Polemik Susu Sapi, Akibat Sistem Kapitalisme

Oleh : Puspita

Ramai kabar di berbagai media mengenai polemik susu sapi d berbagai daerah Jawa Tengah hingga Jawa Timur. Dimana aksi para perternak sapi ramai membuang susu hasil produksinya. Hal tersebut di lakukan sebagai bentuk wujud protes akibat susu sapi produksi lokal tidak terserap usai adanya pembatasan kuota di industri pengelolaan. Penolakan dari industri pabrik menjadi alasan peternak sekaligus pengepul susu membuang susu hasil panennya. Padahal, pengepul susu sendiri telah menjalin kontrak dengan salah satu industri pabrik susu di Jakarta. (Detik.com)

Sedangkan di satu sisi, Indonesia kebanjiran susu sapi impor, sehingga susu produksi peternak lokal tak terserap. Salah satu penyebabnya adalah kebijakan bebas bea masuk dan harga susu impor yang lebih murah. Sehingga sejatinya terlihat kebijakan yang diambil oleh pemerintah terkesan tidak serius dalam mengurus rakyatnya. 

        
Jika dicermati realitas ini, aksi peternak membuang susu ini tentu sebuah ironi. Bagaimana tidak!?. Dari sekian penyebab utamanya aksi buang susu ini adalah berkurangnya penyerapan susu dari Industri Pengolahan Susu (IPS) karena adanya pembatasan kuota. Perusahaan IPS lebih memilih impor bubuk susu atau skim daripada menyerap susu segar dari peternak lokal karena harganya lebih murah, bahkan lebih murah dari market price (harga pasar dunia). Hal tersebut jelas mengakibatkan hasil produksi susu segar dari peternak lokal tidak terserap maksimal. Padahal seperti yang kita ketahui sebelumny, kualitas bubuk susu yang diimpor belum tentu lebih baik daripada susu segar yang dihasilkan oleh peternakan lokal. Di sini jelas solusi adalah solusi yang pragmatis. Dan solusi pragmatis yang ditetapkan pemerintah untuk menyelesaikan polemik susu ini tidak terlepas dari penerapan sistem demokrasi kapitalisme. Sebaliknya, pemerintah seharusnya mengambil langkah yang revolusioner dengan memberikan perlindungan penuh bagi para peternak lokal.

Pasalnya solusi yang diberikan oleh pemerintah di antaranya adalah hilirisasi susu dan pemberian insentif kepada peternak yang terdampak sebagai wujud evaluasi kebijakan impor susu. Sehingga sejatinya solusi pemerintah tawarkan ternyata pragmatis sehingga tidak mampu menuntaskan permasalahan. Hilirisasi adalah tahap pengolahan produk dari bahan mentah menjadi barang yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dan siap dijual kepada konsumen akhir. Proses ini melibatkan pemrosesan, pengemasan, distribusi, dan penjualan produk. Proses Hilirisasi ini merupakan target yang sejalan dengan Cetak Biru Pertanian 2029. Dimana Indonesia mampu mencapai swasembada susu secara penuh. Namun, hilirisasi justru merupakan wujud liberalisasi susu. Pasalnya perusahaan asing bisa langsung mendirikan pabrik atau memiliki lahan produksi di negeri tercinta ini.


Susu sapi memiliki banyak manfaat untuk kesehatan, susu sapi juga baik untuk anak-anak, terutama untuk mendukung tumbuh kembangnya. Susu adalah bahan pangan yang memiliki nilai gizi tinggi karena mengandung berbagai macam zat gizi. Susu mudah dicerna dan diserap sehingga sangat baik dikonsumsi untuk semua umur.

Melihat manfaat besar susu ini, tidak layak jika dikelola secara kapitalistik. Dalam Islam memiliki sistem dan politik ekonomi Islam yang akan memberikan jaminan dan perlindungan bagi para peternak sapi perah agar jerih payah mereka bisa dinikmati oleh masyarakat luas.
Tidak hanya itu sistem ekonomi Islam ini akan efektif jika diterapkan oleh negara Islam (Khilafah). Inilah satu-satunya sistem yang tepat untuk mengelola sektor produksi susu. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam/khalifah itu laksana penggembala (ra’in) dan hanya dialah yang bertanggung jawab terhadap gembalaannya

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak