Oleh Nurul Layli (Aktivis Mahasiswa)
Semakin hari, kabar tentang Generasi Zillenial (Gen Z) semakin mengiris hati. Bagaimana tidak, hari ini problematika yang menimpa Gen Z jumlahnya sudah begitu banyak. Mulai dari pengangguran, krisis identitas, hingga kerapuhan kesehatan mental. Dikutip dari laman Radar Jogja, angka pengangguran di kalangan Gen Z di Indonesia telah mencapai titik kritikal, yaitu sebanyak 9,9 juta orang. Itu berarti sekitar 22,25% dari total penduduk usia 15-24 tahun masih belum memiliki pekerjaan stabil (radarjogja.jawapos.com).
Realitas mengejutkan juga terungkap melalui Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS), survei kesehatan mental nasional pertama untuk remaja 10-17 tahun di Indonesia. Hasil survei menunjukkan satu dari tiga remaja Indonesia menghadapi masalah kesehatan mental, setara dengan 15,5 juta remaja (timesindonesia.co.id). Dan fakta-fakta tersebut sebenarnya hanyalah bagian kecil dari banyaknya masalah yang dihadapi oleh Gen Z hari ini. Tapi, mengapa semua ini bisa terjadi? Mengapa menjangkiti banyak dari generasi di negeri ini?
Tentu fenomena ini disebabkan tidak hanya sekedar faktor individual, tetapi faktor yang jauh lebih besar yaitu faktor komunal dan struktural. Faktor individual, merujuk pada personal Gen Z hari ini yang banyak di antara mereka mengalami krisis jati diri atau berada dalam fase Quarter Life Crisis. Ketidaktahuan mereka tentang tujuan hidup serta kesalahan dalam memaknai kebahagiaan, menjadikan mereka mengalami kebingungan dalam menjalani kehidupan ini. Membawa generasi mengalir bersama arus pemikiran yang liar dan bebas serta tak sedikit yang menghentikan mereka pada gaya hidup rusak, seperti FOMO, konsumerisme, hedonism, dan lain-lain.
Faktor komunal, merujuk pada kondisi masyarakat hari ini yang cenderung apatis dan individualis. Bagaimana hari ini kebanyakan orang hanya fokus pada urusan pribadinya saja, dan sedikit sekali untuk menaruh perhatian pada lingkungan sekitarnya. Di samping juga semakin hari masyarakat semakin bebas dengan mewajarkan beberapa hal yang sebenarnya tidak patut dilakukan, misalnya pacaran, membuka aurat, menjadikan materi sebagai standar dalam mengukur kesuksesan, dan lainnya. Hal inilah yang sebenarnya justru memberikan sumbangsih terhadap buruknya kondisi generasi hari ini.
Faktor struktural, adalah faktor yang terbesar, merujuk pada aturan serta kebijakan yang dibuat oleh negara. Dimana bisa disaksikan hari ini bahwa berbagai kebijakan yang ada masih menyisakan masalah di setiap sisinya. Di bidang pendidikan, masih sangat banyak problem yang ditemukan, baik dari segi kemerataan dan kualitas infrastrukturnya, tinggi biayanya, maupun kualitas generasi yang dihasilkannya. Hal ini karena paradigma sekuler yang diterapkan pada sistem pendidikan hari ini. Pendidikan yang lebih mengutamakan pencapaian materi semata dibandingkan pada penanaman nilai moral dan agama, sehingga generasi yang dihasilkan adalah intelektual yang nirmoral.
Penerapan sistem ekonomi yang buruk dan ribawi saat ini juga menjadikan pembiayaan di seluruh sektor terdampak buruk, termasuk pembiayaan pendidikan. Bahkan karena hal itu, negara harus menjadikan pajak dan utang sebagai unsur pembiayaan utamanya. Sebab segala kekayaan alam yang dimiliki sudah banyak yang tidak lagi digenggam sendiri, tapi berada di bawah kaki asing, aseng dan swasta. Selain itu, banyaknya TKA yang didatangkan ke dalam negeri semakin menguras lapangan pekerjaan bagi tenaga kerja domestik, sehingga meningkatkan angka pengangguran. Sementara di sisi yang lain, korupsi, kolusi, dan nepotisme, justru semakin menjadi-jadi. Sungguh ironi! Maka wajar jika kondisi ekonomi di negeri ini pun tidak mudah dihadapi oleh masyarakat.
