Oleh : Ummu Aqeela
Salah satu permasalahan yang dialami oleh banyak Generasi Z (Gen Z) di Indonesia adalah sulit mendapatkan pekerjaan. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 9,9 juta penduduk Indonesia muda merupakan pengangguran. Lantas, apa penyebabnya?
Psikolog sekaligus dosen Universitas Paramadina, Tia Rahmania mengungkapkan bahwa ada beberapa faktor yang menyebabkan hampir 10 juta Gen Z di Indonesia menganggur, salah satunya adalah tidak adanya kecocokan antara keahlian (skill) dan kebutuhan pasar kerja.
"Itu (ketidakcocokan antara keahlian dan kebutuhan pasar kerja) menurut survei yang dilakukan oleh Kementerian Ketenagakerjaan," kata Tia dalam seminar daring bertajuk "Gen Z & Work Ethics Problem", Jumat (25/10/2024).
Dari data diatas kita dapat menyimpulkan bahwa, Terbatasnya lapangan kerja dan ketidaksesuaian antara lapangan kerja dengan kualifikasi pendidikan merupakan penyebab mereka menganggur di usia muda dan tidak melakukan kegiatan apa pun. Hal ini menunjukkan bahwa negara telah gagal menyediakan lapangan kerja.
Semestinya negara mampu menjadikan kondisi ini sebagai alarm demi mengantisipasi keadaan yang makin memburuk dan berulang karena jumlah pengangguran akan berpengaruh terhadap angka kesejahteraan. Makin tinggi pengangguran, maka jumlah masyarakat yang tidak memiliki pendapatan juga bertambah, angka kesejahteraan pun berada di level rendah.
Gen-Z adalah generasi kelahiran tahun 1997-2012, generasi ini tentunya adalah generasi muda di mana generasi tersebut harusnya produktif dan inovatif. Gen-Z sendiri berasal dari kata zoomer karena mereka lahir dan tumbuh bersama dengan perkembangan teknologi yang sangat pesat sehingga mereka memiliki kesempatan untuk bisa mengikuti perkembangan teknologi dan internet secara cepat. Gen-Z juga memiliki konektivitas dan ketergantungan dengan teknologi, mereka sangat tergantung pada teknologi dalam aktivitas sehari-hari dan aspek kehidupan lainnya.
Ibarat kata, kemampuan teknologi mereka seakan sudah bawaan sejak lahir. Jiwa inovatif dan kreatif mereka tidak diragukan lagi. Tentu hal ini akan sangat bermanfaat apabila disalurkan dalam lapangan kerja yang mumpuni di era transformasi digital dan teknologi saat ini.
Namun, hal ini sepertinya kurang mendapat perhatian dari pemerintah. SDM (sumber daya manusia) yang kompeten seakan terabaikan menjadi tuna karya di negara dengan SDA (sumber daya alam) yang terkenal kaya ini. Negara dengan tangan terbuka lebih memilih para investor asing untuk mengelola SDA yang dimiliki. Dengan dalih putra-putri bangsa dianggap belum mumpuni dalam penguasaan ilmu dan teknologi, kebijakan preventif sekaligus kuratif pun dilakukan negara melalui investasi tangan-tangan asing.
Oleh karenanya, penyerapan tenaga kerja pun lebih didominasi oleh kebijakan para investor asing. Tentu saja mereka lebih memilih para pekerja dari negeri mereka sendiri. Secara otomatis dan disadari, sumber kemakmuran yang semestinya untuk masyarakat Indonesia akan beralih menjadi sumber kemakmuran bagi warga negara asing.
Itulah bentuk pengaturan sistem kapitalisme yang merengkuh Indonesia saat ini. Para kapitalis (pemilik modal besar) berjalan sebagai pengendali hampir di semua sektor, industri, perdagangan, ekonomi, dan juga pendidikan.
Dalam Daulah Islam Kaffah, sungguh-sungguh mempersiapkan pemuda menjadi generasi unggul, bukan generasi menganggur. Ada beberapa hal yang bisa dilakukan negara.
Pertama, Departemen Pendidikan menyelenggarakan pendidikan yang mampu menghasilkan para teknokrat dan saintis yang bersyahsiah Islam dan mampu mengelola SDA menjadi senjata canggih ataupun pesawat tempur yang modern. Biaya pendidikan dijamin oleh negara sehingga bisa rakyat nikmati dengan cuma-cuma.
Kedua, mendirikan sejumlah industri yang berhubungan dengan harta kekayaan milik umum. Banyak dari kalangan masyarakat, termasuk pemuda, yang diserap untuk bekerja di sejumlah industri tersebut. SDM unggul akan mengelola kekayaan milik umum sesuai aturan Islam dan kemaslahatan umum.
Ketiga, mencetak generasi sebagai pemimpin atau negarawan, bukan pengangguran. Departemen Pendidikan akan menyelenggarakan pendidikan di perguruan tinggi yang mampu mencetak para ulama, mujtahid, pemikir, pakar, pemimpin, qadi (hakim), dan fuqaha.
Peran dan posisi pemuda dalam Islam sungguh sangat luar biasa. Pemuda merupakan tulang punggung yang membentuk komponen pergerakan. Mereka memiliki kekuatan yang produktif serta kontribusi tanpa limit. Suatu umat tidak akan runtuh selama ada pundak para pemuda yang memiliki kepedulian dan semangat membara. Peran inilah yang sekarang “dimandulkan” oleh sistem kapitalisme.
Sejatinya, pemuda Islam harus siap tampil di mana saja ketika tenaga dan kekuatannya dibutuhkan untuk berkorban pada Rabb-nya. Jika peradaban tidak memiliki pemuda, niscaya peradaban itu akan mati. Jika pemudanya lurus, peradaban pun akan lurus. Dan peradaban yang lurus itu hanya bisa tegak dalam naungan sistem Islam dan kepemimpinan Islam. Karena sistem Islam Kaffahlah yang mampu menyelamatkan generasi dari kerusakan dan menganggur akibat penerapan sistem sekuler kapitalisme.
Wallahu’alam bisshowab.