Model Sertifikat Halal dalam Sistem Kapitalisme




Oleh : Elly Waluyo
(Anggota Aliansi Penulis Rindu Islam)



Sebagaimana definisi dari sistem kapitalisme yakni sistem yang hanya mementingkan pemilik modal dan berbasis pada keuntungan materi, maka pelaku dalam sistem ini akan selalu menghitung untung dan rugi, tak peduli apakah halal dan haram jalan yang ditempuh. Karena memang landasan sistem kapitalisme adalah kebebasan yang batasannya ditentukan sendiri oleh masing-masing individu. Sehingga tak mengherankan apabila terjadi banyak manipulasi aturan, termasuk juga syariat Islam.

Terkait produk halal yang menuai polemik akhir-akhir ini, disebabkan produk dengan nama-nama tidak sesuai standar fatwa MUI (Majelis Ulama Indonesia) seperti tuyul, tuak, beer, dan wine mendapat label halal dari BPJPH (Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal) Kementerian Agama. Diketahui bahwa produk tersebut mendapatkan label halal melalui jalur self declare, yang mana proses tersebut tanpa melalui audit dari Lembaga Pemeriksa Halal serta tidak melalui penetapan kehalalan dari Komisi Fatwa MUI. Asrorun Niam Sholeh selaku ketua MUI Bidang fatwa menegaskan bahwa klaim halal atas produk-produk tersebut bukan tanggung jawab MUI (https://www.beritasatu.com : 1 Oktober 2024).

Bertolak belakang dengan pendapat Asrorun, dukungan terhadap peraturan tentang legalisasi penjualan miras (minuman keras) untuk menguatkan kontrol pemerintah, mengalir dari Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan pelaku industri pariwisata DIY melalui Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI). Menurut Deddy Pranowo Eryono selaku Ketua PHRI DIY, miras merupakan produk penting dalam pariwisata terutama dalam memberikan pelayanan pada wisatawan asing, namun mengenai peredarannya, Deddy meminta diatur dengan ketat dan meminta pemerintah daerah menindak tegas penjual miras yang tidak sesuai aturan (https://kumparan.com : 3 Oktober 2024)

Demikianlah model sertifikat halal dalam negara bersistem kapitalisme yang dijadikan ladang bisnis. Demi keuntungan materi rela melakukan kamuflase dan mengotak atik aturan syariat pada persoalan halal dan haram yang merupakan hal prinsip dalam Islam. Asalkan zatnya halal, nama tak menjadi persoalan. Meskipun nama produk tersebut merujuk pada istilah atau nama yang menunjukkan keharaman zat yang terkandung didalamnya.

 Padahal tolak ukur demikian dapat menimbulkan kerancuan antara halal dan haramnya suatu benda. Namanya merujuk keharaman tapi labelnya halal sehingga dianggap aman untuk dikonsumsi. Apalagi pengajuan sertifikat halal tersebut berbatas waktu yang berdampak pada banyaknya berkas permintaan yang masuk sehingga analisis dan telaah hanya sebatas dokumen yang mendeskripsikan pengolahan, pengelolaan produk, bahan-bahan, foto produk  untuk diamati dan telaah, tanpa turun langsung melihat asal usul barang atau zat yang diajukan sertifikat halal tersebut. Hal ini tentu berpotensi membahayakan konsumen yang mayoritas muslim di negeri ini. 

Halal dan haramnya suatu produk untuk dikonsumsi merupakan prinsip dalam Islam. Oleh karenanya Islam mempunyai aturan mengenai benda atau zat yang halal dan  haram untuk dikonsumsi. Penerapan sistem Islam memposisikan negara sebagai perisai umat, pelindung agama, termasuk didalamnya adalah berkewajiban menyediakan dan menjamin kehalalan benda atau zat yang dikonsumsi umat.

 Negara memberikan layanan sertifikat halal dengan biaya yang murah bahkan gratis namun terjamin halal dan thoyyib. Dalam mengurusnya, negara memberikan mandat pada Qadhi Hisbah untuk mengawasi setiap hari di pasar-pasar, tempat pemotongan hewan, gudang-gudang pangan, pendistribusian produk, dan memastikan produk tidak terkena kecurangan atau kamuflase terkait kehalalannya. Demikianlah sistem Islam memberikan jaminan dan menyediakan perlindungan secara menyeluruh pada umatnya.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak