Ironi Nasib Buruh dalam Sistem Kapitalis.






Oleh: Eka Ummu Hamzah
(Pemerhati Publik)




Upah minimum buruh setiap tahunnya masih menjadi polemik. Bagaimana tidak, kenaikannya tidak berpihak kepada nasib kaum buruh. Seperti pada tahun 2025 mendatang, menurut Ketua Ketua Komite Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia Subchan Gatot menyamapaikan kenaikan upah minimum tidak mencapai 5% tapi hanya sebesar 3,5%. (cnbcindosia.com. 07 November 2024).


Ketetapan upah minimum ini setidaknya tetap menjadi beban bagi kaum buruh, pasalnya rendahnya kenaikan upah ini tidak mampu menutupi biaya hidup yang semakin mahal. Belum lagi berbagai potongan gaji buruh seperti iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan serta kewajiban iuran Tapera, semakin memperkecil hasil akhir dari gaji yang diterima.


Disisi lain, para pengusaha juga merasa keberatan untuk menaikan upah yang terlalu tinggi. Pasalnya, bagi para pengusaha, kanaikan upah seberapapun besarnya, dianggap sebagai tambahan beban yang beresiko bagi bisnis dan perusahaan mereka. Jika upah minimum ini dinaikan maka perusahaan akan siasat untuk menekan biaya yang terlalu tinggi pada bisnis mereka. Sehingga ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja alias PHK.


Nasib buruh tidak akan terjamin dengan baik dalam sistem sekuler-kapitalis. Pasalnya kaum buruh merupakan salah satu komponen dari produksi sebuah perusahaan, sehingga perusahaan memiliki kuasa untuk menekan pertambahan buruh. Apalagi dengan adanya kenaikan upah buruh. Ini berdampak pada tingginya angka pengangguran ditengah masyarakat. Sedangkan negara yang berasaskan sistem sekuler-kapitalis cenderung berpihak kepada pengusaha dan oligarki. 


Berbeda halnya jika sistem Islam yang diterapkan. Negara hadir untuk mengurusi rakyat dan memastikan bahwa rakyat yang hidup dibawah kepemimpinannya dalam keadaan sejahtera, termasuk kaum buruh. 


Dalam Islam akad pengupahan (ijarah) antara pekerja dan pengusaha diatur sesuai dengan syari'at Islam, mulai dari penerapan jumlah upah kerja, jenis pekerjaan, dan waktu kerja adalah akad yang harus sesuai dengan syari'at Islam dan keridhaan kedua belah pihak. Tidak boleh ada yang merasa dipaksa atau dirugikan.



Pengupahan dalam Islam tidak terlepas prinsip dasar kegiatan ekonomi (muamalah) yakni asas keadilan dan kesejahteraan. Bagi pengusaha yang mengontrak pekerja, harus ditentukan jenis pekerjaan sekaligus waktu, upah, dan tenganya. Jenis pekerjaannya harus jelas sehingga tidak kabur, sebab transaksi ijarah yang masih kabur itu hukumnya adalah fasad (rusak). Sebagaimana sabda Rasulullah saw: " Apabila salah seorang di antara kalian mengontrak (tenaga) seorang pekerja, maka hendaknya diberitahukan kepadanya upah."( HR. Ad-Duruquthni).


Perusahaanpun harus membayar upah pekerja tepat waktu tanpa menundanya, karena menunda-nunda pembayaran upah adalah bentuk kezaliman. Dari Abdullah bin Umar iya berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda: "Berikanlah upah kepada pekerja sebelum kering keringatnya." (HR. Ibnu Majah dan Ath-Thabari).


Jika terjadi perselisihan antara pekerja dan pengusaha terkait upah, pakar (khubara') yang dipilih kedua belah pihak akan menentukan upah sepadan. Jika masih bersengketa, negaralah  yang akan memiliki pakar tersebut dan memaksa kedua belah pihak untuk mengikuti keputusan pakar tersebut sesuai dengan syari'at Islam.



Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak