Pemimpin Baru, Mampukah Menjadi Harapan Baru?




Oleh: Nita nur elipah



Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka resmi dilantik sebagai Presiden kedelapan dan Wakil Presiden Republik Indonesia ke-14 di Gedung Nusantara, kompleks parlemen (MPR/DPR/DPD RI), Senayan, Jakarta, pada Minggu (20/10/2024).

Presiden terpilih ini diharapkan bisa membawa angin perubahan, membawa visi yang segar, serta menjawab tantangan besar yang dihadapi bangsa, mulai dari ekonomi, politik, hingga isu lingkungan.

Dalam era globalisasi dan perubahan geopolitik yang dinamis, bagaimana sosok Presiden baru ini akan memimpin Indonesia ke masa depan yang lebih sejahtera dan stabil menjadi pertanyaan yang ditunggu-tunggu oleh banyak pihak, baik di dalam maupun luar negeri.

Mengusung visi Bersama Indonesia Maju Menuju Indonesia Emas 2045. Prabowo-Gibran yakin hanya dengan persatuan, kesatuan, dan kebersamaan bangsa ini bisa mencapai cita-cita Indonesia Emas.

Adanya pergantian pemimpin selalu dianggap oleh sebagian orang sebagai harapan baru adanya perubahan ke arah yang lebih baik. Dalam anggapannya, keberhasilannya berada di dalam individu pemimpin. Yang namanya harapan dan cita-cita memang sah-sah saja, tapi apakah realistis?
 
Jika kita cermati, kondisi negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Mulai dari bidang politik misalnya, negeri ini dikuasai oleh kekuatan modal dari dalam dan dari luar. Para pejabatnya makin kehilangan empati dan menjadikan urusan rakyat sebagai permainan dan jalan menarik keuntungan. 

Sementara itu, pada bidang ekonomi, negeri ini sudah dalam posisi nyaris tergadai. Utang riba menumpuk hingga lebih dari Rp8.500 triliun. SDA dikuasai asing, hingga negara kehilangan modal untuk menyejahterakan rakyatnya. Rakyat malah digempur dengan tekanan pajak dan “tsunami” PHK yang tidak bisa dikendalikan, juga oleh inflasi yang sulit dikendalikan. Gap sosial justru makin melebar akibat penguasaan faktor-faktor ekonomi oleh segelintir orang.

Adapun pada bidang sosial, kehidupan masyarakat makin jauh dari kebaikan. Dekadensi moral melanda seluruh level generasi dengan kadar kerusakan yang sulit dinalar. Alih-alih berkurang, abainya rezim pada masalah moral dan agama, serta pengarusan moderasi beragama arahan Barat, membuat kasus-kasus amoralitas makin merajalela dan mendegradasi kualitas generasi yang akan datang.

Lalu, pada bidang hukum dan hankam, negara  pun tampak makin kehilangan kendalinya. Hukum dan perangkatnya makin mandul akibat dikooptasi oleh kekuatan uang. Begitu pula dengan hankam yang hari ini tampak kian melemah. Terbukti kasus-kasus perbatasan dan isu disintegrasi masih saja terjadi, termasuk provokasi KKB Papua dan pencurian SDA oleh negara tetangga. 

Kondisi ini jelas menunjukkan bahwa pemerintah nyaris kehilangan wibawa dan kemandirian. Oleh karenanya, bagaimana bisa muncul optimisme sedemikian, seakan semua persoalan itu bisa diselesaikan semudah membalik telapak tangan?

Semua realitas ini niscaya terjadi dalam sistem kepemimpinan demokrasi kapitalisme yang lahir dari sekularisme dan liberalisme. Sistem kepemimpinan yang asasnya rusak seperti ini sama sekali tidak bisa diharapkan akan membawa kebaikan. Prinsip “kedaulatan ada di tangan rakyat” dan “suara rakyat suara Tuhan” justru menjadi sumber kerusakan terbesar.

Ini karena dari sanalah berawal mula dibuatnya berbagai aturan hidup yang bersandar pada akal, bukan pada sumber aturan yang bersifat kekal. Bahkan, kepemimpinan pun menjadi sangat terbuka bagi siapa saja, asalkan mereka bisa membelinya dengan kekuatan uang. Lalu saat menjabat adalah saat terbaik untuk mengembalikan modal. 

Artinya, sesering apapun berganti pemimpin  jika sistemnya tetap demokrasi kapitalisme, perubahan lebih baik itu hanya akan menjadi mimpi belaka. Kebaikan hanya akan terwujud dalam naungan sistem shahih, yaitu sistem Islam yang datang dari Dzat yang Maha Mengetahui, yaitu Allah Subhanahu Wata'ala. Penerapan aturan Allah juga akan mendatangkan keberkahan dalam hidup. 

Islam juga menetapkan Tugas pemimpin negara adalah  melaksanakan sistem Islam secara kaffah dan berperan sebagai raa’in dan junnah bagi rakyatnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu alahi wasallam, yang artinya: 
"Imam adalah raa’in (gembala) dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.”
 (HR Bukhari).

Dalam Islam, kepemimpinan dipahami sebagai tanggung jawab dunia dan akhirat. Artinya, seorang penguasa atau pemimpin di dunia bertanggung jawab atas nasib rakyatnya. Ia wajib menjaga agama rakyatnya supaya tetap dalam tauhid dan ketakwaan kepada Allah Taala. Ia juga wajib memelihara agar urusan sandang, pangan, dan papan rakyatnya bisa tercukupi. 
Demikian juga kebutuhan kolektif mereka, seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan, semuanya pun akan terjaga.

Para pemimpin ini juga paham bahwa tanggung jawab mengurus urusan rakyat ini akan dimintai pertanggungjawaban hingga ke akhirat. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. menegaskan dalam sebuah riwayat hadis, “Tidaklah seorang manusia yang diamanati Allah Subhanahu Wata'ala. untuk mengurus urusan rakyat, lalu mati dalam keadaan ia menipu rakyatnya, melainkan Allah mengharamkan surga baginya." (HR Bukhari).

Dari seluruh pemaparan ini, sesungguhnya telah jelas bahwa pada dasarnya, seluruh kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah Subhanahu Wata'ala. dan amar makruf nahi munkar. Rakyat maupun penguasa tidak diberi hak untuk membuat hukum yang lazim digunakan untuk memaksa orang lain.

Sangat nyata bahwa sistem pemerintahan dalam Islam tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga menutup peluang lahirnya kediktatoran, kesewenang-wenangan, dan dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu.

Dalam mekanisme sistem Islam inilah harapan kehidupan yang lebih baik dan juga keberkahan akan dapat diwujudkan
Hal ini membutuhkan adanya perjuangan untuk mewujudkannya. 

Wallahu a'lam bishshawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak