Mampukah Kurikulum Baru Membawa Perubahan?



Sri Mariana,S.Pd
(Pemerhati Keluarga dan Generasi)



Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti pekan ini menghadiri rapat kerja perdana dengan Komisi X DPR RI. Dalam rapat itu, Mu'ti memaparkan program prioritas lewat semangat dan slogan Kemendikdasmen, yaitu mencerdaskan dan memajukan bangsa.
"Ini kami ambil dari tujuan negara yang termaktub dalam UUD 1945 dan sering dikutip Bapak Presiden Prabowo," kata Mu'ti lewat keterangan persnya pada Rabu (6/11/2024) lalu.

Mendikdasmen mengatakan Deep Learning Itu Pendekatan Belajar, bukan Kurikulum
Mu'ti menerangkan visi besar Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah adalah pendidikan bermutu untuk semua, yang diambil dari UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Ia melanjutkan beberapa program prioritas Kemendikdasmen, di antaranya ialah penguatan Pendidikan Karakter(Republik, 9/11/24).

Kurikulum Merdeka resmi ditetapkan sebagai Kurikulum Nasional mulai tahun ajaran baru 2024/2025. Penetapan ini mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) No. 12/2024 tentang Kurikulum pada Pendidikan Anak Usia Dini, Jenjang Pendidikan Dasar, dan Jenjang Pendidikan Menengah.

Peluncuran Permendikbudristek yang menjadi payung hukum diberlakukannya Kurikulum Merdeka menjadi Kurikulum Nasional ini dilakukan Mendikbudristek Nadiem Anwar Makarim pada acara “Kurikulum Merdeka untuk Meningkatkan Kualitas Pembelajaran di Jakarta”, pada Rabu (27-3-2024).

Meski sudah ditetapkan, implementasinya tetap bergantung pada kesiapan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, hingga pendidikan menengah. Ada masa transisi hingga maksimal tiga tahun ke depan.

Menurut Nadiem, Permendikbudristek ini memberi kepastian arah kebijakan pendidikan nasional dengan menetapkan Kurikulum Merdeka secara nasional.

Penguatan Pendidikan Sekuler

Hal di atas dinilai pemerhati pendidikan Noor Afeefa sebagai bentuk penguatan kebijakan pendidikan sekuler kapitalistik.

“Kurikulum Merdeka sejatinya merupakan bentuk penguatan kebijakan pendidikan sekuler kapitalistik melalui perumusan kurikulum,” tuturnya kepada MNews, Sabtu (6-4-2024).

Ia berargumen, meski Kurikulum Merdeka diklaim lebih holistik karena memuat penilaian karakter melalui P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila), tetapi targetnya pun tetap sekuler, bukan karakter berbasis akidah sahih (Islam).

“Pro-kontra pemberlakuan Kurikulum Merdeka sebenarnya masih terus berlangsung, tetapi pemerintah justru menetapkan kurikulum tersebut sebagai Kurikulum Nasional yang mengikat semua satuan pendidikan,” sesalnya.

Penetapan menjadi Kurikulum Nasional yang baru dicobakan selama tiga tahun pun, lanjutnya, dinilai sebagian pihak terburu-buru meski pemerintah mengeklaim sudah 80% sekolah menerapkan Kurikulum Merdeka.

“Akan tetapi, penetapan itu terjadi di tengah persoalan guru yang belum tuntas, padahal ujung tombak pemberlakuan kurikulum tentunya adalah guru,” kritiknya.

Pembiaran oleh Negara

Menurutnya, terlepas dari pro-kontra di kalangan pengamat dan pakar pendidikan, penetapan tersebut ia sebut sebagai bentuk penegasan pembiaran negara atas keberlangsungan pendidikan sekuler kapitalistik di Indonesia.

“Ini karena Kurikulum Merdeka sejatinya merupakan implementasi dari paradigma pendidikan yang mengacu pada sistem pendidikan Barat yang sekuler kapitalistik,” argumennya.

Ia menambahkan, hal ini terlihat dari napas Kurikulum Merdeka berupa standar mutu kapitalistik, yakni penilaian PISA (Programme for International Student Assessment) yang diimplementasikan melalui Asesmen Nasional.

“PISA merupakan standar kualifikasi pendidikan yang dirancang oleh negara-negara kapitalis OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dalam rangka menyiapkan sumber daya manusia yang sesuai bagi kebutuhan pasar industri kapitalis. Oleh karenanya, standar kualitas literasi, numerasi, dan sains menjadi acuan penilaiannya,” paparnya.

