Oleh : Ummu Hayyan, S.P.
Fenomena melawan “kotak kosong” marak dalam Pilkada 2024. Ada 41 daerah yang memiliki calon tunggal, terdiri dari satu provinsi dan 40 kabupaten/kota. Pilkada kali ini menjadi pemilihan dengan jumlah “kotak kosong” terbanyak sepanjang sejarah demokrasi di Indonesia.
Salah satunya adalah pasangan calon Bupati dan wakil Bupati Ciamis Herdiat Sunarya dan Yana D Putra melawan kotak kosong di Pilbup Ciamis 2024. Meski melawan kotak kosong, pasangan calon tunggal ini harus tetap bergerak meyakinkan masyarakat untuk memilihnya dengan datang ke TPS pada 27 November 2024.
Selain adanya potensi berkurangnya angka partisipasi pemilih, juga munculnya pihak yang mengatasnamakan relawan kotak kosong. Pihak tersebut pun boleh melakukan kampanye kotak kosong, karena tidak ada larangan dari regulasi yang ada baik dari KPU atau Bawaslu.
detikJabar.com.
Menanggapi hal itu, calon Bupati Ciamis Herdiat Sunarya mengatakan tidak masalah apabila ada pihak yang mengatasnamakan relawan kotak kosong.
Terkait dengan kampanye kotak kosong, Komisioner KPU Ciamis Divisi Teknis Penyelenggaraan, Muharam Kurnia Drajat menjelaskan, dalam aturan kotak kosong bukan calon atau peserta pilkada. Kotak kosong tidak ada dalam aturan. KPU Ciamis hanya mengatur calon peserta Pilkada. Sehingga tidak ada larangan atau regulasi yang mengatur mengenai kampanye kotak kosong.
"Kotak kosong itu bukan calon atau peserta Pilkada. Jadi dalam aturan tidak ada dimasukkan," ujar Muharam, Rabu (25/9/2024).
Muharam menjelaskan, kotak kosong itu hanya alternatif yang diberikan KPU untuk pemilih. Tujuannya, supaya masyarakat yang tidak sependapat dengan calon yang ada tetap datang ke tempat pemungutan suara (TPS) untuk menyalurkan hak pilihnya.
detikJabar.com.
Kemudian, apabila terjadi kotak kosong menang. Artinya pasangan calon yang ada tidak memenuhi 50+1, maka KPU akan menyatakan kotak kosong sebagai pemenang Pilkada.
Selanjutnya, KPU Ciamis pun menunggu aturan dari pusat Mengani langkah berikutnya. Namun, berdasarkan hasil rapat dengar pendapat (RDP) antara KPU, Bawaslu, Komisi 2 dan pemerintah disepakati apabila kotak kosong menang akan dilaksanakan Pilkada ulang di tahun berikutnya atau 2025.
Kemudian dalam RDP tersebut juga muncul dorongan calon tunggal yang kalah melawan kosong tidak diperbolehkan mencalonkan di Pilkada susulan.
"Calon yang misalkan kalah, dari hasil RDP memang belum jelas. Ada juga yang mendorong yang sekarang calon tunggal itu tidak diperbolehkan lagi mencalonkan di Pilkada susulan. Untuk keputusan akhirnya seperti apa kami menunggu dari KPU pusat," pungkasnya.
detikJabar.com.
Tren “kotak kosong” sendiri mulai muncul pada 2015 dan terus meningkat tahun pada selanjutnya. Pada 2015, ada tiga daerah yang terjadi “kotak kosong”, meningkat pada 2017 (9 daerah), 2018 (16), 2020 (25), dan kini 41 daerah.
Terkait fenomena ini, Direktur Eksekutif Perludem Khoirunnisa Nur Agustyati menilainya sebagai kemunduran demokrasi karena hilangnya aspek kompetisi. Sedangkan pengamat politik dari Universitas Airlangga Ali Sahab mengatakan hal ini dapat membuat perhelatan pilkada hanya akan menjadi semacam “formalitas” bagi masyarakat. (BBC Indonesia, 2-9-2024).
