Ummu Hafidz : Pemerhati Keluarga
Hari ini menjadi guru bukan lagi dambaan banyak orang, pasalnya guru dalam sistem hari ini menghadapi dilema dalam mendidik siswa. Sebab,beberapa upaya dalam mendidik siswa sering disalah artikan sebagai tindak kekerasan terhadap anak, ini terjadi sebab ada UU perlindungan anak, sehingga guru rentan dikriminalisasi. Seperti yang telah dilansir Kompas.com, bahwa Guru yang melakukan tindakan kedisiplinan dalam koridor yang masih dalam batas wajar sesuai norma dan aturan yang berlaku bagi anak didiknya, justru dituduh melakukan tindak kejahatan. Kasus seorang guru honorer bernama Supriyani di Konawe, Sulawesi Tenggara misalnya, yang belakangan ini menjadi sorotan media. Supriyani dipenjara dengan tuduhan telah menganiaya seorang siswa kelas 1 SD yang belakangan diketahui merupakan anak seorang polisi. Bahkan dia diminta oleh kepala desa untuk membayar uang damai senilai Rp50 juta kepada orang tua murid yang mengaku anaknya dianiaya. Mirisnya, Ia mengaku gajinya hanya Rp300 ribu per bulan yang itu pun dibayarkan tiga bulan sekali sehingga tidak sanggup memenuhi permintaan tersebut, di samping dia juga bersikeras mengaku tidak bersalah. (MMC News, 10/11/2024).
Maraknya kasus serupa di berbagai daerah, menyebabkan para guru makin takut mendisiplinkan anak didiknya. Jika kondisi ini dibiarkan, akan berdampak pada munculnya fenomena “masa bodoh” dari para pendidik. Jika sudah demikian, akan sangat berpengaruh terhadap output pendidikan.
Di sisi lain, ada kesenjangan makna dan tujuan pendidikan antara orang tua, guru dan masyarakat juga negara karena masing-masing memiliki persepsi terhadap pendidikan anak. Maka muncul gesekan antara berbagai pihak termasuk langkah guru dalam mendidik anak di sekolah.
Unifah Rosyidi, Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), mengatakan jika saat ini tengah marak tidak kekerasan yang menimpa guru. Terlebih ada pula guru yang dikriminalisasi. Serta maraknya tindakan pelaporan dan kriminalisasi terhadap guru ketika menjalankan tugas keprofesiannya ini mendorong PGRI untuk mengusulkan adanya UU Perlindungan Guru. Agar kasus serupa tidak terulang maka harus ada pencegahan. (medcom.id, 1/11/2024).
Sebenarnya semua persoalan di atas lahir dari sistem kehidupan sekuler kapitalisme. Sebabnya, pertama, negara sekuler niscaya melahirkan UU yang lemah. UU produk sekuler hanya menyandarkan pada hasil akal pikiran manusia yang tentu saja lemah dan terbatas. Sebagai contohnya UU Perlindungan Anak dan UU Guru, yang pada akhirnya seolah-olah saling menegasikan. Alih-alih melindungi anak dan guru, UU tersebut malah berpotensi saling menyerang balik. Inilah hasil dari penerapan sistem pendidikan kapitalisme. Setiap sekolah berlomba-lomba meningkatkan citra melalui akredetasi yang hanya berorientasi pada nilai, tidak lagi membekali anak dengan aspek moral dan agama sehingga makin luntur adab mereka terhadap sosok pendidik.
Pada akhirnya guru tidak lagi memiliki kedudukan mulia, guru tidak lagi di hormati, sebab para siswa dan orangtua tidak satu pemahaman, kurangnya adab memuliakan guru, tidak lagi melihat betapa besarnya jasa seorang guru yang telah mendidik anak, sejatinya guru ingin menjadikan anak itu memiliki adab dan budi yang luhur, supaya negara ini memiliki orang-orang yang dapat membangun negeri menjadi lebih baik lewat generasi muda, namun ini hanya khayalan semata di sistem pendidikan kapitalisme, mereka di cetak hanya untuk urusan duniawi, tanpa memikirkan adab dan akhlaq dari masing-masing generasi, banyak terjadi tawuran, narkoba, sampai pada tindak kriminal yang dilakukan para siswa.
Jika berkaca pada Pendidikan Islam yang terbukti memuliakan guru dan memberikan mampu memberikan kesejahteraan kepada para pendidik dengan sistem penggajian yang terbaik, sehingga guru dapat menjalankan amanahnya dengan baik. Maka sudah sepatutnya kita berusaha menerapkan Sistem Pendidikan yang mencetak generasi beradab dan memberikan perlakuan yang baik terhadap guru. Sebab guru memegang peran penting, bahkan kata-kata guru akan menjadi pedoman dalam memimpin sebuah peradaban, nasiha guru merupakan bentuk kasih sayang dan cinta nya pada muridnya. Dalam sejarah pendidikan Islam, pada masa kejayaan Shalahuddin Al Ayyubi, Islam sangat memuliakan profesi guru. Upah yang diterima guru kala itu sangat besar, yaitu 11-40 dinar atau senilai 42 juta-153 juta jika di rupiahkan. Serta ada istilah guru honorer, semua guru adalah sama. Dengan begitu kesejahteraan guru akan merata sehingga para guru dapat bekerja secara optimal.
Demikian pula dengan orang tua siswa. Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga adab kepada guru. Salah satu adab yang harus dilakukan anak didik beserta orang tuanya kepada guru adalah tidak mencari-cari kesalahan guru tersebut. Allah Swt. berfirman, “Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al-Hujurat [49]: 12).
Para guru dalam sistem kehidupan Islam akan berlomba-lomba menjadi orang-orang terbaik. Bukan hanya mengajar seadanya hanya formalitas belaka. Motivasi utama mereka dalam mengajar adalah mendapatkan pahala sebanyak-banyaknya. Rasulullah saw. bersabda, “Apabila manusia meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak yang saleh yang mendoakannya.” (HR Muslim).
Dalam Islam, seseorang akan menjadi guru yang berkualitas dan fokus memberikan pengajaran terbaiknya pada setiap siswanya. Kualitas guru yang demikian itu sulit diraih dalam sistem kehidupan sekuler kapitalisme yang mengaitkan aktivitas pengajarannya pada nilai materi.
Perlindungan terhadap guru dan proses belajar mengajar yang optimal tidak bisa dilepaskan dari sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam. Islam mewajibkan negara sebagai pihak yang mengurusi seluruh kebutuhan hidup manusia, tidak terkecuali kebutuhan pendidikan. Negara akan serius mengatur urusan pendidikan rakyatnya agar hak berpendidikan diberikan kepada seluruh rakyatnya secara merata dan berkualitas. Tidak hanya guru, siswa, dan orang tua yang berusaha mewujudkan tujuan pendidikan, negara sebagai penanggung jawab urusan umat akan menjaga agar tujuan pendidikan Islam terwujud dengan baik. Hal ini harus didukung melalui peran Negara dalam memahamkan semua pihak akan sistem pendidikan Islam. Hal ini salah satunya dengan menetapkan kurikulum pendidikan yang berlandaskan akidah Islam. Mata pelajaran dan metodologi penyampaiannya seluruhnya disusun tanpa menyimpang sedikit pun dari asas akidah. Optimalisasi guru dalam mengajar akan mewujudkan generasi yang berkepribadian Islam dan siap membangun peradaban gemilang. Oleh karena itu, penerapan Islam secara kafah urgen dilakukan demi terciptanya perlindungan hakiki bagi para guru dan siswa. Wallahualam bishshawab.
Tags
Opini