Kejar Pajak, Negara Pemalak Rakyat?




Oleh : Silvy Anggra, M.M



Kebijakan Pajak Indonesia: Pengejaran Penunggak hingga Insentif Pajak bagi Pengusaha dan Kendaraan Listrik

Pada tahun 2024, pemerintah Indonesia mengambil berbagai langkah kebijakan pajak yang menimbulkan beragam reaksi di masyarakat. Langkah pertama adalah penindakan tegas terhadap penunggak pajak kendaraan bermotor. Berdasarkan laporan dari CNN Indonesia pada 9 Agustus 2024 dan Oto Detik, pemerintah menginstruksikan petugas pajak untuk mendatangi langsung rumah-rumah pemilik kendaraan yang belum membayar pajak. Data menunjukkan bahwa sekitar 96 juta kendaraan di Indonesia belum melunasi kewajiban pajak. Kebijakan ini dianggap penting untuk mengoptimalkan penerimaan pajak negara, terutama di tengah situasi ekonomi yang menantang. Pemerintah berharap pendekatan ini dapat meningkatkan kepatuhan pajak, yang menjadi sumber penting bagi pembiayaan negara.

Di sisi lain, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pada 21 Februari 2024 mengumumkan kebijakan pembebasan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk kendaraan listrik impor. Kebijakan ini menjadi bagian dari upaya Indonesia dalam mempercepat transisi ke energi ramah lingkungan. Dalam keterangannya, Sri Mulyani menegaskan bahwa insentif ini diharapkan dapat menarik lebih banyak konsumen ke pasar kendaraan listrik, meski pasar ini umumnya masih terbatas pada kalangan menengah ke atas karena tingginya harga kendaraan listrik. Kebijakan ini dipandang sebagai langkah strategis untuk mengurangi emisi karbon, serta mendukung agenda energi bersih Indonesia.

Selanjutnya, pemerintah melalui Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Kemenpan RB) pada Mei 2024 mengumumkan perpanjangan fasilitas tax holiday hingga akhir tahun 2025. Kebijakan ini memberikan keringanan atau pembebasan pajak bagi investor besar yang menanamkan modalnya di sektor-sektor penting, seperti energi baru terbarukan, manufaktur, dan infrastruktur. Kemenpan RB menyampaikan bahwa insentif ini dirancang untuk menarik lebih banyak investasi asing dan domestik, membuka lapangan kerja baru, serta memperkuat pertumbuhan sektor-sektor prioritas dalam ekonomi nasional.

Meski kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendorong investasi, perbedaan perlakuan pajak ini menimbulkan perdebatan di masyarakat. Sementara penunggak pajak kendaraan dari masyarakat umum diancam pengejaran, kalangan pengusaha besar dan pemilik kendaraan listrik justru menerima insentif yang mengurangi beban pajak mereka. Kebijakan ini menimbulkan pertanyaan publik mengenai kesetaraan dan keadilan dalam pelaksanaan pajak, khususnya bagi masyarakat yang merasa semakin terbebani dengan berbagai pajak yang harus mereka penuhi.

Kebijakan Pajak di Bawah Sistem Kapitalisme

Dalam sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan di Indonesia, pajak menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara. Namun, dalam praktiknya, sistem perpajakan di Indonesia sering kali menimbulkan ketimpangan sosial yang signifikan. Sebagai contoh, pengusaha besar dan korporasi sering kali mendapatkan berbagai insentif pajak atau bahkan menghindari kewajiban pajak melalui celah hukum dan regulasi yang ada. Sementara itu, masyarakat kelas menengah ke bawah harus menanggung beban pajak yang lebih besar, meskipun mereka sering kali mengalami kesulitan ekonomi. Hal ini diperjelas oleh Radlyah Hasan Jan dalam jurnalnya “Eksistensi Sistem Ekonomi Kapitalis di Indonesia”, yang menunjukkan bahwa ketergantungan Indonesia pada investasi asing semakin memperburuk kondisi perekonomian, yang juga dipengaruhi oleh fluktuasi pasar global.

Ketergantungan Indonesia pada investasi asing sebagai bagian dari penerapan sistem kapitalis ini semakin memperburuk kondisi perekonomian, yang juga dipengaruhi oleh fluktuasi pasar global. Dalam hal ini, pajak menjadi salah satu instrumen yang menguntungkan bagi kelompok-kelompok tertentu, namun berisiko memperburuk ketimpangan antara kelas kaya dan miskin. Dengan kata lain, meskipun pajak merupakan sumber penting bagi negara, beban pajak dalam sistem kapitalisme cenderung lebih berat bagi mereka yang tidak memiliki kekuatan ekonomi yang cukup untuk menghindari kewajiban pajak.

