Kementerian Makin Banyak, demi Kepentingan Rakyatkah?



Oleh. Ilma Althafun Nuha.



Tepat pada hari kamis, 19 September 2024, DPR resmi mengesahkan RUU tentang perubahan atas undang-undang nomor 39 tahun 2008 tentang kementerian negara. Wakil ketua badan legislatif DPR Achmad Baidowi atau Awiek menilai bahwa revisi UU kementerian ini dibentuk untuk membantu memudahkan presiden dalam menyusun kementerian demi tata kelola yang efektif.
     
     Ada salah satu poin penting yang paling disoroti dalam perubahan UU ini, yakni perubahan pasal 15 dan penjelasannya terkait jumlah kementerian yang ditetapkan sesuai kebutuhan presiden. Padahal sebelum direvisi, pasal 15 UU kementerian negara telah membatasi jumlah kementerian paling banyak 34 institusi.                           
     
     Menurut para pakar, jika kementerian bertambah banyak, dikhawatirkan akan terjadi tumpang tindih kebijakan, jadi jobdes tiap kementeriannya makin tidak jelas dan sumrawut,  sehingga tidak efektif dan efisien. Selain itu bisa juga terjadi pembengkakan anggaran karena makin banyaknya orang, makin besar pula kebutuhan dana untuk gaji para menteri, beresiko pula bertambahnya utang negara dan naiknya pajak. Tidak hanya itu, terbukanya ruang baru bagi praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme(KKN) tidak dapat terelakkan, sehingga jaminan terhadap kepentingan rakyat semakin tidak terurus dan tersingkirkan. 
     
     Para pakar juga mengatakan bahwa masyarakat bisa mengajukan gugatan atas revisi UU ini ke mahkamah konstitusi(MK) karena tidak sesuai prosedur juga dalam perumusannya tidak ada partisipasi publik yang bermakna. Tidak dapat dipungkiri bahwasanya kebijakan ini hanya untuk memberi jalan bagi presiden yang terpilih untuk bagi-bagi kue kekuasaan, bagaimana tidak, dalam perumusannya saja tidak masuk program legislasi nasional(Prolegnas) 2020-2024, juga tidak termasuk dalam daftar 43 rancangan UU yang pembahasannya diprioritaskan selesai sebelum Oktober mendatang, sehingga perubahan UU ini menunjukkan kesan pemaksaan dan sarat dengan kepentingan pihak tertentu dan bukan kepentingan rakyat. Ditambah lagi, ternyata banyak diantara menteri-menteri itu punya hubungan kekerabatan dengan pejabat sebelumnya. Ish..ish...ish... Tak patuut tak patut.
     
     Hal ini tentu berkaitan dengan sistem pemerintahan yang dianut negara ini yang justru banyak berpihak pada para pemilik modal. Bagaimana tidak, biasanya para calon presiden atau para calon penguasa yang ditopang oleh partai, partai mereka membuka ruang saham untuk modal kampanye bagi siapa saja yang memiliki modal, termasuk korporat(perusahaan), tidak jauh berbeda dengan pemerintahan oligarki yang sistem politik dan ekonominya dikendalikan oleh sekelompok kecil individu atau golongan elit. 
     
     Maka, hal pertama yang dipikirkan oleh penguasa terpilih ketika sudah meraih kekuasaan adalah *mengembalikan modal*, Karena waktu menjabatnya yang singkat membuatnya mau tidak mau harus berpikir keras bagaimana caranya bisa mengembalikan modal kepada para pemilik modal yang menanam saham di partainya dan bagaimana cara untuk bisa mendapat keuntungan dari kekuasaannya yang singkat itu. Oleh karenanya, penguasa terpilih hanya akan memikirkan para pendukungnya saat kampanye dengan bagi-bagi kue kekuasaan  sebagai balas budi. Sehingga mustahil bagi penguasa terpilih untuk memikirkan tugas utamanya sebagai pemelihara urusan rakyat.
     
     Maka bagi-bagi kue kekuasaan merupakan hal yang lumrah dalam sistem politik demokrasi ini. karena dalam sistem ini pemilu hanya dijadikan sebagai alat bagi elit politik untuk mendapatkan kursi jabatan melalui legitimasi(penerimaan/pengakuan) masyarakat. Oleh karenanya, rakyat hanya dimanfaatkan suaranya menjelang pemilu saja dengan diimingi tipu muslihat, namun dibuang dan dilupakan saat sudah menang jabatan.
     
