Oleh : Nunik Hendriyani,
Pegiat Literasi, Ciparay Kab. Bandung.
Hari ini kemiskinan terjadi dimana-mana, kesenjangan antara kaya dan miskin makin lebar bahkan meski sudah ada hari Pengentasan Kemiskinan Internasional 17 Oktober yang di peringati sejak tahun 1992, namun dunia tak kunjung mampu mewujudkan kesejahteraan. Satu miliar orang hidup dalam kemiskinan akut di seluruh dunia, berdasarkan laporan program pembangunan PBB pada hari kamis (17/10/2024). Setengah dari jumlah tersebut anak-anak yang paling terkena dampaknya. "MPI 2024 melukiskan gambaran yang serius 1,1 miliar orang mengalami kemiskinan multidimensi, yang 455 juta diantaranya hidup dalam bayang-bayang konflik," kata Yan Chun Zhang, kepala ahli statistik di UNDP. Laporan itu menggemakan temuan tahun lalu bahwa 1,1 miliar dari 6,1 miliar orang di 110 negara menghadapi kemiskinan multidimensi yang ekstrem, India termasuk negara dengan jumlah penduduk paling banyak yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, yang berdampak pada 234 juta dari 1,4 miliar penduduknya.
Kemudian diikuti oleh Pakistan, Etiopia, Nigeria, dan Republik demokratik Kongo. Kelima negara tersebut mencakup hampir separuh dari 1,1 miliar penduduk miskin.
Majalah bisnis dan finansial AS Forbes per 4 September 2024 merilis daftar sepuluh orang terkaya di dunia dengan 7 orang pada peringkat teratas mengalami kenaikan jumlah kekayaan, posisi pertama diduduki oleh Elon Musk dengan jumlah kekayaan US$241,7 miliar (naik 6,52 persen).
Jika dicermati tingginya angka kemiskinan global, sedangkan pada saat yang sama ada orang-orang terkaya di dunia dengan jumlah kekayaan yang luar biasa, sejatinya ini sebuah ketimpangan besar. Di Indonesia sendiri menurut laporan World Inequality Report (WIR), satu persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai 30,16 % dari total aset rumah tangga secara nasional pada 2022, sementara itu kelompok 50% terbawah di Indonesia hanya memiliki 4,5% dari total kekayaan rumah tangga nasional, berdasarkan realitas ini, ketimpangan ekonomi tersebut menunjukkan bahwa orang-orang miskin di dunia bisa kita kategorikan sebagai korban kemiskinan struktural.
Kemiskinan struktural terjadi karena baik orang-orang terkaya di dunia maupun negara-negara yang mengalami kemiskinan ekstrem hidup dalam naungan sistem yang sama yakni kapitalisme, sistem yang hanya menguntungkan para kapital, rakyat diabaikan, bahkan harus berjuang sendirian, apalagi sejatinya sistem ini adalah sistem yang rusak yang mustahil mewujudkan kesejahteraan secara merata, negara tidak hadir mengurus rakyat apalagi ukuran kesejahteraan ditetapkan secara kolektif dengan pendapatan perkapita yang merupakan ukuran yang sama dan tak mungkin menggambarkan kesejahteraan yang nyata. Juga masih ada anggapan yang salah tentang solusi masalah kemiskinan, mulai dari ganti pemimpin, pemberdayaan pemimpin, hingga pemimpin perempuan baik dalam negara ataupun jabatan kepala daerah maupun juga menteri. Ada juga anggapan jika belajar diluar negeri adalah salah satu cara untuk mengentaskan kemiskinan, sebuah studi yang terbit di Internasional journal of educational research volume 128, 2024 menemukan bahwa lulusan yang kembali ke negara nya setelah belajar di luar negeri berdampak terhadap pengurangan kemiskinan, dampak ini terutama dirasakan di negara-negara dengan penghasilan rendah dan menengah.
Itulah kenapa alasan kita harus membuang jauh-jauh sistem yang rusak ini, penerapan sistem kapitalisme ini yang membuat oligarki semakin kaya dan rakyat makin menderita. Dari semua ini kita bisa melihat betapa lebarnya ketimpangan ekonomi di negara-negara berideologi kapitalisme. Kemiskinan ekstrem nyata-nyata berhadapan dengan realitas orang-orang superkaya. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan karena kekuatan uang akan terus melahirkan kezaliman kepada orang-orang yang lemah tingkat ekonominya.
Kondisi ini harus diputus dengan kesadaran bahwa kapitalisme mustahil memberikan solusi fundamental.
Dengan begitu, solusi yang tampil bukanlah yang pragmatis, melainkan yang mewujudkan kebangkitan pemikiran. Dengan kebangkitan pemikiran itu, Islam akan menjadi kepemimpinan berpikir bagi seluruh kebijakan di negara yang mengemban Islam sebagai ideologi. Hanya sistem Islam yang akan mampu mensejahterakan rakyat dan memberantas kemiskinan, tidak pelak selain negaranya menjadi negara maju, warga negara Islam pun layak menyandang gelar sebagai umat terbaik.
Wallahu a'lam bishshawab
Tags
Opini