Oleh : Maulli Azzura
Pemimpin baru telah resmi dilantik, harapan rakyat tentu juga baru, mengingat janji-janji kepemimpinan kala kampanye penuh gairah dan menjanjikan segudang harapan yang cerah. Begitu selesai dilantik, sang pemimpin langsung memilih beberapa orang pilihannya juga pesanan-pesanan parpol yang berkoalisi didalamnya, alias meminta jatah kursi di kementrian. Akhirnya diperoleh lah 53 menteri yang akan membantu dirinya melaksanakan tugas penting di masing-masing kementrian. Tak cukup sampai disitu, sang pemimpin baru-pun mengagendakan para menterinya sebuah pembekalan mental serta menjaga kekompakan dengan membawa semua anggotanya ke daerah Magelang. Dengan harapan ketika turun gunung, mereka telah siap menjadi menteri yang tangguh dan sigap serta jujur dalam menjalankan kabinetnya.
Cukupkah dengan pembekalan dan penguatan mental dalam waktu yang sebentar bisa memperoleh keberhasilan kepemimpinan?.
Sebagai negarawan tentunya haris memiliki kecakapan dalam memimpin. Kejujuran, ketegasan, kepekaan dan ketaatan harus melekat dalam diri seorang pemimpin. Sehingga bukan hanya sebatas pembekalan mental namun lebih dari itu, setiap individu yang mendapat amanah sebagai pembantu pemimpin atau wali, harusnya sedari lama memiliki tingkat ketaatan terhadap syariat Allah. Lantas bisakah di negeri yang kapitalis ini melahirkan individu yang taat syariat ?.
Nampak hanya seperti bongkahan batu es kutub antartika yang mengapung dilautan lalu hanyut di hajar ombak dan lenyap seketika. Tidak ada seorang pemimpin bahkan para menteri yang menjalankan amanah rakyat secara benar. Oleh karenanya pembekalan para pembantu presiden bukanlah cara yang tepat untuk menciptakan kepercayaan terhadap rakyatnya.
Dalam islam kepemimpinan yang amanah tidak sulit menemukannya. Setiap individu yang terikat dengan hukum syara' pasti menjadi individu yang taat. Individu yang di ikat oleh aturan Allah yang dijalankan oleh seorang Kholifah lewat institusi daulah khilafah pasti tidak akan melenceng dari syariat Allah. Itu artinya siapapun yang diberi amanah oleh kholifah untuk membantu kinerjanya maka mereka sudah pasti akan menjalankan setiap perintah kholifah dengan penuh tanggung jawab. Karena dimata mereka setiap perbuatan tidak luput dari pengawasan Allah SWT.
Sedang dalam negara kapitalis, sudah pasti kekuasaan yang diperoleh dari suara rakyat, termasuk para menteri yang bertugas sebagai pembantu presiden sejatinya mereka hanya mencari kekayaan bukan menjalankan amanah rakyat. Juga dari sistem yang ada bukan sistem yang benar melainkan sistem yang akan melahirkan manusia rakus penentang syariat Allah dengan undang-undang yang dibuatnya dengan tujuan untuk memuluskan hawa nafsunya saja .
Allah SWT berfirman dalam Al Qur'an surat An Nissa :58
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الأمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ إِنَّ اللَّهَ نِعِمَّا يَعِظُكُمْ بِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ سَمِيعًا بَصِيرًا
"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat."
Pemimpin yang amanah harus menjalankan syariat Allah secara kaffah. Bukan membuat aturan hukum sendiri , melainkan menjalankan hukum syara' yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Sehingga dengan kata lain pemimpin yang amanah hanya akan ada di dalam sistem yang benar yakni Islam. Sungguh jelas tipu daya orang - orang kafir dan munafik untuk menjauhkan kita dari aturan Allah. Sehingga tidak pantas bagi kita memberikan amanah kepemimpinan kepada mereka apalagi mempercayakan kekuasaan untuk mengurusi rakyat dengan produk hukum buatan manusia terlaknat.
Wallahu A'lam Bishowab