     Sungguh hanya dalam sistem pemerintahan Islamlah penguasa yang benar-benar melayani urusan rakyat akan menjalankan tugasnya, yakni dalam bingkai khilafah Islamiyah. Dalam sistem khilafah, Khalifahlah yang bertanggung jawab karena amanah kepemimpinan ada padanya. Tapi tetap, Khalifah boleh mengangkat pembantu/pejabat untuk membantu tugasnya. Khalifah juga tidak sembarang memilih orang, ia akan memilihnya sesuai kebutuhan dan syarat-syarat yang telah ditentukan syara, sehingga membuatnya lebih efektif dan efisien, tentu dengan jobdesk dan tanggung jawab yang jelas dan terlaksana, baik dalam urusan kekuasaan maupun non kekuasaan.
     
     Dalam sistem Islam pula, Khalifah/penguasa akan memahami dan melaksanakan tugasnya sebagai peri'ayah(pelayan) umat yang memelihara urusan rakyat sesuai syariat Islam. Rasulullah Saw. bersabda "Pemimpin yang memimpin rakyat adalah pengatur urusan mereka dan dimintai pertanggung jawaban atas rakyat yang dia pimpin." (HR. Al-Bukhari). Makna asal ar-ri'ayah sendiri adalah menjaga dan memelihara sesuatu, yakni menjaga dan memelihara agama, jiwa, kehormatan, harta, keturunan, eksistensi manusia dan negara. 
     
     Jadi, tidak akan ada kekhawatiran jika Khalifahnya tidak amanah pada rakyatnya, bisa jadi langsung dipecat setelah ditegur terus menerus, karena Islam mengecam keras bagi siapa saja yang tidak menjalankan tugas dengan amanah dalam mengurus urusan rakyatnya. Bahkan Rasulullah Saw. mendo'akan keburukan bagi pemimpin yang memberatkan urusan rakyatnya. "Ya Allah, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia membuat susah umatku, maka susahkanlah dia, siapa saja yang mengurusi urusan dari umatku, lalu ia menyayangi umatku, maka sayangilah ia." (HR. Muslim).
     
     Dalam khilafah, kekuasaan ada di tangan umat, kedaulatan ada di tangan syari'at. Seperti dalam potongan QS. Al-An’am Ayat 57
... اِنِ الۡحُكۡمُ اِلَّا لِلّٰهِ‌ؕ...  
"...Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah..." Jadi walaupun kekuasaan ada di tangan umat, namun tetap kedaulatan ada di tangan syari'at (kewenangan membuat hukum hanya milik Allah SWT.) oleh karena itu hukum Allah lah yakni syari'at Islam yang diterapkan oleh Khalifah untuk mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. 
     
     Sedangkan metode baku menurut syariat dalam memilih Khalifah adalah bai'at. Imam An-Nawawi dalam kitabnya Nihayah al-muhtaj ila syarh al-minhaj(Vll/390) telah berkata "Akad imamah(Khalifah) sah dengan adanya bai'at atau lebih tepatnya bai'at dari Ahlul Halli wal 'Aqdi(AHWA) yang mudah untuk dikumpulkan." Ahlul Halli wal 'Aqdi adalah orang yang memiliki kekuatan, kekuasaan, pandangan dan pengaturan dalam sebuah negeri. Al-Mawardi memberikan tiga syarat untuk AHWA, pertama adil, kedua memiliki ilmu yang digunakan untuk mengetahui orang yang berhak menduduki jabatan imamah(Khalifah), ketiga memiliki pendapat dan kearifan yang bisa mengantarkan keterpilihan orang yang lebih layak menduduki jabatan imamah(Khalifah). AHWA juga bisa dianggap mewakili umat dalam memutuskan siapa yang akan jadi pemimpin umat karena pengangkatan Khalifah adalah fardhu kifayah yang tidak harus dilakukan oleh semua orang, ribetkan kalo semua orang harus membai'at seorang Khalifah? Oleh karena itulah harus ada AHWA yang mewakili umat.    
   
     Sehingga dengan ketentuan seperti ini seorang wakil umat atau penguasa yang terpilih adalah orang yang layak, bukan untuk menjalankan keinginan dan hukum manusia, tapi hanya untuk menjalankan hukum Allah Ta'ala.semata. Maka sudah dapat dipastikan kebijakan-kebijakan yang diterapkan tidak akan mendzalimi dan menyengsarakan rakyat, melainkan kebijakan yang sesuai syari'at yang membawa kemaslahatan dan mengundang berkah dari langit dan bumi. Yuk, perdalam agamamu, perjuangkan syari'at nya, Allahuakbar!. 
Wallahu a'lam bi ash-shawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak