Tawarkan Sumur Minyak yang Menganggur ke Swasta, Pemerintah Salah Fokus



Oleh Ari Sofiyanti



Tidak memenuhi target. Demikian salah satu permasalahan energi migas di Indonesia yang urgen diselesaikan. Sebenarnya pemerintah tahun ini sudah menetapkan target produksi minyak hanya 635 ribu barel perhari, itu saja kenyataannya produksi minyak masih di bawah 600 ribu barel perhari. Padahal konsumsi minyak di Indonesia sudah menyentuh angka 1,5 - 1,6 juta barel perhari. Kekurangan suplai minyak selama ini ditutupi dari impor, sedangkan untuk mendatangkan minyak impor, pemerintah harus melepaskan cadangan devisa sebesar Rp 396 triliun dalam setahun. Tragis memang, karena ndonesia adalah negara yang kaya cadangan minyaknya.

Oleh karena itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia yang baru saja dilantik pun memutar otak. Bahlil mengambil terobosan baru untuk menjual 5.000 sumur minyak yang menganggur (idle well) pada swasta nasional atau asing yang mau mengelolanya.

Rencana Bahlil untuk menyerahkan idle well kepada swasta pun menuai kontroversi. Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal berpendapat bahwa rencana ini tidak akan signifikan dalam meningkatkan produksi minyak siap jual atau lifting. Alasannya, idle well hanyalah bagian kecil dari ekosistem hulu minyak dan gas yang tidak akan dilirik oleh pemain besar, melainkan hanya menarik pemain kecil yang berfokus untuk mengimplementasikan teknologinya. Perusahaan besar lebih tertarik pada wilayah kerja yang terdapat sumur dan reservoir.

Memang sumur minyak di Indonesia ada sebanyak 44.900, namun hanya 16.300 sumur yang berproduksi dan terdapat 16.150 sumur idle atau menganggur. Sementara ada 5000 sumur yang tidak dioptimalkan. Sumur inilah yang akan dilepas ke swasta untuk direaktivasi. Moshe menilai, tawaran 5000 sumur ini pengelolaannya tidak akan efektif. Diprediksikan penambahan produksinya kecil, hanya 1.000 - 2.000 barel perhari.

Sebenarnya Indonesia memiliki BUMN yang telah memegang 70% produksi minyak, yaitu Pertamina. Pertamina memegang lapangan seluas 114.000 kilometer persegi, tetapi hasilnya hanya 70.000 barel perhari. Sehingga ada 80% lapangan yang tidak dikerjakan secara efektif.

Namun alih-alih mengoptimalkan 80% lapangan tersebut, pemerintah malah berencana menjual sumur-sumur idle yang tidak signifikan. Hal ini menandakan pemerintah tidak memiliki visi misi yang kuat dalam pengelolaan sumber energi. Dari begitu luasnya sumber daya energi yang terkandung di dalam bumi pertiwi, tidak ada upaya yang benar-benar mampu mengelolanya secara efektif.

Pemerintah tidak berupaya mandiri, bahkan lepas tangan dan lebih banyak bergantung pada swasta. Dengan alasan kekurangan biaya, SDM ahli, atau teknologi. Padahal semua itu bisa dipenuhi jika negara bisa memanage dengan baik. Kerugiannya jika selalu bergantung pada swasta apalagi asing adalah risiko ekonomi jangka panjang.

Menggandeng investor swasta nasional terutama asing akan menghilangkan kontrol negara terhadap sumber daya alam. Akibatnya muncul banyak masalah salah satunya adalah eksploitasi berlebihan, kerusakan lingkungan dan prioritas bagi investor daripada rakyat sebagai pemilik sah sumber daya alam. Yang termasuk prioritas bagi investor adalah dominasi keuntungan yang berpotensi mengurangi pendapatan negara. Tentu saja karena perusahaan swasta berfokus pada keuntungan, bukan pengurusan rakyat. Hal ini juga akan  merugikan masyarakat. Bukankah dalam aturan negara dikatakan pengelolaan kekayaan alam akan dikembalikan manfaatnya kepada rakyat?

Gagal fokus pemerintah dalam menangani masalah kurang terpenuhinya energi sudah sejalan dengan permasalahan lain. Perbaikan di sektor energi memang tak pernah terwujud dalam sistem kapitalisme, yang mana setiap individu bahkan dalam lingkup pemerintah pengelola hanya bermindset keuntungan pribadi. Mindset kapitalisme hanya berpikir tentang mengambil materi, mempertahankan posisi jabatan atau prestige. Tak heran jika korupsi tumbuh subur, termasuk di lingkungan sumber energi ini. 

Sistem kapitalisme ini memang sudah saatnya di uninstall. Lalu beralih kepada manajemen negara yang shohih bernama sistem Islam. Allah memberikan petunjuk jalan pada pengurusan negara yang ditopang oleh pemimpin-pemimpin bertakwa. Rakyat adalah amanah, kekayaan alam adalah amanah dan Allahlah yang menitipkan amanah itu. Negara wajib mengurusi amanahnya berdasarkan aturan Allah. Rasulullah bersabda,

Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu air, padang rumput, dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).

Hadits ini menunjukkan bahwa kekayaan alam adalah harta milik umat sehingga pemgelolaannya harus benar yang kemudian manfaatnya akan dikembalikan untuk umat. Eksploitasi alam dengan deposit besar haram diserahkan pada asing.

Sesungguhnya dia bermaksud meminta (tambang) garam kepada Rasulullah. Beliau memberikannya. Tatkala beliau memberikannya, salah seorang lelaki yang ada di majelis berkata, ‘Apakah Anda mengetahui apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah Anda berikan itu laksana (memberikan) air yang mengalir.’ Akhirnya beliau bersabda, ‘(Kalau begitu) tarik kembali darinya.’” (HR Tirmidzi).

Sehingga jelas, negara haruslah mandiri dan berdaulat. Negara harus memiliki visi ketahanan energi yang kuat tanpa bergantung swasta. Inilah negara Khilafah yang menerapkan sistem Islam. Pengelolaan energi oleh Khilafah tentu membutuhkan biaya yang besar, teknologi dan SDM yang unggul. Maka dari itu, mekanisme sistem Islam juga lengkap dan sempurna. Sepaket dengan sistem pendidikannya, sistem ekonominya bahkan sistem politiknya. Semua harus diambil dan diterapkan di atas pondasi keimanan atau akidah Islam.

"Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?" (Al Maidah: 50)

 

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak