Kementerian Makin Banyak, Demi Kepentingan Rakyatkah?



  
Oleh: Resa Ristia Nuraidah



Pemerintahan era Presiden Prabowo Subianto kelak dikabarkan akan menambah Kementerian atau Lembaga menjadi 44 dari yang saat ini hanya 34. Hal itu dibocorkan oleh Ketua MPR RI sekaligus Politikus Senior Golkar Bambang Soesatyo (Bamsoet).

Bocoran ini didengar oleh Bamsoet melalui obrolan "warung kopi", yang disampaikan saat memberikan sambutan dalam acara pembukaan Turnamen Bulu Tangkis DPR dan MPR di GOR Kompleks Parlemen, Jakarta, beberapa waktu yang lalu.

Bamsoet juga menyebut dirinya mendengar kabar bahwa jumlah menteri di kabinet Prabowo-Gibran akan bertambah menjadi 44 pos. Dimana sebelumnya, pos menteri di kabinet Presiden Jokowi berjumlah 34. [Cnbc.indonesia]

Banyaknya Kementerian jelas membutuhkan banyak orang. Dan konsekuensinya, kebutuhan dana untuk gaji serta tunjangan meningkat dan hal ini beresiko bertambahnya utang negara serta naiknya pajak. 

Di sisi lain juga, jobdesk setiap kementerian bisa jadi makin tidak jelas, bahkan besar kemungkinan akan tumpang tindih, temasuk dalam membuat kebijakan, sehingga tidak efektif dan efisien. Juga ada resiko memperbesar celah korupsi.  Hal ini terkait dengan sistem pemerintahan yang dianut, yang justru banyak berpihak pada para pemilik modal bukan kepada rakyat. 

Dalam sistem Islam, khalifah yang bertanggung jawab karena amanah kepemimpinan ada padanya.  Namun khalifah boleh mengangkat pembantu/pejabat untuk membantu tugasnya.  Khalifah akan memilih pejabat dengan efektif dan efisien, dengan jobdesk dan tanggungjawab yang jelas, baik dalam urusan kekuasaan maupun non kekuasaan. 

Karena sejatinya khalifah adalah rā'in. Yang bertanggung jawab terhadap kepengurusan umat. Maka dalam Islam sosok pemimpin tersebut haruslah dari individu yang bertakwa sehingga ia bisa menjalankan amanahnya dalam kepengurusan umat. Termasuk dalam pemilihan pembantu/pejabat yang akan membantunya dalam mengurusi umat. Khalifah akan memilihkan orang-orang terbaik, amanah serta mumpuni di dalam bidang yang akan ditanganinya.

Namun tentunya, sosok-sosok pemimpin yang demikian tidak lahir dalam sistem sekuler seperti saat ini. Jika prestise para pejabat sistem demokrasi kapitalisme ada pada harta dan kemewahan dunia, Islam justru sebaliknya. Arah pandang pemimpin Islam yang khas tentang kehidupan telah membentuk persepsi mereka dalam mendudukkan kekuasaan.

Paradigma sekuler kapitalisme yang ada hari ini telah membuat para pejabat memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya diri. Hal ini pula yang membuat praktik politik dalam sistem ini tidak lebih dari sekadar perputaran cuan para konglomerat. Paradigma kapitalistik di kalangan para pejabat dan penguasa inilah yang harus diganti.

Sudah saatnya, Islam dengan konsep khasnya hadir dalam diskursus kepemimpinan hari ini. Di tengah maraknya pejabat yang berkhianat pada rakyat, Islam adalah satu-satunya sistem sahih yang akan melahirkan para pejabat yang amanah dan besar ketakutannya pada Sang Khaliq. [Wallāhualam bi Ash-shawāb]

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak