Imbauan Kemenag kepada Pelaku Usaha untuk Segera Mengatasi Sertifikasi Halal, Efektifkah?




oleh : Noviana Husnul Khotimah



Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kemenag RI menggelar Rapat Koordinasi Pengawas Jaminan Produk Halal (BPJH) di seluruh daerah se-Indonesia, (Mattanews.co.palembang, senin14/10/2024). Kegiatan rapat koordinasi tersebut juga dilakukan di wilayah SumSel yaitu diadakan di aula MAN 3 Palembang. Dalam rapat tersebut membahas semua makanan dan minuman yang di jual oleh para pedagang selaku pelaku usaha wajib sudah memiliki sertifikat halal paling lambat 17 Oktober 2024. Dan jika pada tanggal tersebut belum memiliki sertifikat halal maka diancam tidak boleh untuk memasarkan ataupun menjual barang dagangannya. Sesuai dengan peraturan pemerintah berdasarkan Undang-undang no 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan Peraturan Pemerintah ( PP) no 39 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal memberikan penahapan bagi produk-produk yang wajib bersertifikat halal.

Tentu untuk pembuatan atau penerbitan sertifikat halal tentulah tidak murah dan biaya tersebut ditanggung oleh pelaku usaha serta ribetnya administrasi dalam kepengurusan. Seperti contoh biaya permohonan sertifikat halal barang dan jasa milik UMK adalah Rp300.000,00 ditambah biaya pemeriksaan kehalalan produk UMK oleh LPH maksimal sebesar Rp350.000,00. Sehingga total biayanya adalah Rp650.000,00.
Biaya tersebut di luar biaya uji laboratorium dan di luar akomodasi dan/atau transportasi pemeriksaan lapangan.

Di saat harga kebutuhan hidup semakin tinggi, pengangguran meningkat yang juga berakibat banyaknya UMKM yang akhirnya gulung tikar karena tak mampu menghadapi deflasi dan inflasi yang tengah melanda Indonesia. Ditambah peraturan wajibnya membuat sertifikasi halal yang juga membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Fenomenalnya Masih Beredar Produk Haram Berlabel Halal

Di negara Indonesia yang kita tempati jumlah penduduk mayoritas adalah muslim 87,08% yaitu 245.973.915 jiwa. Tentu yang menjadi tolak ukur dalam mengkonsumsi makanan, minuman, kosmetik, obat-obatan dan lain-lain harusnya produk yang halal. Maka rakyat Indonesia pun berhak untuk di lindungi melalui Undang-Undang Perlindungan Konsumen terkait Kehalalan suatu produk.

Namun, yang mirisnya masih saja banyak produk yang beredar ketidakjelasan halal dan haramnya. Serta ketidaktahuan konsumen apakah halal untuk di konsumsi yang dianggap lumrah dan biasa.
Sempat viral, ada miras jenis wiski, tuak dan beer yang berlabel halal. Dan juga pernah viral makanan serta minuman yang disediakan oleh pihak rumah makanan dan minuman yang mengandung alkohol pada saat proses pencampuran pemasakan tersebut, mereka berdalih bahwa hal itu tidak melebihi kadar 0,5% serta tidak memabukkan.

Dalam wacana setiap pelaku usaha wajib memiliki sertifikasi halal memang perlu diapresiasi oleh pengusaha muslim agar produk yang diperjualbelikan jelas-jelas kehalalannya. Tetapi biaya tersebut di bebankan oleh para pelaku usaha kecil, menengah ataupun atas. Sehingga tidak sedikit yang akhirnya memberatkan dan proses administrasi yang cukup ribet. Pada akhirnya, ada juga sebagian pedagang yang akhirnya kucing-kucingan memasarkan produk mereka.

Ya, inilah ciri khas dari sebuah sistem kapitalis yang mana rakyat harus dibebankan segala macam yang dimulai dari pajak-pajak bahkan biaya segala macam kepengurusan. Bahkan sudah menjadi rahasia umum ketika ingin dipermudah dan dipercepat dalam kepengurusannya rakyat harus menambah biaya tersebut.

Lembaga milik negara pun terkadang hanya memberi legitimasi hukum dan mempermudah penerbitan status halal demi mendapatkan keuntungan. Tanpa memeriksa secara detail dan meneliti produk-produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha.

