Oleh: Isna
Di Boyolali, Jawa Tengah, banyak peternak yang membuang susu segarnya. Pasalnya, industri pengolahan susu (IPS) tidak menyerap pasokan susu dari peternak. Dalam aksi tersebut, 50.000 liter susu dimusnahkan dan 1.000 liter dibagikan kepada warga sebagai protes atas dugaan pemerintah merugikan warga. Menyikapi langkah tersebut, Direktorat Jenderal Peternakan dan Perikanan (Disnakan) Kabupaten Boyolali, Provinsi Jawa Tengah, telah memulai dialog dengan pengepul yang mewakili peternak sapi perah di daerah yang terkena dampak pembatasan produksi di Industri Pengolahan Susu (IPS).
Susu yang tidak dibeli dari IPS tidak akan disimpan lagi di pendingin susu curah Boyolali. Pemotongan kuota yang diduga akibat impor susu dari luar negeri menimbulkan kerugian di kalangan pengepul. Jika keadaan ini terus berlanjut, pengepul mungkin tidak akan mampu bertahan. Produksi susu Bojolali dulunya mencapai 51 juta liter per tahun di IPS tanpa hambatan. Namun kini, ketika rata-rata produksi tahunan mencapai 38 juta liter. Pak Suryono, pengurus KUD Mojosongo Boyorari, menjelaskan bahwa KUD Mojosongo dan para pengepul menghadapi kendala karena kuota susu IPS terbatas.
Koperasi KUD Mojosongo yang biasanya menerima 23.000 liter susu per hari dari peternak, kini meningkat menjadi 15.000 liter per hari. Koperasi Boyolali menerima kurang lebih 140.000 liter air setiap harinya. Saat ini industri hanya mampu menyerap sekitar 110.000 liter air per hari.Artinya, pabrik yang memproduksi 30.000 liter susu per hari tidak bisa menyerap seluruh tambahan susu dari peternak.
Susu tidak dapat disimpan dalam jangka waktu lama, sehingga susu yang tidak diterima pabrik untuk diolah harus dibuang. Industri tidak akan menerima hal ini karena mesin dan pasar sedang tertekan. Industri tidak bisa menjual seluruh produknya sehingga harus mengurangi produksi. (Pelungnews.com 15/11/2024)
Sayangnya, ketika permasalahan susu mencuat, solusi yang diajukan pemerintah ternyata tidak praktis dan efektif dalam menyelesaikan permasalahan tersebut. Salah satu solusinya adalah dengan meningkatkan nilai tambah susu dan menciptakan insentif bagi peternak yang terkena dampak sebagai bagian dari evaluasi kebijakan impor susu. Solusi praktis pemerintah dalam menyelesaikan konflik susu bergantung pada penerapan sistem demokrasi kapitalis. Sebaliknya, pemerintah harus mengambil langkah revolusioner untuk memberikan perlindungan komprehensif kepada produsen lokal.
Hal ini hanya merupakan solusi parsial dalam hal memberikan insentif kepada peternak yang terkena dampak. Hal ini terkait dengan langkah pemerintah yang meninjau kembali tarif bea masuk 0% atas impor susu untuk melindungi kepentingan industri susu dalam negeri. Namun, jika tarif impor susu tidak diturunkan menjadi 0%, tujuan tersebut tentu akan sulit tercapai. Hal ini akan mengurangi harga sewa yang biasanya diminta oleh perusahaan pengimpor barang. Dari sudut pandang bisnis, mereka pasti tidak setuju.
Permasalahan lainnya adalah stabilitas harga susu yang dipengaruhi oleh impor susu. Meskipun biaya operasional bagi peternak meningkat, susu impor berdampak pada ketersediaan susu lokal dan memberikan tekanan pada harga. Harga susu Boyolali semakin anjlok hingga Rp 7.000 per liter. Jika 30.000 liter susu terbuang per hari, kerugian perusahaan bisa mencapai ratusan juta per hari. Hal ini tentu sangat merugikan petani.
Jika pemerintah benar-benar ingin melindungi kepentingan rakyatnya, sebaiknya fokus mendukung produksi susu dalam negeri melalui peternak dan sumber daya lokal tanpa melibatkan investor, terutama investor asing. Pembuangan susu menandakan melimpahnya susu dari peternak lokal. Pernyataan bahwa 80% kebutuhan susu dalam negeri harus diimpor justru menunjukkan bahwa pemerintah kurang memberikan dukungan terhadap industri susu dan produksi susu lokal. Faktanya, para pemilik perusahaan besar yang mendapat keuntungan dari impor susu ke Indonesia mereka semakin banyak yang menerapkan kebijakan bea masuk 0% atas impor susu. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah cenderung mendukung kapitalis dengan kebijakan yang memfasilitasi aktivitas bisnis. Tentu saja semua itu karena masuknya sistem ekonomi kapitalis.
Berbeda halnya dalam Islam, visi pengelolaan peternakan, sumber daya, produktivitas dan ketersediaan pangan melalui sektor peternakan merupakan tanggung jawab pemerintah. Oleh karena itu, Khilafah akan berdiri teguh melindungi kepentingan rakyatnya, khususnya para peternak sapi perah. Untuk melindungi nasib mereka, Khilafah akan mengambil langkah-langkah domestik untuk menjamin stabilitas harga susu.
Jika ada susu impor di pasar dalam negeri, khilafah perlu memastikan hal tersebut tidak mempengaruhi harga susu dalam negeri. Pemerintah mempunyai kewenangan untuk mengatur jumlah susu yang diimpor atau menghentikan impor jika hal ini mempengaruhi harga susu lokal. Untuk mengontrol pasokan susu, Khilafah akan mendirikan pusat pengolahan susu untuk menerima susu dari peternak dan menyediakan infrastruktur distribusi yang terjamin, jika kekhalifahan kelebihan susu, maka bisa dikirim ke negara lain. Kebijakan ekspor susu baru akan diterapkan setelah kebutuhan dalam negeri terpenuhi.
Jika terjadi kekurangan produksi susu dalam negeri, Khilafah bisa mengimpornya, namun hanya sementara. Sementara itu, kekhalifahan akan lebih menekankan pemulihan sektor peternakan dalam negeri untuk mengurangi ketergantungan pada impor. Industri susu dalam negeri akan terus berkembang untuk menjaga pasokan susu dan mengatasi kelangkaan. Peternak sapi perah dapat memperoleh kekayaan dan menikmati hasil jerih payahnya tanpa takut mengalami kerugian akibat impor susu.
Kekhilafahan juga mempunyai tanggung jawab untuk meningkatkan taraf hidup masyarakatnya secara pribadi agar memiliki daya beli yang cukup untuk memperoleh susu yang memenuhi standar gizi keluarganya. Dengan cara ini, masyarakat bisa lepas dari masalah kekurangan pangan dan kelaparan. Ini adalah langkah serius kekhalifahan yang sangat memperhatikan kebutuhan umat dan selalu memikirkan peningkatan kesejahteraannya.