Oleh: Nenoh Nurhasanah
Bank dunia menyatakan bahwa harga beras Indonesia 20 % lebih tinggi dari harga pasar global. Bahkan saat ini konsisten tertinggi di kawasan ASEAN (Kompas, 20/9/2024) tetapi faktanya tingginya harga beras ini sama sekali tidak meningkatkan kesejahteraan petani, karena tingginya harga beras ini selaras dengan tingginya biaya produksi (Liputan6, 21/9/2024). Berdasarkan survey, kesejahteraan petani Indonesia masih rendah (Metrotv, 21/9/2024) dan harga beras mahal sementara pendapatan petani kecil merupakan ironi bagi negara agraris (Ekonomi bisnis, 20/9/2024).
Mahalnya harga beras ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya kebijakan pemerintah terkait pembatasan impor, oligarki yang menguasai sektor pertanian dari hulu ke hilir, tingginya biaya produksi dan diperparah dengan minimnya dukungan pemerintah secara finansial sehingga petani harus mandiri apalagi petani yang bermodal minim. Di sisi lain pemerintah melakukan pembatasan impor beras sehingga ketersediaan beras lebih sedikit. Ini menyebabkan harga beras semakin mahal. Apalagi adanya retail-retail yang menguasai bisnis beras dan memainkan harga. Hal ini akan membuka peluang untuk mendorong dibukanya keran impor beras yang menguntungkan oleh oligarki tetapi menyengsarakan rakyat. Kondisi tersebut muncul karena penerapan sistem kapitalisme dimana yang memegang peran dalam fasilitator dan regulator adalah mereka yang berpihak kepada oligarki.
Islam menjelaskan kemuliaan profesi petani, karena selain untuk mencukupi kebutuhan keluarganya, mereka adalah pemeran penting dalam ketersediaan pangan umat di seluruh negara. Jaminan Allah SWT bagi petani terdapat dalam Al-Qur’an diantaranya; “dan Dialah yang menurunkan air dari langit, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu segala macam tumbuh-tumbuhan, maka Kami keluarkan dari tumbuh-tumbuhan itu tanaman yang menghijau, Kami keluarkan dari tanaman yang menghijau itu butir yang banyak” (TQS. Al-An’am : 99).
Allah juga menyampaikan kabar gembira dalam firmanNya; “dan Kami telah menghamparkan bumi dan Kami pancangkan padanya gunung-gunung serta Kami tumbuhkan disana segala sesuatu menurut ukuran. Dan Kami telah menjadikan padanya sumber-sumber kehidupan untuk keperluanmu, dan (Kami ciptakan pula) makhluk-makhluk yang bukan kamu pemberi rezeki nya. Dan tidak ada sesuatu pun melainkan pada sisi Kamilah khazanahnya; Kami tidak menurunkan melainkan dengan ukuran tertentu. Dan Kami telah meniupkan angin untuk mengawinkan dan Kami turunkan hujan dari langit, lalu Kami beri minum kamu dengan (air) itu., dan bukanlah kamu yang menyimpannya” (TQS. Al-Hijr :19-22).
Rasulullah juga bersabda; “Tidaklah seorang muslim yang menanam tanaman atau bertani kemudian burung, manusia ataupun binatang ternak memakan hasilnya, kecuali semua itu merupakan sedekah baginya” (HR. Bukhari).
Maka jelaslah bagaimana Islam dan negara Islam menempatkan ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai sebagai salah satu basis pertahanan negara dan basis kesejahteraan rakyat. Negara akan melakukan upaya yang maksimal diantaranya; menyediakan lahan untuk ketahanan pangan (beras), pupuk yang terjangkau, pengadaan alat-alat pendukung pertanian yang canggih, pengembangan bibit unggul, melakukan riset-riset untuk meningkatkan kualitas hasil pertanian, serta menyelenggarakan berbagai pelatihan sehingga petani semakin ahli dan memiliki produktivitas yang tinggi. Negara Islam juga akan mengambil alih lahan yang tidak digarap selama tiga tahun dan akan diserahkan untuk dikelola kepada rakyat yang tidak mempunyai tanah garapan, sehingga ketersediaan lahan pertanian tetap terjaga. Hal ini sesuai dengan sistem ekonomi Islam dalam bingkai penerapan Islam yang menyeluruh dalam tatanan kehidupan.
Tags
Opini