Sungguh tega, seorang ayah menjual anak kandungnya yang masih berusia 11 bulan karena kehabisan uang untuk judi online. Ia menjual bayinya kepada pasutri di Tanggerang dengan harga Rp15 juta. Dari hasil penjualan, uang tersebut ia gunakan untuk membeli dua buah handphone, kebutuhan sehari-hari, dan bermain judol (7/10/2024).
Judol makin nyata telah merusak kehidupan masyarakat, hingga ranah keluarga. Bahaya judol mampu mematikan nurani seorang ayah. Ayah yang seharusnya melindungi dan menjaga putranya dari kejahatan justru menjadi ancaman keselamatan keluarga.
Maraknya kasus kejahatan akibat judol, harus dipandang serius oleh negara. Negara wajib memberantas judol sampai ke akarnya. Namun sayang, hingga detik ini judol masih bebas diakses oleh siapa pun, termasuk anak-anak lewat game online.
Jika kita telisik, judol sulit diberantas tak lepas dari sistem yang diterapkan oleh negara, yaitu sekularisme. Sistem ini memandang bahwa agama sebatas hubungan manusia dengan Tuhannya, seperti ibadah.
Sementara kehidupan manusia baik itu politik, ekonomi, sosial budaya, pendidikan, dan lainnya diserahkan pada akal manusia. Padahal, akal manusia memiliki keterbatasan, alhasil setiap persoalan tidak akan pernah tuntas.
Sekularisme menjadikan manusia memandang kebahagiaan diukur dengan materi. Tak heran, demi kesenangan dirinya rela menjual darah daging sendiri, layaknya barang yang bisa diperjualbelikan. Akal sehatnya tidak mampu lagi berpikir bahwa ia adalah pemimpin keluarga yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat.
Sekularisme telah sukses melemahkan iman individu muslim. Halal haram tidak dipedulikan, sehingga lahirlah sosok muslim yang jauh dari ketaatan. Tak hanya itu, kemiskinan turut mendorong seseorang nekat berbuat apa saja untuk memenuhi kebutuhannya.
Terlebih, abainya negara dalam mengurus rakyat membuat masyarakat makin menderita dan rusak. Seperti sulitnya mengakses lapangan pekerjaan, sistem pendidikan yang bermasalah sehingga gagal mewujudkan peserta didik memiliki kepribadian Islam, harga kebutuhan pokok melambung tinggi, rakyat terpapar dengan tontonan yang tidak layak hingga aktivitas haram, judi online misalnya.
Kapitalisme menjadikan negara hanya sebagai regulator bagi para kapital, bukan pengayom rakyat. Hal ini tampak dari berbagai kebijakan yang ada justru lebih memihak pada asing maupun aseng. Misalnya, UU Minerba, UU Cipta Kerja, dan lainnya. Sementara rakyat dibiarkan berjuang sendiri untuk menyambung hidup.
Sungguh, rakyat membutuhkan negara yang melindungi masyarakat dari pelanggaran hukum syarak dan menjaganya agar senantiasa taat pada Rabb-nya. Rakyat juga membutuhkan jaminan kesejahteraan yang menjadi salah satu faktor pencegah dari kemaksiatan.
Demikian juga, sanksi yang tegas bagi pelaku kejahatan diperlukan agar individu tercegah dari terjerumusnya pada tindak kriminal. Jika hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, bukan mustahil kriminalitas akan bisa diatasi.
Semua itu akan ada, jika negeri yang mayoritas muslim menjadikan aturan Allah Swt. sebagai rujukan dalam mengatasi setiap problem. Aturan Islam Islam jika diterapkan secara kafah akan menjamin kehidupan penuh berkah dan kebaikan.
Sebagaimana firman Allah Swt. dalam surah Al-A'raf ayat 96 yang artinya "Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."
Nining Sarimanah
Bandung
Tags
Opini