Oleh Ummu Hayyan, S.P.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menduga, kebijakan pemberian tunjungan perumahan Anggota DPR Periode 2024-2029 tidak memiliki perencanaan mengingat besarnya pemborosan anggaran atas tunjangan tersebut. Peneliti ICW Seira Tamara mengatakan, total pemborosan anggaran oleh anggota DPR untuk tunjangan perumahan berkisar dari Rp1,36 triliun hingga Rp 2,06 triliun dalam jangka waktu lima tahun ke depan. Karenanya, ia menduga kebijakan tunjangan tersebut hanya untuk memperkaya Anggota DPR.
www.kompas.com.
Berdasarkan penelusuran dari sejumlah media, Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPR Indra Iskandar menyampaikan bahwa per bulan anggota DPR akan menerima tambahan tunjangan untuk perumahan sekitar Rp50-70 juta. www.kompas.com.
Tunjangan rumah dinas anggota DPR menambah panjang daftar fasilitas yang diterima anggota dewan. Tunjangan ini tentu diharapkan memudahkan peran anggota dewan sebagai wakil rakyat dalam menjalankan fungsinya sebagai penyalur aspirasi rakyat. Hanya saja, harapan tidak sesuai dengan kenyataan. Anggota dewan periode sebelumnya, sekalipun mereka mendapat berbagai tunjangan, kenyataannya mereka tidak bekerja menyalurkan aspirasi rakyat namun bekerja untuk kepentingan penguasa dan pengusaha. Buktinya, DPR justru bergerak cepat mengesahkan Rancangan Undang-Undang yang mewakili penguasa dan pengusaha seperti RUU Dewan Pertimbangan Presiden dan RUU Kementerian Negara. Belum lagi saat rakyat menjerit dan menolak adanya undang-undang Ciptaker, DPR justru tetap mengesahkannya. Sementara, undang-undang terkait kepentingan masyarakat seperti RUU perlindungan pekerja rumah tangga dan RUU masyarakat adat belum tersentuh DPR.
Pragmatisme dalam menyusun legislasi DPR juga terlihat saat DPR menganulir keputusan MK terkait Pilkada dalam waktu sehari demi menjaga eksistensi kekuasaan pihak tertentu. Sedangkan, realita anggota DPR periode ini sangat kental dengan dinasti politik pasalnya sebagian besar dari anggota DPR tersebut memiliki relasi kekerabatan dengan pejabat publik yang beragam mulai dari suami istri, anak, keponakan dan lain-lain. Dengan demikian, harapan para wakil rakyat bisa bekerja dengan optimal dengan tunjangan sangat terlihat mustahil diwujudkan apalagi dengan adanya rumah jabatan anggota. Tunjangan ini bisa menjadi satu pemborosan anggaran negara.
Belum lagi persoalan lain yang muncul akibat mekanisme pembayaran tunjangan ini.
Sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar mengatakan, mekanisme pembayarannya akan menyatu dengan komponen gaji anggota DPR. ICW menilai mekanisme ini akan menyulitkan pengawasan atas penggunaan tunjangan tersebut karena akan ditransfer secara langsung ke rekening pribadi masing-masing anggota dewan. www.antaranews.com.
Sehingga tidak salah jika dapat disimpulkan, bahwa kebijakan tunjangan rumah dinas untuk DPR hanya untuk memperkaya anggota DPR.
Di sisi lain, tunjangan tersebut merupakan kebijakan yang ironis, jika dibandingkan dengan realita yang dihadapi rakyat hari ini. Banyak rakyat yang kesulitan memiliki rumah karena mahalnya harga rumah.
Saat ini, terdapat 12,71 juta _backlog_ perumahan di Indonesia. Sementara harga properti terus mengalami kenaikan tiap tahunnya - pada 2022 kenaikannya tercatat sebesar hampir 4% dari tahun sebelumnya.
www.theconversation.com.
Bahkan ada pula rakyat tidak memiliki rumah dan harus tinggal di jalanan.
Ada sekitar 3 juta tunawisma di Indonesia dengan 28.000 berada di Jakarta. Sebanyak 77.500 gelandangan dan pengemis tersebar di banyak kota besar di seluruh Indonesia pada tahun 2019. www.international.sindonews.com.
Belum lagi ada beban iuran Tapera bagi pekerja. Kebijakan tersebut membuat rakyat makin susah hidupnya. Demikianlah kondisi masyarakat yang diwakili oleh wakil rakyat dalam sistem demokrasi kapitalisme. Sistem ini meniscayakan adanya politik dinasti, politik balas budi hingga politik untuk memperkaya diri dan golongan. Sebab, sistem ini hadir sebagai legalisasi penjajahan ekonomi atas nama hukum oleh para kapital yang memiliki simbiosis mutualisme dengan pejabat termasuk wakil rakyat.
Islam Meniscayakan Wakil Rakyat yang Amanah
Sangat berbeda dengan wakil rakyat dalam sistem Islam. Wakil rakyat dalam Islam disebut majelis ummat. Mereka terdiri dari orang-orang yang telah dipilih umat dan perwakilan umat sebagai tempat merujuk bagi penguasa untuk meminta masukan atau nasehat mereka dalam berbagai urusan. Mereka mewakili umat dalam melakukan muhasabah yakni mengontrol dan mengoreksi para pejabat pemerintahan. Keberadaan majelis ini diambil dari aktivitas Rasulullah SAW yang sering meminta pendapat atau bermusyawarah dengan beberapa orang dari kaum Muhajirin dan anshor yang mewakili kaum mereka. Dari konsep wakil rakyat seperti ini, keberadaan majelis umat dengan DPR sangat berbeda dari segi peran dan fungsinya. Majelis umat murni mewakili umat atas dasar iman dan kesadaran utuh sebagai wakil rakyat yang bertugas untuk menjadi penyambung lidah rakyat. Kesadaran ini menjadikan mereka fokus pada fungsi yang harus diwujudkan. Sebab, status sebagai majelis umat merupakan amanah yang akan dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT dan bukan pada keistimewaan yang diberikan negara. Apalagi Islam juga memiliki aturan terkait harta, kepemilikan maupun pemanfaatannya.
Dalam sistem ekonomi Islam, kepemilikan harta dalam Islam dibagi menjadi tiga yakni harta milik individu seperti tambak, sawah, ladang, kebun, dan sejenisnya. Harta milik rakyat yakni sumber daya alam dan harta milik negara seperti _iqtha', jizyah, usyur_, dan sejenisnya. Konsep ini akan membawa keadilan bagi semuanya. Sebab, Islam melarang adanya pencampuran pemanfaatannya. Misalnya, harta milik rakyat haram di monopoli swasta. Harta sumber daya alam harus dikelola negara yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Salah satunya bisa berupa kemudahan memperoleh rumah untuk tempat tinggal. Dengan begitu tidak ada lagi kesenjangan sebagaimana anggota DPR saat ini dan rakyat. Seperti inilah Islam menyelesaikan masalah rakyat dengan begitu adil.
Wallaahu a'lam bish shawwab
Tags
Opini