Oleh : Sri Setyowati
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)
Tahun pilkada serentak yang akan digelar pada bulan ini, tepatnya pada tanggal 27 November 2024 sudah mulai terasa dengan hadirnya pasangan calon kepala daerah di berbagai wilayah. Diikuti dengan berbagai dugaan praktik kotor menjelang pilkada yang terjadi secara masif dalam beberapa pekan terakhir.
Pada hari Rabu (23/10/2024) malam, puluhan kades yang tergabung dalam Paguyuban Kepala Desa (PKD) dari berbagai kabupaten/kota di Jawa Tengah mengikuti pertemuan secara tertutup di Gumaya Tower Hotel, hotel bintang lima di Kota Semarang. Sepekan sebelumnya, pada Kamis (17/10/2024), terdapat kurang lebih 200 kades dari Kabupaten Kendal yang menggelar pertemuan serupa di Graha Padma, kawasan perumahan elite di kota Semarang. Dugaan mobilisasi kades juga terjadi di tempat lain. Puluhan kades dari Kabupaten Pemalang dan Tegal melakukan pertemuan di Hotel Grand Dian, Kabupaten Pekalongan, Selasa (22/10/2024). Tiga pertemuan kades di waktu dan lokasi berbeda itu diduga merupakan bagian dari suksesi khusus pemenangan salah satu pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Tengah. (tirto.id, 26/10/2024)
Suap menyuap atau lebih dikenal dengan politik uang (money politik), biasa juga disebut serangan fajar selalu mewarnai setiap pilkada. Serangan fajar tidak terbatas pada uang. Namun juga bentuk lain seperti paket sembako, voucher pulsa, voucher bensin atau bentuk fasilitas lainnya yang dapat dikonversi dengan nilai uang, di luar ketentuan bahan kampanye. Berdasarkan data KPK tahun 2019, sebanyak 72 persen pemilih menyatakan pernah menerima money politik karena faktor ekonomi, tekanan, hingga lemahnya pencegahan hukum. Menurut Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Humas Bawaslu Kalteng Siti Wahidah, siapa saja yang memberi dan menerima serangan fajar sanksinya adalah dipidana. Mulai dari sanksi pidana penjara hingga denda puluhan juta rupiah sesuai Pasal 515 dan Pasal 523 Ayat (3) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. (tribunnews.com, 27/10/2024).
Ada juga calon bupati yang saat kampanye menjanjikan pemilihnya masuk surga. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Zainut Tauhid Sa'adi menyampaikan, kampanye dengan menjanjikan masuk surga kepada para calon pemilihnya, sangat berlebihan dan melampaui batas kepatutan. Kampanye seperti itu masuk dalam katagori mengeksploitasi agama untuk kepentingan politik. (republika.co.id, 27/10/2024).
Anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp41 triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024. Angka ini bersumber dari besar anggaran yang telah disepakati pemerintah daerah (pemda) dalam naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) Pilkada 2024 masing-masing bersama KPU, Bawaslu, TNI, dan kepolisian setempat. (kompas.com, 10/07/2024)
Praktik kotor adalah suatu keniscayaan dalam sistem demokrasi. Kedaulatan hukum juga ada di tangan manusia. Karena itu, berbagai upaya dilakukan paslon pilkada di berbagai daerah untuk dapat memenangkan pilkada. Di antaranya mobilisasi kades untuk memilih paslon tertentu, praktek suap, juga janji masuk surga dan lainnya. Adanya kecurangan yang terencana, sistemis dan masif dalam setiap pemilu, tidak menjadikan umat Islam berpaling dari demokrasi. Rakyat menjadi korban dari proses pemilihan kepala daerah dalam sistem demokrasi. Suara rakyat hanya diambil sebagai legitimasi atas kekuasaan para penguasa.
Ketika calon sudah terpilih dan menduduki kekuasaan, rakyat dilupakan bahkan membebani rakyat dengan berbagai pungutan pajak. Kebijakan yang dibuat penguasa tidak untuk melayani rakyat, namun hanya menguntungkan pribadi, kepentingan kelompok tertentu atau oligarki pendukung paslon. Padahal biaya yang digunakan adalah uang rakyat, dan rakyat justru mendapatkan banyak persoalan dari proses tersebut seperti masyarakat menjadi terpecah belah, terjadi konflik horizontal dan lainnya. Namun kesejahteraan tidak juga terwujud.
Kepemimpinan pemerintahan dalam Islam adalah tunggal, tidak ada pemisahan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Khalifah adalah kepala negara sekaligus secara nyata menjadi kepala pemerintahan. Selanjutnya, hanya khalifah yang berwenang mengangkat orang-orang yang dianggap mampu, berkapasitas dan berintegritas yang akan membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan. Seperti muawin (wakil kepala negara), wali (setingkat gubernur) dan amil (setingkat bupati), serta orang-orang lain yang akan duduk dalam struktur negara.
Mekanisme ini sangat efisien dalam pembiayaan maupun soliditas penguasa. Penguasa pun bisa fokus pada alokasi anggaran untuk melayani rakyat. Khalifah akan sangat bertanggung jawab terhadap semua kemaslahatan rakyatnya sebab ia diangkat atas nama Allah untuk mengurusi dan melayani umat.
Rasulullah bersabda, “Imam/Khalifah itu laksana penggembala, dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya.”(HR Bukhari dan Muslim).
Hanya khalifahlah pihak yang berwenang untuk mengadopsi syariat Islam menjadi hukum yang mengikat seluruh warga negara, baik muslim maupun nonmuslim. Mekanisme menggali hukum dari Al-Qur’an dan sunah juga berjalan secara individual, dalam arti bisa dilakukan oleh individu yang memiliki kualifikasi sebagai mujtahid, tidak membutuhkan kerja kolektif, karena kerja kolektif cenderung mewujudkan kompromi dalam penetapan hukum seperti dalam sistem demokrasi.
Hubungan rakyat dengan penguasa dalam Islam sangat harmonis. Selain wajib taat kepada penguasa dalam perkara yang merupakan wewenang mereka dan bukan kemaksiatan, rakyat juga wajib menjaga agar penguasa tetap tegak di atas hukum syariat dengan melakukan muhasabah kepada Khalifah melalui Majelis Umat.
Untuk itu, harus ada penyadaran di tengah masyarakat tentang hakikat dan kepalsuan demokrasi yang sejatinya telah melahirkan pemimpin yang jauh dari sikap sebagai raa’in (pelayan) rakyat. Sehingga umat paham dan meninggalkan sistem yang tidak mampu memberikan kemaslahatan kepada umat. Selanjutnya beralih berjuang mengembalikan kehidupan Islam yang telah terbukti mampu menyejahterakan umat selama 13 abad.
Wallahu a'lam bi ash-shawab
Tags
Opini