Tinjauan Syariat terhadap Pilkada dalam Sistem Demokrasi




Oleh. Puji Astuti



Pilkada sudah di depan mata. Setelah kemarin di bulan Februari, rakyat melaksanakan hajatan besar memilih presiden/wakil presiden dan anggota legislatif, maka di bulan November nanti, rakyat kembali sibuk ikut memeriahkan pesta demokrasi dalam rangka memilih gubernur/kepala daerah/ wali kota-wakil wali kota/ bupati-wakil bupati.

Sebagaimana diatur dalam Undang Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum(UU Pemilu), penyelenggaraan pemilhan umum presiden dan wakil presiden, anggota Dewan Perwakilan Rakyat(DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dilakukan secara serentak. Terkait pelaksanaannya, merujuk kepada UU Nomor 7 Tahun 2017 bahwa pemungutan suara untuk pemilihan umum untuk pemilihan umum presiden dan wakil presiden, anggota DPD, DPD, dan DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan secara serentak pada hari libur/hari yang diliburkan secara nasional. Frasa serentak dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 merupakan tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 13 Tahun 2013. Pertimbangan hukum putusan MK tersebut pada intinya adalah untuk memperkuat sistem presidensial.

Menurut Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 ada dua tahapan yang akan dilakukan,  yaitu tahapan persiapan dan tahapan penyelenggaraan. 
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) melibatkan koordinasi yang ketat antara berbagai lembaga dan panitia pemilihan di semua tingkatan. KPU sebagai penyelenggara utama bekerja sama dengan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPPS) untuk memastikan setiap tahapan pemilu berjalan lancar. 

Adapun salah satu aspek penting dalam penyelenggaraan Pilkada 2024 adalah pendistribusian logistik pemilih, seperti surat suara,  kotak suara, dan alat tulis menulis ke seluruh daerah pemilihan. Proses ini membutuhkan perencanaan matang dan eksekusi tepat waktu untuk menghindari keterlambatan atau kesalahan yang bisa mengganggu jalannya pemilu. Kemudian di tahapan penyelenggaraan yang notabenenya merupakan tahapan paling krusial adalah ketika proses pelaksanaan pemungutan suara dilaksanakan yakni pada hari Rabu, 27 November 2024. Pada hari itu,  rakyat akan masuk ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan memilih/mencoblos kertas suara  yang di dalamnya ada gambar pasangan calon wali kota-calon wakil wali kota  dan calon bupati/wakil bupati. Kemudian dilanjutkan dengan penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara pada Rabu 27 November  2024 hingga Senin 16 Desember 2024.

Inilah serangkaian tatacara pelaksanaan Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) dalam sistem demokrasi kapitalisme. Gelaran pesta rakyat lima tahun sekali dengan begitu padat agenda yang dilakukan.

Potret Buram Demokrasi

Mendekati pilkada, suhu politik kian panas terasa. Para calon sibuk tebar pesona ke publik demi mendulang suara rakyat saat pemilihan nanti. Euforia pilkada menggema di seluruh laman media massa. Namun, ada beberapa hal yang perlu kita soroti dari gelaran demokrasi itu sendiri, di antaranya:

1. Mahalnya Pesta Demokrasi

Gelaran hajatan besar lima tahun sekali ini memakan biaya yang tidak sedikit. Anggaran Pilkada Serentak 2024 ditaksir lebih dari Rp41 Triliun. Jumlah ini dihitung berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) per 8 Juli 2024. Jumlah yang sangat fantastik untuk menghasilkan pemimpin daerah. Hal ini mengonfirmasi bahwa pemilihan pemimpin daerah dalam sistem demokrasi teramat mahal biayanya.

Dari pencalonan, kampanye, hingga pelaksanaan pemungutan suara, semuanya memakan dana yang tidak sedikit. Dimulai dari tingkat pemilihan dari skala nasional( pemilihan presiden/wakil presidan dan anggota legislatif) hingga skala daerah (pemilihan gubernur, bupati/wali kota, kepala desa/dusun). Belum lagi mahar politik yang diberikan kontestan politik agar dirinya dapat melanggeng di bursa pencalonan. Padahal salah satu alasan diadakannya pilkada serentak adalah untuk menghemat anggaran, namun realitasnya tidaklah demikian. Anggaran pilkada tetap saja besar.

2. Politik Uang 

Di setiap penyelenggaran pemilu, praktik politik uang adalah suatu hal yang menjadi rahasia umum. "Serangan fajar" acapkali dilakukan untuk mendongkrak suara kontestan pemilu. 