Dalam sistem kapitalisme, meskipun pajak berfungsi sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara, implementasinya sering kali tidak adil. Pajak lebih banyak dipungut dari lapisan masyarakat menengah ke bawah, sementara pengusaha dan korporasi besar mendapat keringanan atau bahkan bebas pajak, yang memperburuk ketimpangan ekonomi. Hal ini tercermin dari apa yang disampaikan oleh Radlyah Hasan Jan dalam “Eksistensi Sistem Ekonomi Kapitalis di Indonesia”

Secara keseluruhan, penerapan sistem ekonomi kapitalis di Indonesia telah menunjukkan kelemahan dalam sistem perpajakan yang menyebabkan ketimpangan ekonomi yang semakin lebar antara rakyat dan elit pengusaha. Sistem perpajakan dalam kapitalisme lebih membebani kelompok masyarakat yang lebih rendah, sementara pengusaha dan korporasi besar mendapat keringanan atau bahkan bebas pajak, yang memperburuk ketimpangan ekonomi.
 
Solusi Sistem Ekonomi Islam Berdasarkan Al-Qur'an dan Hadits

Dalam sistem ekonomi Islam, pendapatan negara yang berasal dari zakat, kharaaj, fai', dan pengelolaan sumber daya alam akan dikelola secara terstruktur dan transparan oleh sebuah lembaga yang dikenal dengan sebutan Baitul Mal. Baitul Mal adalah lembaga negara yang berfungsi sebagai pengelola harta milik umum, yang mencakup zakat, kharaaj, fai', dan pendapatan lainnya yang diperoleh negara. Lembaga ini tidak hanya bertugas untuk mengumpulkan dan mengelola pendapatan, tetapi juga untuk memastikan bahwa harta yang terkumpul digunakan untuk kepentingan umat secara adil.

Baitul Mal berfungsi di bawah kepemimpinan Khilafah, yaitu pemerintahan Islam yang memiliki kewajiban untuk menegakkan keadilan, kesejahteraan, dan keamanan bagi seluruh umat. Dalam sistem Khilafah, Baitul Mal menjadi lembaga yang sangat penting dalam mengelola pendapatan negara, baik dari sumber alam, zakat, kharaaj, maupun fai', dan mendistribusikannya untuk kebutuhan rakyat yang membutuhkan, seperti fakir miskin, pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur.

Syaikh Abdul Qadir Zalum dalam Nizamul Iqtisadi fil Islam menekankan bahwa pengelolaan sumber daya alam oleh Baitul Mal harus dilakukan dengan prinsip keadilan dan transparansi. Negara tidak boleh mengelola sumber daya alam dengan cara yang hanya menguntungkan segelintir orang atau kelompok, melainkan harus memastikan bahwa hasilnya digunakan untuk kepentingan umum. Prinsip ini juga didukung oleh hadis Nabi Muhammad SAW yang menyatakan bahwa “kaum Muslimin itu berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api (HR. Abu Dawud), yang menunjukkan bahwa kekayaan alam harus dikelola oleh negara untuk kesejahteraan umat.

Dengan adanya Baitul Mal, sumber pendapatan negara dalam Islam, termasuk dari zakat, kharaaj, fai', dan sumber daya alam, akan dikelola secara efektif dan adil. Negara Islam, melalui lembaga ini, berfungsi untuk mengurangi ketimpangan sosial dan memastikan distribusi kekayaan yang merata. Ini sangat berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, yang sering kali mengandalkan pajak yang membebani rakyat secara tidak adil.

Sumber daya alam yang dikelola oleh Baitul Mal juga sangat penting dalam menciptakan kesejahteraan umum. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah (2:267):  

"Wahai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan untuk kamu dari bumi."  

Ayat ini mengingatkan umat Islam bahwa hasil dari kekayaan alam adalah bagian dari tanggung jawab negara untuk dikelola demi kepentingan bersama.

Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani, dalam kitab Nizamul Iqtisadi fil Islam, menekankan bahwa pajak dalam Islam hanya diterapkan dalam kondisi darurat, seperti pada masa perang atau krisis keuangan negara. Menurutnya, Islam memberikan perhatian lebih besar pada zakat dan kharaj yang lebih adil dalam mendistribusikan kekayaan kepada masyarakat.

Pandangan ini didasarkan pada prinsip dalam Al-Qur'an yang menekankan perlunya redistribusi kekayaan untuk menciptakan kesejahteraan sosial yang merata. Allah SWT berfirman dalam Surah At-Taubah ayat 60 : 

"Sesungguhnya zakat itu hanya untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus zakat, mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang yang berhutang, untuk fi sabilillah (di jalan Allah), dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan; sebagai kewajiban dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (At-Taubah: 60)

Hal ini didukung dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, di mana Rasulullah SAW bersabda :

*مَن صَدَقَةٍ تَفَجَّرَتْ فِي رَحْمَتِهِ حَتَّى كَأَنَّ مَالًا مَّا جَاءَ فِي فَرَضٍ

"Barangsiapa memberi zakat harta, maka hartanya itu menjadi sumber rahmat bagi dirinya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Maka, dari sini terlihat bagaimana system kapitalisme tidak mampu menjamin kesejahteraan rakyatnya. Memang perlu system alternative lain yang mampu memberikan jaminan kesejahteraan rakyatnya yaitu system islam yang telah di rangkum dalam ekonomi islam. Kita tidak bisa selalu berharap kepada system yang nyata dan secara jelas memberikan kemudhorotan dan kedzaliman terhadap rakyatnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak