Oleh: Julia Ummu Adiva Farras
Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, dimana guru merupakan profesi yang sangat mulia di dalam Islam. Namun hari ini masih banyak guru yang benar-benar tidak diberi tanda jasa, baik secara materil maupun non materil. Apa yang mereka dapatkan justru sebaliknya.
Berikut potret buram dunia pendidikan di negeri ini rasanya semakin rumit dengan maraknya Kriminalisasi Guru yang alih-alih mendisiplinkan anak didiknya justru berujung ke pihak berwenang. Melihat kasus Guru Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara yang sudah mengajar 16 tahun dengan gaji yang diterimanya hanya Rp. 300 ribu perbulan, yang itupun dibayarkan tiga bulan sekali menyita perhatian publik, lantaran dirinya di laporkan oleh orang tua murid yang merupakan anggota kepolisian atas tuduhan penganiayaan dengan dugaan pelanggaran kode etik hingga dimintai uang damai Rp. 50 juta kepada orang tua murid. (Liputan6.com, 31/10/2024)
Bukan hanya itu, Guru Sambudi di Sidoarjo pada tahun 2016 yang diadili karena mencubit anak didiknya yang tidak mau melaksanakan shalat berjamaah. Kemudian pada tahun 2023 Guru Zaharman di Bengkulu yang harus mengalami kebutaan setelah di ketapel oleh orang tua yang marah karena anaknya dihukum setelah ketahuan merokok. Masih banyak lagi kasus-kasus kriminalisasi guru lainnya yang di blow up maupun yang tidak. Namun yang pasti sungguh betapa malangnya nasib guru hari ini, sudahlah kesejahteraan tidak didapat, perlindungan hukum pun tak kunjung di dapatkan.
Menyelami kasus-kasus diatas ada beberapa faktor yang menyebabkan maraknya kriminalisasi guru:
1. UU perlindungan anak
UU tersebut kerap menjadikan guru mudah untuk dipidana, sebab beberapa upaya dalam mendidik anak sering disalahartikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak padahal apa yang dilakukan guru semata-mata untuk mendisiplinkan anak didiknya. Di sisi lain ada perlindungan guru yang tertuang dalam UU 14/2005 tentang guru dan dosen. Hanya saja UU yang ada belum maksimal dalam upaya penegakkan dan pelaksana aturannya.
2. Perbedaan defenisi dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru, masyarakat dan negara
Masing-masing memiliki persepsi yang berbeda terhadap pendidikan anak, sehingga hal ini menimbulkan gesekan diantara mereka, termasuk langkah guru dalam mendidik siswanya. Untuk itu sebelum masuk masa pengajaran harus ada parenting orang tua dengan pihak sekolah untuk mengkomunikasikan dalam mensinergikan pendidikan yang dibuat oleh pihak sekolah sehingga tidak ada Miss communication karna sejatinya mendidik anak bukan tugas guru semata, ada peran orang tua yang harus terlibat sehingga output yang didapat pun akan sesuai. Tentu negara pun harus bekerja sama dengan membuat kurikulum yang memprioritaskan aspek moral, terlebih agama. bukan hanya sekedar pencapaian akademik saja.
Jika menelisik lebih dalam, persoalan-persoalan yang terjadi hingga detik ini, itu semua lahir dari sistem sekuler kapitalisme yang menyebabkan negara melahirkan peraturan dan UU yang lemah karena sandaran mereka dalam membuat aturan ialah hasil dari pikiran Manusia yang tentu lemah dan terbatas. Sebagai contoh UU perlindungan anak dan UU guru yang akhirnya berpotensi tumpang tindih dan saling menyerang balik.
Akibatnya menjadikan individunya jauh dari agama, tidak sedikit para siswa, guru dan orang tua yang kesehariannya jauh dari agama sehingga tidak ada kontrol dalam gharizah baqonya. Sebab sistem kehidupan sekuler melahirkan individu yang materialistis. Bagaimana tidak? Banyak orang tua yang menyekolahkan anaknya dengan tujuan ketika lulus akan mengubah nasib ekonomi keluarga. Dengan kata lain, materi menjadi suatu pencapaian yang memang harus dikejar. Begitupun dengan guru yang sama-sama berorientasi pada materi karena masih banyak guru yang mengajar sekedar formalitas.
Bukan lagi Melihat ketuntasan pembelajaran pada setiap anak didiknya sehingga menjadi tak peduli nasib generasi di kemudian hari. Karna guru mengajar hanya sebatas ditunaikan bukan memberikan materi yang mendalam, Dari semua ini akan nampak hilangnya rasa hormat seorang siswa kepada gurunya, karena merasa murid tak di tunaikan haknya sebagaimana seorang murid. Ini semua akibat kehidupan sekuler yang sudah mendarah daging. Maka tak jarang kita temui banyak serentetan laporan siswa yang kurang adab terhadap gurunya. Terlebih jika siswa merasa harta dan jabatan orangtuanya lebih tinggi dibanding gurunya.
Dalam Islam, guru menempati posisi yang mulia dan terhormat. Melalui dirinya ajaran dan nilai-nilai Islam yang setiap generasi ke generasi diwariskan. Ilmu yang diberikan merupakan investasi yang abadi. Rasulullah Saw telah menggambarkan, ilmu tidak pernah berkurang saat dibagi, bahkan bisa melimpah dengan berkahnya. Pahala ilmu tidak akan terhenti meski pemiliknya meninggal dunia.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Al mujadilah: 11 yang artinya: "…. niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”
Rasulullah Saw pernah bersabda: "Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara (yaitu): sedekah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau doa anak yang soleh.” (HR. Muslim)
Maka siapapun yang memahami agama sejatinya akan menjaga adabnya terhadap guru. Ia akan memperlakukan gurunya dengan baik dan mematuhi setiap untaian nasihat gurunya, sebab ia yakin semua yang disampaikan merupakan kebaikan bagi dirinya.
Dalam Islam peran negara dalam memuliakan profesi guru ialah dengan mensejahterakan guru dengan penggajian yang terbaik, sehingga guru dapat menjalankan amanahnya dengan optimal. Negara akan memberikan perlindungan hakiki kepada guru dan murid dengan cara menerapkan aturan Islam secara kaffah. Sebab penerapan Islam secara kaffah akan melindungi seluruh umat dengan beragam profesi tanpa membanding-bandingkan. Terlebih guru. Selain itu, negara menerapkan sistem pendidikan Islam yang berbasis aqidah Islam, dimana mata pelajaran dan metodologi penyampaian nya disusun tanpa menyimpang sedikit pun dari asas aqidah sehingga membentuk kepribadian Islam bagi anak didiknya.
Untuk itu mencampakan sistem sekuler kapitalisme dalam kehidupan haruslah sesegera mungkin agar tidak ada lagi kriminalisasi terhadap guru. Guru akan sejahtera dan aman hanya dengan sistem Islam yang akan fokus mewujudkan generasi berkepribadian Islam dan siap membangun peradaban gemilang dibawah naungan khilafah.
Wallahu-a'lam bish-shawab [].
Tags
Opini