Bahkan hal yang biasa di sistem yang diterapkan selain hukum Allah yaitu kapitalisme-sekulerisme yang salah satunya menjamin kebebasan kepemilikan dan bertingkah laku. Maka tak ayal banyak juga para pedagang pun menjual makanan dan minuman yang haram dan sering dijumpai sekitaran masyarakat seperti penggunaan angciu, minyak babi, ataupun darah yang dibekukan dan melabeli sendiri produk mereka dengan stempel halal. Bagi masyarakat awam ketika sudah berlabel halal maka maka tanpa ragu disantap.

Peranan Negara Menjaga dan Menjamin Sampai Urusan Halal dan Haram yang Dikonsumsi

Sebagai seorang muslim memang perkara yang penting terkait apapun yang dikonsumsi baik itu makanan, minuman, obat-obatan, kosmetik dan lain-lain harus jelas kehalalannya karena standar perbuatan bagi muslim adalah halal dan haram bentuk ketakwaan sebagai hamba Allah yang bertaqwa. 

Karena makanan ataupun minuman yang dikonsumsi  juga diperintahkan oleh Allah yaitu halal dan thoyyiban.  Sahabat Sahl ra. berkata, “Siapa saja yang makan makanan yang haram, maka bermaksiatlah anggota tubuhnya, mau tidak mau.” (Lihat: Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum al-Din, Jilid 2, hlm. 91).

Untuk itu, diperlukan dipahami bahwa makanan yang haram cendurung mendorong untuk membuat muslim melakukan kemaksiatan.
Rasulullah saw. juga bersabda, “Wahai Sa‘ad, perbaikilah makananmu, niscaya doamu mustajab. Demi Zat yang menggenggam jiwa Muhammad, sesungguhnya seorang hamba yang memasukkan satu suap makanan yang haram ke dalam perutnya, maka tidak diterima amalnya selama 40 hari.” (Lihat: Sulaiman bin Ahmad, Al-Mu‘jam al-Ausath, Jilid 6, hlm. 310).

Jadi, sangat penting sekali bagi muslim untuk senantiasa menjaga apa yang dikonsumsi bukan sekedar memenuhi nafsunya tetapi merupakan perkara ibadah yang disyariatkan oleh Allah SWT dan bernilai pahala yang besar disisiNya.
Untuk itu, Islam adalah agama yang kamilan (sempurna) mengatur segala urusan manusia tidak hanya sekedar ibadah mahdhoh (ritual) tapi juga mencakup seluruh aspek dari urusan ibadah kepada Allah, makanan dan minuman bahkan urusan negara. Yang mana aturan-aturan itu tentunya bukan buatan manusia tetapi langsung berasal dari Sang Khaliq sekaligus Mudabbir yang mengatur seluruh alam semesta ini.

Sistem yang sempurna (kaffah) ini hanya bisa diterapkan dan dijalankan dalam sistem pemerintahan Islam yaitu Kekhilafahan Islam, termasuk memastikan semua yang dikonsumsi oleh masyarakat adalah produk yang halal.
Disisi lain, didalam sistem pendidikan Islam akan menanamkan dan mendidik warga negara muslim dengan aqidah Islam sejak dini, sehingga salah satunya tertanam bahwa pentingnya mengkonsumsi produk yang halalan thoyyiban. Dan masyarakatpun paham akan membedakan produk halal dan haram dengan jelas.

Di sisi ekonomi, negara menjamin kesejahteraan rakyat dengan terpenuhinya segala kebutuhan rakyat. Dan Islam membolehkan jual beli dan melakukan produksi, namun melarang proses itu jika berasal dari zat yang diharamkan. Untuk  Negara juga menunjuk langsung petugas ahli yaitu ulama yang memiliki keahlian dalam runtutan produksi, bahan-bahan yang digunakan hingga adanya reaksi biokimia yang terjadi dalam pengolahan makanan dan minuman. Negara pun memiliki peranan penting dalam hal peredaran, pendistribusian, segala sesuatu yang diharamkan secara syari'at Islam.
Sistem sanksi Islam juga bersifat tegas. Para kadi akan menghukum siapa pun yang melanggar. Apabila ada bahan makanan baru, Islam menyerahkan pada mujtahid untuk menggali hukumnya agar umat Islam tidak bingung dalam menentukan sikap. 

Selain itu, dengan penerapan hukum Islam secara kaffah, negara akan menjamin makanan yang beredar dipastikan halal sehingga umat pun pada akhirnya tidak memerlukan sertifikasi halal.
Sayangnya, kebijakan macam ini tidak akan pernah di jalankan dalam sistem yang sekuler. Kebijakan ini akan terselesaikan jika sistem Islam secara sempurna diterapkan.

Wallahu alam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak