Penulis: Fauziah Nabihah
Aktivis Mahasiswa
Di Kalimantan Tengah, sejumlah aktivis lingkungan melaksanakan aksi atas gagalnya pelaksanaan proyek food estate singkong karena menyebabkan kerusakan lingkungan di wilayah setempat (kalteng.tribunnews.com, 21/10/2024).
Pemerintah seharusnya menyadari bahwa konsep ketahanan pangan tidak akan bisa dicapai apabila konsep yang digunakan justru merusak ekosistem hutan dan gambut yang ada di Indonesia, khususnya di Kalteng.
Di sisi lain, tepatnya di Merauke, penguasaan lahan seluas 2,29 juta hektare. Target di Merauke ini sama luas dengan monopoli tanah oleh Perhutani di seluruh Pulau Jawa. Selama ini, penguasaan tanah tersebut banyak melibatkan perampasan tanah, menyebabkan konflik agraria dengan petani, memperparah ketimpangan tanah, dan pemiskinan struktural di pedesaan di Jawa. (Betahita.id, 16/10/2024).
Menurut CELIOS, hasil implementasi PSN di era Presiden Jokowi kurang banyak dirasakan masyarakat luas. Tujuan dari PSN untuk memperbesar industrialisasi dan pekerjaan di sektor formal, yang terjadi malah sebaliknya. (nasional.tempo.co, 05/11/2024)
Food estate merupakan salah satu Proyek Strategis Nasional (PSN) sebagai upaya peningkatan kualitas pertanian untuk menghadapi krisis pangan. Namun, realita yang ada menunjukkan bahwa proyek ini sejak awal pembangunan selalu gagal dan sukses memanen masalah, serta menghabiskan anggaran. Sudah lah pembangunan lumbung pangan tidak terwujud, yang terjadi justru proyek ini mengancam pangan lokal, merusak lingkungan, membabat hutan, deforestasi, sampai menimbulkan bencana bagi warga.
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah Ayat 11.
وَاِذَا قِيْلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِۙ قَالُوْٓا اِنَّمَا نَحْنُ مُصْلِحُوْنَ
Artinya: "Apabila dikatakan kepada mereka, "Janganlah berbuat kerusakan di bumi," mereka menjawab, "Sesungguhnya kami hanyalah orang-orang yang melakukan perbaikan."
Gagalnya food estate sejatinya merupakan kegagalan kapitalisme dalam urusan mekanisme ekonomi, yaitu pemenuhan kebutuhan pokok manusia. Tujuanya bukan untuk kesejahteraan rakyat, tetapi hanya menguntungkan segelintir korporasi kapitalis. Maka, wajar jika proyek food estate ini justru memunculkan konflik dengan masyarakat setempat.
Hal ini jelas bahwa kerusakan yang terjadi dikarenakan oleh manusia tidak menggunakan syariat Islam. Allah berfirman dalam surah Ar-Rum Ayat 41.
ظَهَرَ الْفَسَادُ فِى الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ اَيْدِى النَّاسِ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
Artinya: "Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan perbuatan tangan manusia. (Melalui hal itu) Allah membuat mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka agar mereka kembali (ke jalan yang benar)."
Dalam Islam, negara akan sangat memperhatikan produktivitas pertanian. Karena tujuan dari Islam membangun adalah untuk kepentingan rakyat, sedangkan penguasa adalah penanggung jawab rakyatnya. Sehingga, ekstensifikasi lahan pun akan dilakukan dengan bertanggung jawab sesuai syariat Islam. Negara juga berupaya mewujudkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan.
Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang negara wajib untuk memenuhinya. Negara akan melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian dengan serius, serta membiayai semua yang dibutuhkan untuk mendukung program tersebut. Biaya yang digunakan tentu akan diambil dari baitul maal yang didapatkan dari pemasukan beberapa pos, seperti jizyah, fai, kharaj, ganimah, dan pengelolaan SDA.
Negara Islam memiliki kemandirian dalam membiayai pembangunan, tidak bergantung pada swasta atau asing. Sehingga tidak disetir oleh kepentingan mereka. Namun, semua ini hanya akan terjadi apabila syari'at Islam diterapkan secara menyeluruh dalam sebuah institusi negara.
Tags
Opini