Masyarakat yang apatis menganggap bahwa pilkada itu hanya sebatas pemungutan suara, akhirnya tak peduli visi misi calon. Mereka akan memilih calon yang memberi "uang pelicin."

3. Politik Machiavelis

Menghalalkan segala cara agar kursi jabatan dapat diraih. Tak peduli etika dan moral, yang penting kursi jabatan tetap diduduki.

4. Politik Dinasti

Aroma politik dinasti pun tercium sampai-sampai pada Rabu (21-8-2024), hingga pukul 20.53 tercatat 210 ribu akun warganet yang mengunggah gambar maupun tulisan terkait peringatan darurat garuda biru. Unggahan ini merupakan ekspresi kekecewaan publik atas langkah DPR yang berupaya menganulir putusan MK (yang menurunkan ambang batas parlemen dan penetapan batas usia calon kepala daerah). Kuat dugaan bahwa hal ini berkaitan dengan majunya salah seorang calon untuk menjadi gubernur pada pilkada 2024. Gelombang protes pun meluas hingga muncul tagar #KawalPutusanMK dan unggahan foto siaran "Peringatan Darurat" berlatar warna biru. Aksi demonstrasi pun terjadi di berbagai wilayah. Meski DPR pada akhirnya membatalkan sidang karena tidak memenuhi kuorum, tetapi dagelan DPR menunjukan keberpihakannya pada rezim yang sedang berkuasa.

Demikianlah realitas pemilihan pemimpin dalam sistem demokrasi. Sehingga demokrasi kerap dituding sebagai sistem cacat sejak kelahirannya.

Demokrasi Bukan untuk Rakyat

Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun pada praktiknya, pihak yang berperan dalam menentukan jalannya pemerintahan adalah para politisi di lembaga legislatif. Mereka bekerjasama dengan penguasa dan pengusaha (pemilik modal) untuk menyusun undang-undang  yang menguntungkan dirinya dan kelompoknya. Pihak yudikatif pun "dirangkul" untuk mendukungnya. Rakyat dibutuhkan ketika pemilihan saja, setelah itu dilupakan. Walhasil, kebijakan yang dihasilkan selalu menyakiti rakyat. 

Praktik politik dinasti adalah suatu hal yang jamak terjadi dalam sistem demokrasi. Ini tidak terlepas dari sistem yang mewadahi demokrasi yaitu kapitalisme sehingga praktik politik didominasi oleh tujuan meraih keuntungan materi sebanyak-banyaknya. Untuk mewujudkan politik dinasti, politisi melakukan berbagai cara (politik machiavelli). Hal ini adalah sesuatu yg umum terjadi asas dalam demokrasi, yaitu sekularisme yang nir-agama memang menghalalkan segala cara demi meraih tujuan. 

Demokrasi dengan asas sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) 
adalah bertentangan dengan Islam karena sepatutnya manusia tunduk dan patuh pada aturan al Khaliq dan Al Mudabbir. Sumber kekacauan hidup adalah ketika manusia meninggalkan agama sebagai pedoman kehidupan. Secara fitrah, hanya aturan Sang Pencipta yang membawanya kepada ketenangan hidup. 

Demokrasi adalah sistem batil (salah). Kebatilan demokrasi dapat kita lihat dari 2 hal:
 Pertama, konsep kedaulatan ditangan rakyat. Konsep ini batil karena bertentangan dengan syariat.  Manusia adalah mahluk sangat lemah dan terbatas, sehingga tidak akan pernah mampu membuat hukum dan aturan untuk dirinya sendiri, apalagi bagi masyarakat dan negara. Manusia juga tidak mampu memahami apakah suatu hukum itu baik atau tidak untuk dirinya. Bisa jadi manusia menilai hal itu baik, padahal itu buruk dalam pandangan Allah, begitupun sebaliknya (lihat QS al Baqarah:216).

Jadi, yang berhak untuk membuat hukum adalah (Al Hakim) hanyalah Allah Swt.   Allah  al Khaliq dan Al Mudabbir. Sebagaimana firmanNya: 
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik" (QS. Al An'am: 57)

Manusia harus tunduk pada semua hukum dan aturan Allah Swt, sebagaimana firmanNya:
"Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam islqm secara kaffah (keseluruhan), dan janganlah kamu turuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu." (QS. Al Baqarah:208).