Hilangnya Kepercayaan hingga Kegagalan Demokrasi
Ramainya kampanye "kotak kosong" sejatinya menunjukkan bahwa, masyarakat sudah semakin kehilangan kepercayaan kepada para calon pemimpin, dalam hal ini termasuk kepala daerah. Masyarakat sudah melihat bagaimana sepak terjang elit mempratikkan politik yang buruk, mulai dari isu kecurangan KPU, praktik oligarki, kartel politik, dan juga politik dinasti. Tidak heran, mulai ada ketidakpercayaan pada sistem demokrasi hingga enggan terlibat dalam pesta demokrasi.
Masyarakat seharusnya menyadari bahwa, politik yang dijalankan saat ini buruk, dan praktik buruk politik saat ini adalah tak lain sumbernya adalah penerapan sistem demokrasi itu sendiri.
Sistem demokrasi - kapitalisme telah gagal mencetak calon pemimpin yang amanah dan bertakwa. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan yang diterapkan sering kali menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat, bahkan tak jarang melanggar syariat.
Hal ini wajar terjadi karena akidah sekulerisme yang diterapkan dalam sistem demokrasi - kapitalisme telah memisahkan agama dari kehidupan sehingga mustahil bisa mencetak pemimpin yang bertakwa.
Kekuasaan adalah Amanah
Kondisi di dalam sistem Islam sungguh berbeda. Di dalam Islam, jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan pada hari akhir. Pemimpin akan ditanya tentang amanah kepemimpinan yang ada padanya, apakah digunakan dengan benar ataukah tidak. Islam melarang seorang pemimpin mengkhianati amanah yang dia emban.
Allah Swt. berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (QS Al-Anfal: 27).
Sistem Islam akan mewujudkan para pemimpin yang amanah, karena Islam memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yang terbaik. Asas pemilihan pemimpin dalam Islam adalah akidah Islam. Akidah ini akan menuntun perilaku politik para politisi sehingga sesuai syariat dan tidak menghalalkan segala cara.
Para politisi dalam Islam sadar bahwa setiap tingkah lakunya dalam politik akan ia pertanggungjawabkan, bukan semata pada manusia, tetapi pada Allah Swt.. Itulah sebabnya, politisi dalam sistem Islam akan memiliki profil jujur, bertakwa, dan hati-hati (wara') dalam melakukan segala sesuatu.
Pemilihan Kepala Daerah dalam Sistem Islam
Seorang kepala daerah (gubernur/wali, amil) dalam sistem Islam diangkat oleh kepala negara dengan akad tertentu yang harus ia tepati. Dalam hal ini wali/amil adalah penguasa, maka mereka harus memenuhi syarat-syarat sebagai penguasa menurut Islam, yakni muslim, laki-laki, merdeka, baligh, berakal, adil, dan termasuk orang yang memiliki kemampuan (kafaah).
Wali/amil tidak diangkat, kecuali oleh kepala negara. Mereka adalah golongan orang-orang memiliki kelayakan (kemampuan dan kecakapan) untuk memegang urusan pemerintahan, berilmu, dan dikenal ketakwaannya. Hal ini sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah saw. dalam memilih para wali, yakni dari kalangan orang-orang yang dapat melaksanakan tugas dengan baik dalam urusan yang menjadi kewenangannya, serta dapat “mengairi” hati rakyat dengan keimanan dan kemuliaan negara.
Wali/amil boleh diangkat dengan kepemimpinan yang bersifat umum maupun khusus. Namun, jika kepemimpinan yang bersifat umum itu berpotensi mengakibatkan kemudaratan dan bahaya bagi negara, seorang wali/amil sebaiknya diangkat dengan kepemimpinan yang bersifat khusus. Untuk itu, urusan-urusan seperti militer, peradilan, dan keuangan negara, tidak dibebankan kepada kepala daerah, melainkan diurus oleh struktur tersendiri dan langsung dikontrol oleh kepala negara.
Selanjutnya, kepala negara wajib mengontrol aktivitas-aktivitas para wali, melakukan pengawasan secara ketat, serta audit atas mereka. Pada suatu kesempatan tertentu, kepala negara juga wajib mengumpulkan para wali dan memonitor urusan-urusan mereka, sekaligus mendengarkan keluhan/aspirasi masyarakat atas kinerja para wali.
Wallaahu a'lam bish shawwab
Tags
Opini