinya produk obat dan pangan yang halal, tayib, dan aman.
Wallahu'alam bishshawab
Tags
Opini