Oleh ; Arsyila Putri
Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengungkapkan temuan mengejutkan terkait produk pangan dengan nama-nama kontroversial seperti tuyul, tuak, beer, dan wine yang mendapat sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama.
Ketua MUI Bidang Fatwa, Asrorun Niam Sholeh, mengonfirmasi temuan ini pada Selasa (1/10). Menurut Asrorun, hasil investigasi MUI memvalidasi laporan masyarakat bahwa produk-produk tersebut memperoleh Sertifikat Halal dari BPJPH melalui jalur self declare. (Wartabanjar.com)
Halal Versi Kapitalisme
Kabar terbaru yang mengejutkan ketika viral dalam web MUI ditemukan label halal untuk produk makanan yang jelas-jelas haram seperti wine halal, beer halal dan tuak halal, serta nama tuyul dan setan yang seharusnya tidak boleh digunakan dalam produk makanan.
Dilansir dari laman Majelis Ulama Indonesia (MUI), produk merek tersebut memperoleh sertifikat halal dari BPJPH Kemenag, bukan dari MUI. Produk-produk itu mendapatkan label halal melalui jalur self declare atau tanpa melalui audit Lembaga Pemeriksa Halal dan tanpa melalui penetapan kehalalan Komisi Fatwa MUI.(detikjatim.com)
Apa itu Sertifikasi Halal?
Merangkum laman Universitas Muhammadiyah Surabaya, kebijakan sertifikasi halal di Indonesia diperkenalkan pertama kali pada tahun 2001 melalui Keputusan Menteri Agama No 518 Tahun 2001, yang mengatur ketentuan dan tata cara pemberian label halal pada produk yang dipasarkan. Sertifikasi halal adalah pengakuan bahwa suatu produk telah memenuhi syarat-syarat tertentu dalam proses produksinya, mulai dari bahan baku hingga cara penyajian, sesuai dengan prinsip-prinsip hukum Islam. Untuk mendapatkan sertifikat halal, produk harus bebas dari bahan yang haram (dilarang) dan diproses dengan cara yang sesuai. Kebijakan sertifikasi halal ini telah menjadi isu krusial bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Awal mula kebijakan dari Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), yang ditandatangani Presiden SBY pada tahun 2014 dan mulai berlaku pada tahun 2019.(www.detikjatim.com)
Dari pengertian sertifikasi halal diatas jelas beredarnya nama-nama makanan dan minuman yang tidak sesuai dengan syariat Islam maka tidak mendapatkan izin edar atau sertifikat halal. Tapi faktanya barang-barang tersebut bisa beredar luas meskipun tidak mendapat izin dari MUI. Ini menandakan adanya ketidaksingkronan antara lembaga-lembaga yang mengurusi perihal label halal tersebut, dengan alasan bahwa barang tersebut halal dari dzatnya.
Dalam sistem kapitalisme perihal beredarnya makanan dengan zat haram dan nama kontroversial adalah hal yang tidak aneh, pasalnya dilihat dari sistemnya yang melahirkan asas liberalisme sangat mungkin adanya kebebasan dalam perihal kehalal haraman pada suatu benda atau makanan. Meskipun adanya proses dan syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk mendapatkan setifikasi halal namun dalam sistem Kapitalisme mudah sekali untuk mendapatkannya dengan cara mudah ketika uang menjadi jalan untuk tercapainya suatu tujuan. Ditambah dengan batas waktu sertifikat halal hanya berlaku 4 tahun semenjak dikeluarkan oleh BPJH, dan akan berlaku tetap apabila tidak terjadi perubahan. Inilah sistem yang memandang setiap kehidupan adalah materi, perkara sertifikasi halalpun dijadikan ladang bisnis, karena yang menjadi standar adalah uang bukan halal haram. Dengan begitu akan mudah sekali bagi para pemilik modal dan perusahaan-perusahaan besar untuk memasarkan produk mereka tanpa melalui proses panjang untuk mendapatkan label halal, dan tentunya menjadi keutungan yang besar bagi mereka.
Tentu hal ini sangat berbahaya bagi masyarakat apabila terus dibiarkan dan barang tersebut terjual bebas maka akan menimbulkan kerancuan, karena dilihat dari nama dan dzatnya ketika haram maka meskipun dibuat Lebel halal tetap saja sifatnya haram tidak bisa berubah jadi halal. Karena dalam Islam jelas khamr itu haram dan perkara haram apabila dilakukan maka akan berdosa.
Solusi Islam
Islam adalah agama yang sempurna dan paripurna terutama dalam mengatur masalah makanan dan minuman. Islam yang tak hanya sebagai agama ritual melainkan dengan segala aturannya menjunjukan Islam itu adalah sebagai pengatur dalam kehidupan terutama dalam mengatur kehidupan bernegara, Islam sangat menjaga kehalalan dalam suatu produk terutama makanan dan minuman haram apabila dimakan maka berdosa. Maka dalam Islam fungsi sebuah negara adalah memastikan setiap masyarakatnya mengonsumsi produk makanan yang jelas kehalalannya dari dzat, sifat maupun namanya tidak boleh berasal dari yang haram seperti winsky, beer, dan tidak boleh menggunakan nama kekufuran seperti setan, iblis dll. Tak hanya menjaga kehalalan nya, negara juga menjaga ketayiban suatu makanan yang apabila di konsumsi masyarakat tidak menimbulkan sesuatu yang merusak atau menyakiti tubuh seperti makanan instan, junk food dll.
Negara dalam sistem islampun akan memberikan sertifikasi halal secarurah bahakan gratis untuk produk makanan, dengan syarat memenuhi persyaratan standar syariat Islam yaitu halal dan tayib dari dzat, pengolahan, bahan baku dan pemasarannya. Dalam surat Al Baqarah dikatakan bahwa, "Wahai manusia, makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. – (Q.S Al-Baqarah: 168).
Negara dalam sistem Islam pun akan mengutus para Qadi untuk mengawasi dan mengecek bahan makanan ke setiap pasar agar tidak ada bahan makanan, dan produk-produk haram serta berkeliling ke tempat pemotongan hewan, pabrik dan gudang agar memastikan tidak adanya kecurangan. Negarapun memberikan hukuman sanksi yang tegas kepada siapa saja yang melakukan pelanggaran. Sungguh sistem Islamlah yang mampu mengatasi setiap permasalahan secara efektif dan semua itu akan terwujud apabila ditetapkan dalam setiap kehidupan dalam sistem kepemimpinan yaitu khilafah.
Wallahu a'lam bishshawab
Tags
Opini