Penulis: Ilmi Mumtahanah
Pemerintah baru saja mengadakan retret bagi para pejabat, tetapi hal ini banyak dikritik oleh masyarakat dan pengamat. Pasalnya, meski Presiden mendanai sendiri kegiatan tersebut (tidak berasal dari APBN), retret pejabat menyediakan berbagai fasilitas mewah dan terkesan terlalu berlebihan.
Lantas, sebenarnya perlukah retret pejabat seperti ini?
Secara definitif, retreat pejabat adalah kegiatan pertemuan atau pelatihan yang diselenggarakan bagi pejabat pemerintah untuk meningkatkan kinerja, membahas strategi, atau membangun hubungan kerja sama.
Retreat biasanya dilakukan di luar kantor selama beberapa hari dan melibatkan berbagai jajaran pejabat, baik di lingkungan pemerintah pusat maupun daerah.
Adapun pelaksanaan retreat pejabat membutuhkan anggaran yang tidak sedikit. Biaya yang dikeluarkan meliputi akomodasi, transportasi, konsumsi, dan honorarium narasumber. Dalam beberapa kasus, biaya retret pejabat dapat mencapai jutaan bahkan miliaran rupiah, tergantung dari jumlah peserta, lama acara, dan lokasi yang dipilih.
Itulah sebab, kemewahan yang diperlihatkan terang saja memunculkan stigma bahwa retret hanya ajang liburan bagi pejabat dan penyaluran uang bukan pada tempatnya.
Retret sebenarnya bisa saja diselenggarakan dengan kondisi yang lebih sederhana. Mengingat, ekonomi rakyat tengah mengalami kesulitan. Apakah pantas para pejabatnya malah menginap di tenda mewah?
Ditambah lagi, dengan terbentuknya kabinet "gemuk", di mana orang-orang yang didapuk mengisi jabatan tersebut sebagian besar berasal dari elite parpol, jurnalis, pengusaha, dan sukarelawan, makin menguatkan dugaan bahwa pemilihan para menteri dan jajaran di bawahnya tidak lebih dari sekadar bagi-bagi "kue kekuasaan".
Menurut perhitungan lembaga riset Celios mayoritas nama yang dipanggil Prabowo didominasi oleh politisi dengan persentase mencapai 55,6% atau 60 dari 108 kandidat. Proporsi profesional teknokrat hanya sebesar 15,7% atau 17 dari 108 calon. Lalu disusul kalangan TNI/Polri (8,3%), pengusaha (7,4%), akademisi (5,6%), tokoh agama (4,6%), dan selebritas (2,8%).
Susunan kabinet yang didominasi elite parpol dan loyalis penguasa sesungguhnya hal yang lumrah terjadi dalam demokrasi. Ini karena dalam politik demokrasi, politik transaksional pasti terjadi. Tidak ada makan siang gratis untuk memenangkan kontestan yang dipilih. Ketika menang, para pendukung sudah pasti meminta jatah kursi dan jabatan.
Ini terbukti dari hasil kesepakatan antara dua partai besar pemenang Pilpres 2024. Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia, mengakui adanya tukar guling jabatan dengan Partai Gerindra. Dalam Kabinet Merah Putih, kader-kader Partai Golkar mengisi delapan kursi menteri dan tiga kursi wakil menteri. Sebagai gantinya, Partai Gerindra dapat mendudukkan kadernya di posisi Ketua MPR RI. Luar biasa, bukan!
Hal ini jauh berbeda dengan sistem pemerintahan Islam, di mana para pejabatnya dipilih bukan untuk berbagi kekuasaan. Kepala negara (khalifah) memiliki otoritas dan wewenang dalam memilih pejabat yang tepat. Pejabat dipilih berdasarkan integritas atau kepribadian dan keahlian atau kapabilitas.
Integritas yang dimaksud ialah pola pikir dan pola sikap yang sesuai dengan Islam. Adapun kapabilitas dilihat dari kemampuan secara fisik dan keilmuan yang dimiliki individu calon pejabat.
Dalam menjalankan tugas-tugas pemerintahan, khalifah dibantu pembantu yang disebut dengan mu’awin.
Pada masa Rasulullah ﷺ, Abu Bakar ra. dan Umar bin Khaththab ra. menjadi mu’awin beliau dengan wewenang yang bersifat umum dalam tugas tertentu dan bukan dalam semua aktivitas.
Kenyataan ini berlanjut hingga pada masa Abu Bakar ra. ketika peran Umar bin Khaththab ra. sebagai mu‘âwin Abu Bakar sangat menonjol dalam wewenang yang bersifat umum dan perwakilan sampai pada tingkat di mana sebagian sahabat pernah berkata kepada Abu Bakar, “Kami tidak tahu, apakah Umar yang menjadi khalifah ataukah engkau.” Meskipun demikian, Abu Bakar telah menugasi Umar untuk menangani masalah qadhâ’ (peradilan) dalam beberapa waktu tertentu.
Demikian pula Usman bin Affan ra. dan Ali bin Abi Thalib ra. pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab (ra.). Keduanya menjadi mu’awin bagi Umar bin Khaththab ra. (Ajhizah Daulah al-Khilafah, hlm 94).
Dalam sistem Islam, aturan yang diterapkan adalah aturan Allah yang bersifat baku dan tetap, yakni mengikat semua pihak, baik pejabat, aparat, maupun rakyat.
Dengan konsekuensi ini, tidak akan ada celah bagi perilaku jual beli hukum, revisi aturan, pejabat korupsi, curang, konflik kepentingan, dan bagi-bagi jatah kursi dan kekuasaan.
Aneka perilaku maksiat tersebut akan dicegah dengan sistem politik ekonomi dan sosial pendidikan yang berbasis akidah Islam.
Itulah sebab, ketika Khalifah sudah memutuskan siapa-siapa saja yang akan membantunya dalam urusan administrasi dan pemerintahan, ia tidak memerlukan retret mewah dan sejenisnya. Sebab, Khalifah pasti sudah mengetahui dengan baik kepribadian (pola pikir dan pola sikap) orang-orang tersebut. Wallahualam.