Aktivis Dakwah
Polda Metro Jaya telah menangkap 11 orang terkait judi online yang melibatkan beberapa oknum pegawai Kementerian Komunikasi dan Digital (Kemkomdigi) RI. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Ade Ary Syam Indradi mengatakan, dari 11 orang tersangka, ada beberapa staf ahli di Kemkomdigi yang ikut jadi tersangka.
Terkait adanya oknum pegawai yang terlibat dalam kasus judi online, Menkomdigi RI, Meutya Hafid buka suara. Dalam pernyataan resmi yang disiarkan melalui akun media sosial resmi Kemkomdigi, pihaknya berkomitmen mendukung penuh arahan Presiden Prabowo Subianto untuk memberantas segala bentuk aktivitas ilegal, termasuk judi online (viva.co.id, 01-11-2024)
Memalukan
Meskipun Pemerintah mengklaim telah berkomitmen mengupayakan segala langkah-langkah pencegahan judi online, namun Nyatanya di lapangan justru memperlihatkan kondisi yang sebaliknya. Berdasarkan catatan PPATK (26-7-2024), ada 168 juta transaksi judi online dengan total akumulasi perputaran dana mencapai Rp327 triliun sepanjang 2023. Secara total, akumulasi perputaran dana transaksi judi online mencapai Rp517 triliun sejak 2017.
PPATK juga mencatat pemain judi online di Indonesia sebanyak empat juta orang. Mereka tidak hanya berasal dari kalangan usia dewasa, tetapi juga anak-anak. Untuk pelaku dewasa, mereka berasal dari beragam latar belakang profesi, mulai dari polisi, tentara, wartawan, hingga PNS. Sedangkan untuk kalangan anak-anak, dalam kurun waktu 2017-2023, jumlah anak yang terpapar judol meningkat hingga 300%.
Menurut data demografi, pemain judol yang berusia di bawah 10 tahun mencapai 2% dari pemain, dengan jumlah 80.000 orang. Sebaran pemain usia 10—20 tahun sebanyak 11% atau kurang lebih 440.000 orang, kemudian usia 21—30 tahun sebanyak 13% atau 520.000 orang. Pemain usia 30—50 tahun sebesar 40% atau 1.640.000 orang dan usia di atas 50 tahun sebanyak 34% dengan jumlah 1.350.000 orang (ppatk.go.id, 26-07-2024)
Kenapa Bisa Terjadi?
Sungguh miris, Indonesia yang secara de fakto merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia (mencapai 87,08% dari total populasi) ternyata juga menjadi “surga” bagi pemain judi online.
Mengapa hal demikian bisa terjadi? Sebab hampir di seluruh dunia saat ini, termasuk di Indonesia diterapkan sistem demokrasi yang lahir dari asas sekularisme, yaitu paham dikotomi antara agama dengan kehidupan umum. Sekularisme meniscayakan pembuat aturan ada di tangan manusia. Seluruh aturan dan hukum “digodok” dan disahkan oleh manusia.
Sekularisme menyebabkan fashlud-dinil anil-hayah (pemisahan agama dengan kehidupan) yang tentu berefek pada fashlud-dini anid-daulah (pemisahan aturan agama dari bernegara), akhirnya agama tidak boleh turut andil untuk mengatur negara. Hal tersebut berimplikasi pada bagaimana negara mengatur aktivitas kemaksiatan, salah satunya judi online.
Dalam negeri berasas sekulerisme, judi baru akan diberantas ketika sudah memakan banyak korban dan telah merugikan banyak pihak, atau bahkan malah bisa menjadi aktivitas yang dilegalkan sebagaimana di Amerika atau negara Eropa, selama penyelenggara judi online patuh pada ketentuan dan aturan yang berlaku dan ikut serta memberi pemasukan pada negara. Semua aktivitas kemaksiatan yang telah dilarang di dalam agama Islam, boleh jadi akan berubah ketentuannya di alam sekularisme jika aktivitas kemaksiatan itu mendatangkan banyak keuntungan.
Butuh Solusi Menyeluruh
Islam bukanlah agama ritual saja sebagaimana agama lain di Indonesia. Islam merupakan agama sekaligus way of life (pedoman hidup) yang mengatur setiap jengkal kehidupan, termasuk dalam urusan bernegara.
Di dalam Islam, judi jelas termasuk ke dalam dosa besar yang wajib diberangus hingga ke akarnya. Allah SWT berfirman yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. Sesungguhnya setan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu dan menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang maka berhentilah kamu (dari mengerjakan itu).” (TQS Al-Maidah 5: 90-91).
Ayat di atas Allah Taala memosisikan judi sebagai perbuatan setan, sedangkan setan hanya melakukan kejahatan dan keburukan. Oleh karena itu negara berasas Islam jelas tidak diam saja melihat kemaksiatan seperti judi merajalela.
Islam mengharamkan judi dan menutup celah terjadinya judi dengan mekanisme tiga pilar, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan penerapan sistem hukum yang tegas dan menjerakan oleh negara.
Ketakwaan individu: Islam memerintahkan seluruh muslim untuk wajib mempelajari Islam dan mengkaji Islam secara intensif. Oleh karena itu negara akan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam. Sistem pendidikan Islam yang diterapkan oleh negara membentuk generasi yang taat dan takut pada Allah sehingga terwujud generasi yang berakhlaqul karimah yang senantiasa menjunjung tinggi nilai taat agama di manapun ia berada.
Kontrol masyarakat: jika di alam sekularisme masyarakat cenderung “masa bodoh” dan apatis terhadap kejahatan yang terjadi di sekitarnya bahkan bisa menjadi pelaku kejahatan, maka di dalam Islam negara menyerukan amar ma’ruf nahi munkar sebagai bagian dari “nafas” dalam kehidupan bermasyarakat. Budaya amar ma’ruf nahi munkar akan sangat kental di dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah, sehingga menjadi konsensus (kesepakatan bersama) di antara masyarakat bahwa judi wajib diberantas sehingga judi tidak akan sempat merebak dan merajalela di masyarakat.
Penerapan sistem Islam oleh negara: ini menjadi bagian yang paling penting, karena ketakwaan individu pun butuh support system (dukungan) dari negara. Jika di alam sekularisme ketakwaan individu diserahkan kepada masing-masing individu, maka dalam Islam ketakwaan warga negara menjadi tanggungjawab negara. Rasulullah Saw. bersabda: “Imam (pemimpin) itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Al Bukhari) .
Maka tentu menjadi kewajiban negara untuk memastikan kebutuhan dasar warga negara tercukupi dan memastikan aqidah warga negaranya bersih dari hal-hal berbau kemaksiatan, salah satunya judi.
Negara akan memegang kendali penuh otoritas kedaulatan digital. Karena dunia digital dalam kendali penuh negara, maka negara akan menutup celah terjadinya judi online. Negara juga akan melarang dan tidak memberikan hak izin membangun bangunan yang digunakan untuk aktivitas kemaksiatan, contohnya seperti kasino, lokalisasi, diskotek, dan lain-lain.
Negara juga akan menerapkan sanksi yang memberi efek jera bagi para pelaku kemaksiatan. Di dalam Islam, tindak pidana perjudian di dalam hukum Islam disertakan dengan sanksi khamr, sanksinya berupa 40 kali cambukan, bahkan ada yang berpendapat sampai 80 kali cambukan. Wallahu a’lam bish-showab. [ry].