Ia juga menerangkan bahwa Kurikulum Merdeka hanya fokus pada materi pembelajaran esensial sebagaimana penilaian PISA.

“Ini berbeda dengan Kurikulum 2013 yang padat. Kurikulum Merdeka juga memuat pembelajaran yang fleksibel mengikuti kemampuan peserta didik, bahkan mengikuti kemampuan guru. Yang mampu melejit tidak harus terhambat karena mengikuti yang lambat. Sedangkan yang lambat pun diharapkan tetap dapat belajar sesuai kemampuan. Kemajuan dirasa lebih cepat melalui metode ini,” bandingnya.

Namun lanjutnya, semua itu semata untuk meningkatkan nilai PISA melalui Asesmen Nasional.

“Bahkan diperoleh data adanya peningkatan skor literasi pada SD/MI/sederajat yang menerapkan Kurikulum Merdeka dibandingkan yang tidak menerapkan Kurikulum Merdeka, terutama di daerah tertinggal,” tambahnya.

Menjauhkan dari Islam

Ia mengulas, hadirnya Permendikbudristek ini menjadi pertanda bahwa negara zalim memaksakan kebijakan sekuler kapitalistik kepada rakyatnya, padahal kehidupan sekuler kapitalistik seharusnya dijauhi oleh umat karena pasti akan menyengsarakan dan menjauhkan dari Islam.

“Mengapa negara keukeuh dengan kebijakan tersebut? Ini karena negara telah gagal membaca akar persoalan pendidikan sehingga yang dilakukan bukan perubahan menuju pendidikan sahih, tetapi justru keliru,” bebernya.

Ia yakin, akar persoalan pendidikan bukanlah rendahnya daya serap lulusan pada dunia kerja atau tingginya pengangguran terdidik sehingga harus mengejar penilaian PISA yang merupakan standar pendidikan Barat

Menurutnya, Kurikulum Merdeka tidak bisa dipandang dari sisi teknis semata, yakni pembelajaran yang lebih menyenangkan bagi guru dan siswa sehingga kurikulum tersebut terkesan baik atau bermanfaat.

“Peningkatan kemampuan literasi dan numerasi dalam kurikulum ini tentu bukan sekedar angka, namun mengandung muatan ideologis karena nilai-nilai tersebut didedikasikan bagi kapitalisme,” tegasnya.

Ia meyakini, pergantian kurikulum yang sejatinya hanya menguatkan pendidikan sekuler akan menghasilkan banyak kerugian, terlebih di tengah banyaknya persoalan guru, baik masalah kesejahteraan maupun kompetensi.

“Kebijakan ini amat menguras energi sumber daya pendidikan. Artinya, negara telah zalim, sebab seharusnya negara berkewajiban menyediakan media (yakni kurikulum pendidikan sahih) agar guru dapat melaksanakan tugasnya dengan baik,” terangnya.

Ia juga meyakinkan bahwa kurikulum pendidikan sahih itu akan membantu banyak guru yang kebingungan tentang apa yang seharusnya mereka lakukan terhadap peserta didik di tengah kesibukan teknis yang dituntut oleh kurikulum baru tersebut, semisal aplikasi PMM.

“Dampaknya pun sudah amat terasa, yakni kualitas peserta didik ataupun output pendidikan saat ini. Karakter kepribadian islami siswa tidak terbentuk dengan benar. Perundungan dan kekerasan, termasuk kekerasan seksual, yang menimpa para pelajar dan dilakukan oleh pelajar, masih terus menjadi PR, bahkan kondisinya makin mengkhawatirkan,” sedihnya.

Di sisi lain, sambungnya, potensi mereka justru lebih terserap sebagai mesin penggerak industri kapitalis.

“Inilah kegagalan kurikulum selama ini yang hanya melahirkan buruh terdidik bagi kepentingan kapitalisme. Jika demikian, seharusnya bukan dengan menetapkan Kurikulum Merdeka menjadi Kurikulum Nasional, melainkan kurikulum saat ini harus diganti dengan kurikulum berbasis akidah Islam sebagai bagian dari sistem pendidikan Islam yang dijalankan dalam bingkai sistem Islam, yakni Khilafah,” pungkasnya(muslimahnews,7/4/24)

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak