Oleh : Ummu Aqeela
Ketua Umum Pengurus Besar (PB) Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI), Unifah Rosyidi mengatakan jika saat ini tengah marak tidak kekerasan yang menimpa guru. Bahkan ada pula guru yang dikriminalisasi.
Maraknya tindakan pelaporan dan kriminalisasi terhadap guru ketika menjalankan tugas keprofesiannya ini mendorong PGRI untuk mengusulkan adanya UU Perlindungan Guru. Ini dilakukan untuk mencegah kasus serupa terulang kembali.
"Kami akan bersurat ke DPR dan Kemendikdasmen untuk mendorong komisi X DPR menggodok UU Perlindungan Guru," kata Unifah melalui unggahan instagram pbpgri_official, dikutip Jumat 1 November 2024.
Inilah resiko yang kita tanggung ketika pendidikan terpisah dengan asas Islam, pendidikan tidak menjadikan Islam sebagai jalan aturan, apa yang kita harapkan ? Pendidikan semakin baik? Keharmonisan pendidik, orang tua dan anak didik? Perhatian penguasa? itu tidak akan terjadi selama sistemnya bukan sistem yang tidak menjadikan Al-Qur'an dan Sunah sebagai aturan main hidupnya.
Dalam sejarah umat Islam, guru begitu dihormati keberadaannya. Pada masa keemasan misalnya, ahli Qur’an, orang-orang yang berlomba-lomba melakukan kebaikan dan menjaga diri dari larangan-larangan Allah sejak masa Rasulullah hingga sekarang melebihi apa yang ada di zaman Harun Ar-Rasyid.
Pada masanya, anak kecil usia 8 tahun hafal Al Quran atau anak usia 11 tahun menguasai fiqih dan ilmu lain, meriwayatkan hadis, serta berdialog dengan guru sudah menjadi hal lumrah. Apa rahasianya? Ini tidak lain karena kepedulian Khalifah Harun kepada ilmu, guru serta murid sejak dini. Untuk menggapai tujuan itu, banyak sekali dana yang dikeluarkan olehnya. Marwah guru di mata beliau sangat agung sehingga diperlakukan dengan rasa hormat dan martabat tinggi.
Contoh lain yang tak kalah menarik, terjadi pada masa Shalahuddin Al-Ayyubi rahimahullah. Guru begitu dihormati dan dimuliakan. Syekh Najmuddin Al-Khabusyani rahimahullah misalnya, yang menjadi guru di madrasah al-Shalāhiyyah, setiap bulannya digaji 40 dinar dan 10 dinar untuk mengawasi waqaf madrasah. Di samping itu juga 60 liter roti tiap harinya dan air minum segar dari sungai nil.
Selain negara yang begitu hormat kepada guru, orang tua pun demikian juga melakukan penghormatan tinggi kepada mereka. Pada masa keemasan Islam, mereka sangat antusias menyekolahkan anak-anak mereka kepada para guru. Mereka memberikan dukungan dan membiasakan untuk mengajarkan anak-anak kepada mereka.
Dalam sistem Islam Kaffah, tingginya penghargaan yang diberikan negara pada SDM di bidang pendidikan menjadikan ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat di masa keemasan Islam saat itu. Bahkan, karya tulis yang ada saat itu akan ditimbang beratnya kemudian digantikan dengan emas, tanpa memandang status pegawai negeri atau bukan, selama tugasnya mendidik generasi gemilang terlaksana.
Sungguh semua kisah indah dan kemuliaan yang tinggi kepada para guru itu tidak akan mampu terlaksana diatas sistem sekuleris kapitalisme, sistem yang hanya berpihak pada keuntungan duniawi belaka. Sistem yang menguntungan para pengusaha dan penguasa namun abai akan kebutuhan rakyatnya.
Para guru sebagai satu ujung tombak pencetak generasi ini membutuhkan sistem yang shohih. Sistem yang memuliakan posisi dan perannya. Sistem dan mendukung penuh atas dedikasinya. Sehingga kesejahteraan dan marwahnya terjaga dengan sempurna. Sistem ini adalah Islam Kaffah dalam naungan Daulah Islamiyah.
Wallahu’alam bishshowab.