Annisa A
Generasi Z, yang tumbuh dan berkembang di era digital dan kapitalisme demokrasi, menghadapi tantangan yang semakin kompleks dalam kehidupannya. Salah satu fenomena yang mencolok adalah munculnya Fear of Missing Out (FOMO), sebuah perasaan cemas akan ketertinggalan yang didorong oleh media sosial dan teknologi. FOMO telah menjadi tren dominan di kalangan Gen Z, yang membuat mereka terjebak dalam gaya hidup materialistik, hedonistik, dan konsumerisme yang tidak sehat.
Fenomena ini tidak muncul secara tiba-tiba. Sistem kapitalisme demokrasi yang mengakar kuat di dunia modern menjadi pemicu utama terbentuknya gaya hidup serba materialistik. Dalam sistem ini, kebebasan individu sering disalahgunakan untuk mengejar kesenangan duniawi yang sesaat. Gen Z, yang tumbuh di bawah sistem ini, terperangkap dalam lingkaran sosial yang menekankan penampilan, konsumsi, dan status sosial di atas nilai-nilai moral dan spiritual. FOMO hanya memperkuat ketergantungan mereka pada pencapaian materi dan perhatian, sebagaimana dilaporkan oleh Kompas dan Kumparan, di mana media sosial mendorong pengguna untuk terus mengejar tren baru demi "mendapatkan tempat" dalam komunitas virtual mereka.
Dampaknya, Banyak Gen Z yang lebih fokus pada gaya hidup konsumtif daripada memaksimalkan potensi diri mereka untuk berprestasi atau berkontribusi pada masyarakat. Menurut Jawapos, fenomena seperti "demam Labubu" menunjukkan bagaimana eksklusivitas produk dan tren tertentu mampu menarik Gen Z ke dalam pola konsumerisme yang hanya menguntungkan segelintir industri, namun merugikan secara mental dan finansial. Dalam artikel yang diterbitkan oleh Kompas, dijelaskan bagaimana FOMO tidak hanya mempengaruhi perilaku konsumsi, tetapi juga menimbulkan sifat narsistik dan keinginan berlebihan untuk selalu menjadi pusat perhatian.
Namun, sistem kapitalisme demokrasi ini tidak hanya gagal memberikan perlindungan, tetapi malah memperburuk keadaan. Regulasi yang ada tidak cukup kuat untuk melindungi generasi muda dari pengaruh negatif media sosial dan gaya hidup materialistik. Sebaliknya, sistem ini terus mendorong Gen Z ke dalam lingkaran konsumsi tanpa batas, dengan menjadikan kebebasan individu sebagai alasan untuk mengejar kesenangan instan. Gen Z, yang seharusnya menjadi agen perubahan dan pemimpin masa depan, justru tertahan oleh pola pikir yang dangkal dan ketergantungan pada pencapaian material.
Dalam pandangan Islam, pemuda memiliki potensi luar biasa untuk menjadi agen perubahan, sebagaimana dijelaskan dalam berbagai ajaran Islam. Islam memandang pemuda sebagai kekuatan penting dalam pembangunan peradaban dan kebangkitan umat. Berbeda dengan kapitalisme yang mengarahkan hidup pemuda pada kepuasan duniawi, Islam menawarkan sistem yang mengarahkan pemuda untuk berfokus pada tujuan penciptaan—membangun kehidupan yang lebih bermakna dengan berkontribusi pada kebaikan umat. Sistem Islam mengajarkan keseimbangan antara pencapaian duniawi dan akhirat, memberikan ruang bagi pemuda untuk berkarya dan mengejar prestasi dengan tetap memegang teguh nilai-nilai islam.
Penting untuk diingat bahwa Gen Z memiliki potensi besar untuk menjadi agen perubahan yang nyata dalam masyarakat. Namun, mereka perlu diarahkan untuk keluar dari jeratan gaya hidup materialistik dan FOMO yang diciptakan oleh kapitalisme demokrasi. Islam, dengan sistem yang menyeluruh dan berbasis pada nilai-nilai moral dan spiritual, dapat menjadi solusi untuk mengembalikan potensi pemuda ke jalur yang lebih produktif dan bermakna. Dengan menjadikan Gen Z sebagai bagian dari kebangkitan Islam, kita tidak hanya membebaskan mereka dari gaya hidup yang merusak, tetapi juga memberikan mereka tujuan hidup yang lebih besar—membangun kembali peradaban yang gemilang, sebagaimana yang pernah dicapai umat Islam pada masa lalu.
Gen Z tidak harus menjadi korban dari sistem yang rusak. Dengan arahan yang tepat dan pembelajaran yang terintegrasi antara moral spiritual dan kemajuan duniawi, generasi ini bisa menjadi pilar peradaban masa depan yang lebih baik, lebih adil, dan lebih bermartabat.
Tags
Opini