Oleh: Sarah Fauziah
Temuan terbaru dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengejutkan banyak pihak, terutama terkait produk pangan dengan nama-nama yang kontroversial seperti "tuyul," "tuak," "bir," dan "wine" yang mendapatkan sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Kementerian Agama (m.kumparan.com, 3/10/2024).
Kontroversi ini muncul karena produk tersebut telah melalui proses sertifikasi halal sesuai mekanisme yang berlaku, namun penamaan produknya justru menimbulkan kebingungan di kalangan masyarakat.
Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menegaskan bahwa masalah utama dalam polemik ini terletak pada penamaan produk, bukan substansi atau kehalalan zatnya.
Berdasarkan regulasi yang ada, penamaan produk pangan halal diatur dalam SNI dan fatwa MUI, yang seharusnya mempertimbangkan nama, bentuk, dan kemasan produk agar tidak menimbulkan kerancuan. Namun, perbedaan pendapat antara komite fatwa MUI terkait penggunaan nama produk yang selama ini diasosiasikan dengan barang-barang haram memunculkan kekhawatiran di tengah masyarakat.
Polemik ini menjadi refleksi dari bagaimana sistem sekuler, yang memisahkan agama dari kehidupan, mempengaruhi kebijakan terkait sertifikasi halal.
Dalam sistem kapitalisme, aspek materialistik lebih diutamakan. Nama produk tidak dianggap sebagai faktor penentu kehalalan, meskipun nama tersebut secara umum dipahami merujuk pada hal-hal yang tidak halal. Akibatnya, masyarakat Muslim merasa kebingungan dalam membedakan produk halal dan haram, sementara negara hanya menyediakan sertifikasi halal sebagai layanan berbayar, bukan sebagai kewajiban penuh negara untuk melindungi akidah umat Islam.
Lebih jauh, model self-declare, di mana produsen sendiri yang mengklaim kehalalan produknya tanpa pengawasan ketat, juga menimbulkan ketidakpastian. Hal ini menambah kerancuan dalam memastikan produk yang benar-benar sesuai dengan standar halal. Negara berparadigma sekuler tidak mampu memberikan jaminan penuh terkait kehalalan produk yang dikonsumsi oleh umat Muslim, melainkan hanya memanfaatkan sertifikasi halal sebagai peluang bisnis.
Solusi tuntas untuk persoalan ini hanya dapat ditemukan dalam penerapan sistem Islam secara menyeluruh. Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab penuh untuk menjamin kehalalan setiap produk yang dikonsumsi rakyatnya, baik itu makanan, minuman, maupun produk lain. Negara Islam, yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan Sunnah, akan memastikan bahwa setiap kebijakan, termasuk terkait produk halal, sepenuhnya sesuai dengan syariat.
Negara Islam akan secara aktif mengawasi pasar dan distribusi produk melalui lembaga khusus yang memastikan tidak ada kecurangan atau penipuan terkait produk haram. Bukan hanya sekadar memberi label halal, negara juga memastikan bahwa seluruh proses produksi, distribusi, dan penjualan dilakukan sesuai dengan hukum Islam. Dengan demikian, umat akan terhindar dari kebingungan dan bisa mengonsumsi produk dengan rasa tenang, yakin bahwa apa yang mereka konsumsi telah terjamin kehalalannya.
Inilah keunggulan penerapan sistem Islam dalam menjaga kehalalan dan ketertiban di tengah masyarakat. Negara yang berasaskan Islam akan selalu menempatkan akidah dan keimanan umat sebagai prioritas utama, bukan keuntungan materi. Hanya dengan penerapan sistem Islam yang komprehensif, umat akan terhindar dari bahaya produk haram dan dapat menjalani kehidupan yang sesuai dengan syariat Allah secara menyeluruh.
Tags
Opini