Tjandra Sari Sutisno, M. Pd
(Guru/Pendidik SMK Negeri di Jakarta)
Opening
Kala senja mulai terbenam, dimana insan manusia harus kembali ke peraduannya. Lelah, letih dan lemas merajalela daku terpaku duduk termenung. Kemanakah tumpuan kaki berpijak, wahai jasat yang rindu tak berujung. Kelam dalam kebisuan, duhai hati pelipur lara. Kadang bimbang entah kemana, perih menyayat luka yang sudah terkoyak.
Jiwa-jiwa bertebaran mencari penyelamat diri, bangga dengan maksiat penuh dosa. Tontonan bertebaran fitnah, saling tuduh, mencibir dan berakhir luka mendalam. Amarah membara, (ibarat) bagaikan kebakaran jengot. Dendam terus bergulir, mencari mangsa siapa saja tanpa memandang apapun. Sikat habis sampai hancur berkeping-keping, tindas dengan kekerasan tidak lagi memandang nurani.
Masih adakah rasa, hingga kerinduan itu hadir. Bisakah bicara dari hati ke hati, dimulai dari penyesalan yang mendalam (tangisan kekecewaan) atas semua yang sudah dilakukan. Puing-puing kehancuran ditata, sedikit demi sedikit hingga bisa kembali normal. Apakah bisa, dapatkah itu semua dialami atau terjadi saat ini.
Kasih sayang, tak memandang bulu sesuai norma sang Kholiq yang dilihat adalah keimanan. Bukan cantik, kaya, atau berkedudukan. Melangkah pasti, rebut dengan pemikiran cemerlang, mengikuti aturan Robbul 'alamin, tunduk dan patuh seperti jejak sang Rosul.
Closing
Insan bertakwa bagai, memilih langkah demi langkah dengan kehati-hatian karena banyak duri bertebaran sehingga kaki tidak terluka. Cobaan terus menggoda, mencari sihir tersembunyi. Masuk melalui kesadaran yang kosong, lagi dan lagi sampai terlena. Lepas ke genggaman iman, terperosok lubang yang paling dalam. Tangis penyesalan tiada guna, yang ada tetesan air mata.
Manusia sejatinya adalah ruh yang selalu, terpaut rindu pada pemilik alam semesta. Suka berlama-lama denganNYA, terus menanti pertemuan berikutnya. Cintanya tulus, dari hati, benaknya dan perbuatan juga. Jiwanya legewo pada qodo dan qodar, raganya tawadu MasyaAllah. Adakah ini dialami, siapakah dia yang tak tau dimana dia.
Ironi sekali, namun itulah yang terjadi dulu (1942) hingga hari ini. Ruh kemanakah engkau pergi duhai rapuhnya hati, lambat laun tak ditemui. Rindu, rindu dan rindu tak terbendung wahai sosok imam adil penakluk jaman jahiliyah.
Rindu kapankah itu hadir, ingin rasanya berjaya kembali. Melanjutkan kehidupan umat, ramatan lil 'alamin. Wallahu 'alam.
Tags
Opini