Oleh: Astoeti Sutisno
(Ibu rumah tangga)
Pendahuluan
Sejatinya guru ya di kelas, mendampingi siswa belajar berada ditengah-tengah untuk mengarahkan, motivasi hidup dan masih banyak hal lain. Namun berbeda dengan penerapan yang berorientasi kapitalis, semua kalangan harus bisa mencari untung, menghasilkan uang lebih/tambahan termasuk guru. Guru dituntut untuk terus berproduksi, kerahkan segala tenaga nya untuk bisa setor ke badan pengelola daerah agar berputar bagai roda bisnis seperti biasanya. Ya jantung sekolah, harus terus, menciptakan pyojek/karya, agar bisa dipandang "baik" oleh semua kalangan. Lalu bagaimana nasib siswa, yang gurunya sibuk dengan pesanan industri, deadline permintaan swasta atau open PO individu.
Begitu waktu terus bergulir, pada saatnya kelak ujian ala kadarnya nilai pun hanya tembakan semata. Miris memang namun ini lah kenyataan, alih-alih guru sebagai contoh figur yang patut di tiru dan masih banyak topeng lain. Sebagai perlindungan dengan mengkambing hitamkan peraturan atau berdasarkan surat edaran. Lucu bangetkan di negara entah berantah, yang tidak didasari oleh nurani, namun mengejar keuntungan semata.
Beban guru semakin bertambah banyak, bukan lagi bagaimana siswa tuntas KKM (Kriteria Ketercapaian Minumum) namun lebih luas yakni harus setor/membayar setiap bulan nya lebih tinggi dibanding modal atau paling sedikit sama dengan yang sudah di keluarkan ke pihak Badan penyelenggara sekolah-sekolah BLUD (Badan Layanan Umum Daerah). Bahkan akhir-akhir ini, smk dki telah meluncurkan platform market place (cirikhas mentri pendidiksn zaman covid, serba online). Diberlakukan untuk semua sekolah smk baik negeri maupun swasta harus mengirimkan produk, input dalam platform tsb. Belum lagi, sekolah harus punya LMS (Learning Manajemen Sistem) sendiri yang pastinya guru tambah sibuk, sibuk dan sibuk.
Ditambah PMM yang belum ada ujung nya mau kemana, menunggu kebijakan baru "ganti mentri ganti aturan" berharap dihapus. Oh iya, termasuk Mgmp-mgmp (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) bila ingin eksis harus punya badan usaha karena tidak ada bantuan/kucuran dana dari instasi manapun, atau buat proposal masuk ke perusahaan-perusahaan ketika ingin mengadakan kegiatan minimal ada snack lah dan masih banyak hal yang senada (saya ambil istilahnya tuh) "tidak ada makan gratis" hahaha.
Di sinilah seharusnya negara/pemerintah berperan, bagaimana mensejahterakan rakyat, adil dan tidak mempersulit rakyat nya. Roda keprofesionalan berjalan sesuai jalur, yang sudah menjadi ketetapan. Batasan mana guru dan pedagang jelas, sehingga tidak semua ditangani/dipegang.
Pandangan Islam
Islam mempunyai metode pengajaran yang khas, dimana menerapkan dengan istilah talaqqiyan fikriyyan melibatkan fakta dan pengindraan. Guru, dokter, peneliti dan pedagang atau berprofesi apapun harus di dasarkan atas ke imanan dan ketakwaan kepada Allah Ta'ala bukan semata-mata mencari materi sebanyak-banyak nya. Sadar akan ada penghisaban kelak, bagaimana semua akan dimintai pertanggung jawabannya. Kebijakan para pejabat pun harus mempertimbangkan kapasitas guru, dokter, pedagang atau yang lain nya punya porsi masing-masing. Tidak disama ratakan, semua guru bisa jualan atau mampu berdagang dengan meninggalkan tugas utama nya mengajar. Atau nanti nya guru pun harus bisa jadi dokter? Aneh banget lama-lama kebijakan negara antah brantah.
Salah satu tugas seorang guru ialah membimbing, mendidik, dan mengarahkan peserta didik untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah SWT. Bukan berjualan atau memproduksi sebesar-besar nya, bermain dikancah perbisnisan. Kemudian bagaimana dengan fungsi industri, maka ada persaingan ketat disitu, saling menghalalkan segala cara agar bisa eksis di hati masyarakat untuk terus menggunakan produk tsb. Belum lagi negara lain yang terus merongrong, menawarkan harga serendah-rendahnya dengan kwalitas yang bagus misalnya, dan lain hal masuk dengan jalan ilegal. Saling banting harga tanpa lagi melihat kwalitas dengan slogan "yang penting murah dapet untung banyak". Masalah ke halalan nya hanya semu belaka, label yang bisa diperjual belikan, kondisi susah semua serba mahal dan masih banyak alasan lain. Terhimpitnya seperti ini lah yang membuat ummat semakin jauh dari sang kholiq, merasa Allah SWT tidak menolong, tidak mendengar dll. Menggaungkan aturan islam tidak sesuai HAM, diskriminalisasi para ulama yang mencoba istiqomah, dikerdilkan ajaran baginda Rosul Muhammad saw, menganggap kejam dan masih banyak persepsi salah.
Seharusnya selaku ummat muslim tahu, bahwa kita lah yang membutuhkan sang Robbi. Maha pengasih, maha penyayang, lagi maha benar Allah atas segala firmannya, aaamiiin Allahuma amiiin. Namun apa yang terjadi, ummat sudah tidak perduli atas hukum Allah Ta'ala. Diajak ke tempat kajian tidak mau, ngaji pun enggan hanya sibuk dengan hal duniawi. Lupa siapa pemilik manusia, dunia dan se isi nya. Miris memang ya, begitulah nafsu cenderung ke hal-hal negatif.
Hikmah
Wahai insan yang masih memiliki nurani, adakah keinginan untuk meluruskan niat kembali pada jalan kebenaran/haq. Diawali dengan kejujuran, mulai menyadari bahwa semua itu berakar pada sistem yang salah. Dimana sistem yang sekarang merusak kodrat, tidak lagi mempunyai hati. Jalan keragu-raguan bahkan haram pun dilalui demi isi perut, sosialita, eksistensi dll. Bahkan dalam Al-Qur'an jelas ".. lindungilah keluargamu dari api neraka...". Ingatlah ketika bagaimana Allah Ta'ala telah mencukupkan kita, menghidupkan yang sebelumnya mati, gelap menjadi terang, tandus kemudian subur, dan lain sebagainya.
Kita diberi Allah SWT akal, bagaimana bisa mencermati lingkungan untuk belajar dari alam. Mentadaburi Al Qur'an menelaah kejadian, analisislah keadaan bisa membedakan mana yang haq dan bathil. Kesempurnaan manusia ada pada usia baligh, agar dapar berfikir dan menggunakan panca indera. Wallahu 'alam.
Tags
Opini