Yang kedua, rakyat adalah sumber kekuasaan. Konsep ini memberikan kekuasaan kepada seseorang (penguasa) untuk menjalankan hukum dan aturan yang dibuat manusia. Padahal, semestinya penguasa dipilih rakyat untuk menerapkan hukum yang dibuat al-Hakim, yaitu Allah Ta'ala, bukan hukum buatan manusia. Konsep ini membuat manusia memframe kekuasaan untuk meraih keuntungan duniawi dan membuang visi akhirat. Inilah yang membuat penguasa memanfaatkan kekuasaan untuk meraih kepentingan pribadi seperti kondisi hari ini. Maka umat Islam mesti meninggalkan demokrasi bukan semata karena alasan ketidaksejahteraan, tetapi sebagai konsekuensi keimanan.

Pemilu dalam Islam

Berbeda dalam sistem Islam, 
pemilihan pemimpin tidak memerlukan cost yang tinggi, butuh waktu singkat, memiliki proses yang efektif dan efisien dan aturan yang tidak bisa diubah-ubah sekehendak hati manusia. 

Dalam Islam, rakyat hanya satu kali dilibatkan yaitu dalam proses memilih dan mengangkat penguasa (pihak yang bertanggungjawab mengurusi urusan rakyat). Penguasa dalam Islam adalah seorang kepala negara sekaligus kepala pemerintahan. Karena kedaulatan ada di tangan syarak, maka penguasa adalah pihak yang diberikan amanah untuk menerapkan hukum syara di tengah-tengah masyarakat. 

Berikutnya, hanya Khalifah yang memiliki wewenang untuk mengangkat orang-orang yang dianggap mampu (capable dan memiliki integritas) dalam menjalankan amanah pemerintahan seperti muawwin (wakil kepala negara), wali (setingkat gubernur) dan amil(setingkat bupati) serta orang-orang lain yang akan membantunya menjalankan pemerintahan. Cara seperti ini tidak memerlukan biaya yang besar, sehingga dana yang ada digunakan untuk kebutuhan rakyat(layanan kesehatan, pendidikan dll).

Pemilihan kepala negara dalam islam bebas korupsi karena tidak ada politik uang dalam masyarakat islam yang bertakwa. Islam memandang bahwa politik uang dengan cara membeli suara rakyat untuk memilih calon tertentu adalah bagian dari suap(risywah) yang hukumnya haram. Rasulullah bersabda:

"Allah telah melaknat orang yang menyuap, dan mendapatkan suap, serta perantara yang menjadi perantara diantara keduanya." (HR al Hakim dari Tsauban)

Rakyat beserta para politisi menyadari keharaman risywah sehingga praktik politik uang tidak terjadi. Asas kekuasaan dalam Islam adalah akidah Islam sehingga tujuan kekuasaan adalah ri'ayah syu'unil ummah (mengurusi urusan umat) dengan menerapkan hukum syara. Khalifah menggunakan kekuasaannya adalah untuk kemaslahatan umat bukan untuk kepentingan pribadi, karena hal ini adalah buah dari keimanan dan ketaqwaan kepada Allah dan RasulNya. Rosulullah mengingatkan bahwa,

"Ketahuilah setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap kalian akan dimintai pertanggung jawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari).

Dengan asas ini, khalifah tidak akan berkhianat. Selain itu sistem Islam memiliki mekanisme efektif untuk mewujudkan penguasa yang adil dan amanah, dengan memberikan syarat seorang penguasa haruslah laki-laki, muslim, baligh, berakal, merdeka, adil dan mampu (memikul amanah kepemimpinan).
Khalifah berhak memilih orang yang dia anggap layak memimpin berdasarkan tujuh syarat tadi. Jika dalam perjalanan pemerintahan, ternyata wali/amil berkhianat atau tidak lagi memiliki tujuh syarat tersebut, ia bisa langsung diberhentikan oleh Khalifah, meskipun dia baru menjabat tiga atau lima hari. Disini rakyat punya hak untuk mengoreksi atau memuhasabahi penguasa. Mekanismenya melalui pengaduan kepada khalifah atau mahkamah madzalim.

Inilah pemilihan pemimpin dalam Islam. Prosesnya tidak berbelit-belit, efektif dan efisien, sederhana namun menghasilkan pemimpin yang amanah. Proses ini bervisi akhirat bukan dunia, kebaikan dan keberkahan insha Allah menyelimuti, wallahu 'alam bisshowab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak