Oleh : Ummu Aimar
Menteri Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Wihaji berpendapat budaya perempuan Indonesia berbeda dengan negara maju lain. Pernyataan Wihaji menanggapi survei dari Badan Pusat Statistik (BPS) terkait childfree selama periode 2023.
Dalam survei BPS , ada 72 ribu perempuan Indonesia dengan usia 15 hingga 49 tahun mengaku tidak ingin memiliki anak (childfree). Wihaji meyakini pendudukan Indonesia masih baik-baik saja dan terkendali.
"Saya berpandangan dan meyakini Indonesia punya sejarah, kultur berbeda. Saya meyakini baik-baik saja," kata Menteri Wihaji, dalam perbincangan bersama Pro3 RRI, seperti dikutip pada Minggu (17/11/2024 https://www.rri.co.id/)
Fenomena childfree yang melanda negara-negara Barat, kini makin digandrungi masyarakat Indonesia, terutama perempuan muda. BPS mencatat berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) 2022, sekitar 8,2% perempuan Indonesia usia 15 hingga 49 tahun memilih childfree atau tidak memiliki anak. Artinya, sekitar 71 ribu perempuan dalam kelompok ini tidak menginginkan anak.
Meski prevalensi perempuan yang memilih untuk childfree di Indonesia terbilang kecil dibanding negara-negara Barat, namun selama empat tahun terakhir, prevalensinya cenderung meningkat dan diprediksi akan terus naik pada tahun-tahun mendatang. Terutama di wilayah urban seperti Jawa Barat dan Jakarta yang trennya terus naik. Di Jakarta sendiri, persentase perempuan yang memilih childfree melonjak nyaris dua kali lipat dari 8,8% pada 2019 menjadi 14,3% pada 2022. Di Jawa Barat juga terdeteksi lonjakan dari 7,8% pada 2019 menjadi 11,3%.
Memahami alasan fakta Childfree diatas, berbagai alasan dikemukakan oleh mereka yang menyatakan sebagai penganut paham childfree. Pertama, khawatir dengan kondisi kehidupan yang penuh krisis dan ketakjelasan masa depan. Beratnya kehidupan yang dijalani, serta berbagai kesulitan yang dihadapi membuat sebagian orang merasa pesimis terhadap kehidupan mendatang. Mereka tidak yakin bisa melewati kehidupan ini dengan aman, bahagia, dan sejahtera. Dalam bayangannya, masa depan akan lebih suram daripada kehidupan sekarang. Oleh karena itu, kehadiran anak harus dihindarkan agar tidak menambah beban dan tidak memperbanyak korban penderitaan.
Kedua, kondisi ekonomi yang makin sulit. Kapitalisme telah merampas keadilan dan kesejahteraan rakyat banyak. Penerapan sistem ini hanya berpihak kepada para pemilik modal. Sebagian besar masyarakat justru kian terpuruk dalam kesulitan ekonomi. Tidak sedikit realitas kehidupan menunjukkan para kepala keluarga kesulitan memberikan nafkah yang layak bagi anak dan istirinya. Mereka pun terus terimpit kemiskinan. Akhirnya, muncul pemikiran bahwa kelahiran anak akan memperberat keadaan, karena secara finansial akan menambah biaya yang harus dikeluarkan.
Ketiga, bagi sebagian perempuan, kondisi kehamilan, proses melahirkan, masa menyusui, mengasuh, dan mengurus anak dianggap sebagai sesuatu yang tidak enak dan merepotkan.
Keempat, kehadiran anak dianggap akan merampas kebebasan diri dan bisa menghambat karir orang tua, terutama bagi perempuan yang akan menjadi ibu. Mereka khawatir ketika sudah memiliki anak tidak bisa lagi meraih prestasi tinggi.
Kelima, merasa tidak siap menjadi orang tua karena belum tahu ilmunya dan tidak memiliki kecakapan yang cukup. Menurut mereka, pilihan tidak memiliki anak adalah keputusan yang tepat daripada nantinya tidak bisa mengurus anak dengan baik dan menelantarkan mereka.