Belum lagi sistem media informasi yang juga tak kalah liarnya hari ini. Menayangkan konten-konten yang tidak mendidik bahkan justru persuasif terhadap tindak asusila dan amoral. Begitu pula dengan penegakan sistem hukum yang lemah di negeri ini. Menjadikan mereka yang melakukan tindakan kriminal tidak jera dan bahkan semakin berpesta pora. Dan seluruh faktor ini tidak akan terjadi tanpa dipengaruhi oleh penerapan sistem Kapitalisme-Demokrasi-Sekuler yang menyerang pemikiran masyarakat hari ini.
Demokrasi yang berasaskan sekularisme telah menjadikan kedaulatan membuat hukum berada di tangan manusia bukan Sang Pencipta, Allah Swt. Maka wajar jika segala aturan dan kebijakan yang ada, bukannya membawa kebaikan tapi justru membawa kepada kesengsaraan. Hal ini karena sekularisme menjadikan aturan agama dipisahkan dari kehidupan. Menjadikan agama hanya di ranah individual tanpa boleh mengatur ranah struktural. Maka bisa diprediksi, bagaimana kondisi negeri ini jika tetap dibiarkan dalam kungkungan sistem Demokrasi-Sekuler. Sudah saatnya untuk mencampakkam sistem demokrasi dan mencari sistem alternatif yang akan mengubah dan menjadikan kondisi negeri ini jauh lebih baik lagi.
Islam adalah agama sekaligus mabda’ (ideologi) satu-satunya yang berasal dan diridhai oleh Sang Pencipta dan Sang Pengatur, Allah Swt. Yang Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan oleh manusia dan seluruh makhluknya. Yang tak akan pernah salah dalam menentukan aturan bagi seluruh ciptaan-Nya. Islam telah mengatur segi terkecil hingga terbesar dalam kehidupan. Dan seyogyanya, hanya penerapan Islamlah yang akan mampu menjadi solusi hakiki. Tentunya bukan hanya penerapan secara individual, melainkan juga secara komunal dan struktural dalam naungan negara yaitu Khilafah Islamiyah. Sebab Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, termasuk seluruh manusia, hewan dan alama semesta.
Khilafah Islamiyah adalah sebuah peradaban agung berpondasikan aqidah Islam yang telah berdiri selama tiga belas abad lamanya serta hampir menguasai dua per tiga dunia, menerapkan syariat Islam serta menyebarkannya ke seluruh penjuru alam. Hanya Khilafah Islamiyahlah yang mampu mewujudkan negeri dengan generasi yang bertakwa dan bervisi Surga.
Khilafah Islamiyah memiliki beberapa konsep dalam mengatur sektor-sektor kenegaraan. Dalam sistem pendidikan Islam, asas yang digunakan dalam mendidik generasi adalah aqidah Islam serta bervisi pada pembentukan generasi yang berkepribadian Islam, kaya akan tsaqafah Islam, dan menguasai IPTEK. Dan seluruh operasional pendidikan ini akan ditopang pembiayaannya oleh sistem ekonomi Islam yang tidak bertumpu pada utang dan pajak tapi pada pos-pos yang ada di Baitul Mal, baik dari kepemilikan umum (misalnya SDA) dan kepemilikan negara.
Sistem media informasi dalam Islam juga akan menayangkan konten Islami yang edukatif dan mendorong pada amal kebaikan. Ditambah juga dengan penerapan sistem sanksi dalam Islam yang mampu menjadikan seseorang berpikir berkali-kali sebelum melakukan tindak kejahatan. Sebab sistem sanksi dalam Islam memiliki dua fungsi yaitu zawajir atau sebagai pemberi efek jera dan jawabir sebagai penebus dosa. Dengan pengaturan yang komprehensif inilah, umat akan merasakan keamanan dan kesejahteraan dalam kehidupan.
Untuk itulah, saatnya bagi seluruh komponen umat bersatu dan bergerak bersama dalam perjuangan penerapan Islam dan penegakan Khilafah Islamiyah. Terutama bagi kalangan pemudanya. Sebab mereka adalah generasi pemuda, generasi di fase terkuat di antara dua kelemahan. Mereka adalah tonggak peradaban. Maka wahai pemuda, mari jadikan diri sebagai salah satu pejuang yang akan menyongsong tegaknya peradaban Islam yang agung. Bersama-sama dengan pemuda lainnya, dengan masyarakat, berhimpun dalam sebuah jamaah yang akan membina dan membersamai dalam perjuangan meraih kemenangan Islam. Allahu Akbar! WaLlahu’alam bishawab.
Tags
Opini