Dampak buruk childfree telah tampak jelas, namun sayang pemerintah malah terkesan abai terhadap fenomena childfree ini. Tidak ada upaya serius untuk membendung pemikiran childfree ini. BKKBN hanya berupaya untuk semakin menggencarkan program KB (Keluarga Berencana dengan dua anak) yang itu pun malah terkesan membatasi anak, bukan menyemangati keluarga untuk memiliki buah hati yang berkualitas.
Bahkan pemerintah terlihat mendukung dengan membenarkan kampanye Komnas Perempuan bahwa childfree merupakan bagian dari HAM yang harus dihormati dan dihargai dari keputusan mereka.
Penyebab di atas sebenarnya merupakan dampak dari penerapan sistem kehidupan sekuler kapitalisme di negeri ini. Sekularisme adalah satu pemahaman yang menyingkirkan agama dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Inilah yang menyebabkan umat tidak menjadikan agama sebagai pedoman hidupnya. Walhasil, segala sesuatu yang ia pahami, ia lakukan, ia inginkan, dan yang membuatnya bahagia tidak selaras dengan syariat.
Sekularisme pun melahirkan liberalisme yakni berupa kebebasan bertingkah laku. Mereka pun merasa bebas melakukan segala sesuatu yang mereka kehendaki tanpa peduli kondisi di sekitarnya. Ini termasuk para perempuan yang memilih untuk tidak memiliki anak. Mereka tidak peduli tindakannya merugikan atau tidak, misalnya dapat menyebabkan depopulasi dan penurunan penduduk usia produktif.
Selain itu, jauhnya mereka dari agama menjadikan propaganda feminisme yang jelas-jelas bertentangan dengan syariat malah dibenarkan. Misalnya saat mereka menuntut laki-laki dan perempuan setara dalam berbagai aspek. Jika laki-laki bisa menjadi kepala rumah tangga, perempuan pun turut merasa berhak atas hal itu. Begitu pula jika laki-laki tidak melahirkan, perempuan pun merasa berhak untuk tidak melahirkan meski memiliki rahim. Sedangkan sejatinya semua itu dapat mengancam keberlangsungan eksistensi.
Keinginan memiliki anak adalah salah satu bentuk penampakan dari adanya gharizah al-nau‘, yakni naluri melestarikan keturunan yang telah Allah anugerahkan pada setiap manusia. Naluri ini merupakan fitrah yang menyertai penciptaan manusia. Mereka yang terjaga fitrahnya akan memiliki keinginan untuk mempunyai anak dan mencintai anak. (Lihat QS Ali Imran [3]: 14).
Namun, naluri ini sekarang telah dirusak dan digerus oleh arus pemahaman sekularisme-kapitalisme. Anak dan keturunan tidak lagi menjadi harapan yang diidamkan kehadirannya. Anak justru dianggap akan menjadi beban yang memberatkan. Oleh karena itu, tidak sedikit dari mereka yang menyatakan enggan memiliki anak. Bahkan, ada yang terang-terangan tidak mau memiliki keturunan.
Childfree adalah pemikiran yang bertentangan dengan fitrah manusia dan tidak sesuai ajaran Islam. Dalam nas-nas syariat dijelaskan bahwa anak adalah anugerah, sekaligus amanah dari Allah Swt. yang diberikan kepada siapa pun yang Dia kehendaki. Kehadiran anak di dunia ini sepenuhnya merupakan hak Allah Taala. (Lihat QS Asy-Syura [42]: 49–50).
Lahirnya generasi saleh sejatinya bukan semata keberkahan bagi kedua orang tuanya. Namun juga akan mendatangkan kebaikan bagi umat Islam seluruhnya. Di pundak mereka harapan khairu ummah akan diraih. Lewat perjuangan mereka, kejayaan Islam akan kembali tegak.
Oleh karena itu, propaganda childfree tidak boleh dibiarkan merasuki pemikiran umat. Mereka harus disadarkan bahwa perjuangan butuh regenerasi yang berkelanjutan.
Agar pemikiran childfree ini tidak terus merasuki generasi muslim, harus ada solusi yang hakiki untuk melindungi mereka dari paparan pemikiran yang menyesatkan ini yaitu sistem islam yang akan menyelesaikan problematika kehidupan.
Tags
Opini